NovelToon NovelToon
Langit Bumi

Langit Bumi

Status: tamat
Genre:Teen / Romantis / Tamat / Perubahan Hidup / Identitas Tersembunyi
Popularitas:488k
Nilai: 4.7
Nama Author: Abil Rahma

Hafidz tak pernah menyangka jika dirinya ternyata tak terlahir dari rahim ibu yang selama ini mengasuhnya. Dia hanya bayi yang ditemukan di semak dan di selamatkan oleh sepasang suami istri yang dia kira orang tua kandungnya, membuatnya syok dengan kenyataan itu.

Sebenarnya dia tak ingin mengetahui siapa orang tua kandungnya, karena dia merasa sudah bahagia hidup bersama orang tua angkatnya saat ini, tapi desakan sang Ibu membuatnya mencari keberadaan keluarga kandungnya.

Mampukah dia menemukan keluarganya?
Bagaimana saat dia tahu jika ternyata keluarganya adalah orang terkaya di ibu kota? Apakah dia berbangga hati atau justru menghindari keluarga tersebut?


"Perbedaan kita terlalu jauh bagikan langit dan bumi," Muhammad Hafidz.


"Maafin gue, gue sebenarnya juga sakit mengatakan itu. Tapi enggak ada pilihan lain, supaya Lo jauhin gue dan enggak peduli sama gue lagi," Sagita Atmawijaya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Abil Rahma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 3

Tak terasa hari yang di tunggu pun tiba, tepat hari ini pengumuman hasil kelulusan akan diumumkan di sekolah Hafidz. Pagi sekali Hafidz dan Ali sudah berada di sekolah, tak sabar ingin melihat hasil belajar selama tiga tahun di SMA, berharap tak mengecewakan.

"Kapan kamu ujian seleksi masuk perguruan tingginya Fidz?" tanya Ali saat mereka sedang menunggu pengumuman di depan kelas Hafidz.

"Tiga hari yang akan datang Al, tapi aku belum ngomong sama Ibu dan Bapak," jawab Hafidz sorot matanya menatap halaman sekolah yang luas.

"Aku bantu bicara, gimana?"

"Makasih Al, tapi tidak perlu, nanti aku akan bicara sendiri," tolak Hafidz tak ingin merepotkan sahabatnya.

"Lha kamu ke pesantrennya kapan Al?" kini Hafidz yang bertanya.

"Belum tahu Fidz, nunggu kamu berangkat lah. Harusnya tahun ajaran baru di pesantren masih habis lebaran nanti, tapi kalo di rumah terlalu lama takut jadi males berangkat," jawab Ali.

"Masih lama banget ya, menurutku sih berangkat dulu aja, biar tahu kegiatan disana seperti apa, sebelum benar-benar ikut masuk kelas,"

"Iya maunya juga gitu, tapi nanti nunggu kamu berangkat,"

"Kayaknya pengumuman udah ditempel Fidz, ayo kita lihat, udah enggak sabar." Ali beranjak lebih dulu disusul oleh Hafidz dibelakangnya.

"Alhamdulillah kita lulus Fidz, nama kamu ada di urutan pertama!" seru Ali girang, saat melihat hasil ujian mereka, padahal Hafidz belum melihat sama sekali karena saking sesaknya antrian.

"Alhamdulillah," ucap Hafidz.

Hafidz masih penasaran, ingin melihat daftar nama dirinya, tapi antrian masih saja sesak dan beberapa teman perempuan mereka terlihat heboh, saat mengetahui mereka semua lulus.

"Kak Hafidz!" seru seseorang, mengangetkan Hafidz yang sedang memperhatikan teman-temannya.

"Ah, iya ada apa Wan?" tanya Hafidz.

"Dipanggil kepala sekolah di suruh ke ruangannya sekarang," jawab siswa tersebut yang tak lain ketua OSIS saat ini.

"Oke, makasih Wan. Aku segera ke sana,"

Ketua OSIS itu hanya mengacungkan ibu jari, lalu meninggalkan kerumunan siswa kelas dua belas.

"Al, aku ke ruangan kepala sekolah dulu ya," pamit Hafidz.

Setelah mendapatkan anggukan dari sahabatnya, Hafidz pun berlalu menuju ruang kepala sekolah.

"Selamat buat kamu Fidz, saya mengundang kamu ke sini karena ingin menyampaikan kabar gembira," ucap kepala sekolah setelah Hafid duduk di ruangannya.

Di ruangan itu bukan hanya kepala sekolah saja, ada beberapa guru yang juga ikut duduk di sana.

"Makasih Pak, kalau boleh tahu kabar gembira apa ya Pak?" tanya Hafidz.

Kepala sekolah memberikan selembar kertas pada Hafidz, "Lihat lah, ini kabar gembiranya," ucap Pak kepsek.

Hafidz menerima kertas tersebut dan membacanya, dia mengucap syukur berkali-kali saat mengetahui isi di dalam kertas itu.

"Kamu harus lanjut kuliah Fidz, sayang jika kesempatan ini tak digunakan dengan baik," ucap guru yang lain.

"Kamu tahu, nilai ujian kamu itu sempurna, dan kamu mendapatkan peringkat satu se-provinsi," ucap kepala sekolah, lalu menyerahkan selembar kertas dengan isi yang berbeda.

"Masyaallah," ucap Hafidz terharu. Setelah itu, dia meletakkan semua kertas di atas meja, lalu bersujud di tempat yang cukup luas. Bersyukur dengan semua yang Allah berikan padanya.

"Tapi siapa yang mendaftarkan saya lewat jalur ini Pak? Di perguruan tinggi yang akan saya tuju juga, kok bisa pas begini?" Hafidz tak merasa mendaftarkan diri, heran kenapa tiba-tiba dia mendapatkan undangan masuk perguruan tinggi di ibu kota.

Kepala sekolah tersenyum melihat kebingungan di wajah Hafidz, "Perbuatan siapa lagi kalau bukan wali kelas kamu. Coba tanya sendiri dengan beliau," ucapnya.

Wali kelas Hafidz tersenyum lalu mengangguk, "Kamu harus berterimakasih sama Ali, dia yang memberitahu informasi ini pada saya. Semangat ya Fidz, kamu pasti bisa," ucapnya memberi semangat.

"Makasih banyak Pak," tak tahu harus mengatakan apa selain berterimakasih pada gurunya itu.

"Soal uang pendaftaran, kami berlima sepakat ingin membantu kamu Fidz, semoga ini bisa meringankan biaya pendaftaran di sana, untuk selanjutnya kamu pasti bisa cari beasiswa, kamu pasti mampu." Kepala sekolah memberikan sebuah amplop coklat pada Hafidz.

"Tapi Pak, saya enggak--" Ucapan Hafidz terpotong karena kepala sekolah lebih dahulu menyela.

"Harus kamu terima, ini rejeki buat kamu Fidz, jangan ditolak," ucapnya.

"Baiklah, terimakasih Pak," akhirnya Hafidz mengalah, memilih menerima amplop coklat tersebut.

Setelah cukup lama mendapatkan beberapa wejangan dari para guru, Hafidz pun berpamitan. Yang harus dia lakukan sekarang adalah memberitahu kedua orang tuanya. Meminta restu pada mereka.

******

"Maaf Pak, Bu, aku baru mengatakan sekarang," Hafidz baru saja memberitahu jika dirinya akan kuliah di luar kota, tepatnya di ibukota. Dia juga menceritakan kejadian tadi di sekolah.

"Enggak apa-apa Nak, ibu sama Bapak juga sudah sepakat untuk menyekolahkan mu lagi ke jenjang yang lebih tinggi, kita punya beberapa tabungan untuk biaya sekolah kamu," tutur Bu Nurul.

Tapi Hafidz menggeleng, dia tahu betul Ibu dan Bapaknya menabung untuk pergi ke tanah suci, tak mungkin jika dia harus menerima uang tersebut. Dia akan menggunakan uang tabungannya sendiri untuk biaya selama belum menemukan pekerjaan di sana nanti.

"Itu tabungan untuk berangkat ke tanah suci Buk, aku tidak mau menggunakan itu. Biar aku gunakan tabungan ku sendiri, ibu sama bapak enggak usah khawatir, aku pasti bisa mengaturnya nanti. Aku akan cari beasiswa sekaligus cari kerja di sana, aku yakin aku pasti bisa Buk, Pak," ucap Hafidz penuh keyakinan.

Bu Nurul merasa bersalah karena tak bisa mengurus putranya itu dengan benar, terutama soal pendidikan. Keterbatasan biaya yang menjadi kendalanya. Mereka berdua hanya petani kecil, pendapatan pun hanya bisa untuk makan sehari-hari. Jika mendapatkan uang lebih, maka akan di tabung.

"Maafkan Ibu sama Bapak ya Nak, yang enggak bisa membahagiakan kamu. Kami hanya bisa berdoa supaya kamu jadi orang sukses nantinya, tidak seperti kita berdua orang bodo* yang bisanya hanya bertani seadanya." Bu Nurul memeluk sang putra.

Hafidz menggeleng, "Ibu enggak perlu minta maaf, harusnya Hafidz yang berterimakasih karena Ibu sama Bapak sudah mengurus Hafidz sejak bayi. Aku tak bisa membalas apa pun, yang bisa aku lakukan hanya mendoakan ibu dan bapak supaya sehat selalu," Hafidz membalas pelukan sang ibu.

"Aku enggak bisa membayangkan jika dulu Ibu sama Bapak tak menemukan ku, bisa jadi aku sudah tiada sekarang, atau kalau tidak aku akan hidup di panti asuhan yang tak bisa merasakan kasih sayang dari seorang ibu dan bapak, aku bersyukur untuk itu Buk, makasih banyak, Hafidz belum bisa membalas semuanya." Hafidz melepas pelukannya, menatap wajah sang ibu yang memerah karena menangis.

"Di masa depan, semoga aku jadi orang sukses, supaya bisa membahagiakan Bapak dan Ibu, memenuhi semua keinginan ibu. Doakan aku ya Buk, Pak," ucapnya.

"Pasti Nak, kami pasti mendoakan mu," kini bapak yang bersuara, karena terus menangis.

"Makasih Pak, Buk." Hafidz memeluk kedua orang tuanya.

"Ibu udah nangisnya, aku enggak kuat kalau lihat ibu nangis. Bapak juga pasti sedih kalo liat ibu nangis,"

Bu Nurul pun mengangguk, mengusap sisa air mata di pipinya yang basah. Entah apa yang dia pikirkan, hingga menangis seperti itu.

Bersambung.....

🍁🍁🍁🍁

1
Reksa Nanta
sebenarnya ini sekolahnya Ziva atau Revan ?
Reksa Nanta
BUMN tidak menjual saham
Reksa Nanta
tunggu sampai Ziva dewasa
Reksa Nanta
KKN dan Praktek Kerja Lapangan itu dua hal yang berbeda.
Reksa Nanta
anak yang merundung anak lain kebanyakan adalah anak yang sering dirundung oleh orang tuanya sendiri.
Reksa Nanta
Adrian masih bebas berkeliaran padahal Sita sudah mendekam di penjara .
Reksa Nanta
apartemen atau kost elite ?
Reksa Nanta
sebenarnya nama sopir yang mengantar Sita membuang bayi itu namanya Karno atau Tio ?

karena di bab awal seingatku nama sopirnya Tio, dan setelah itu disuruh kerja ke Padang.
Reksa Nanta
bukankah pak Karno mau menikah dengan bik Atun ? kok sudah punya anak ?
Reksa Nanta
di rumah sakit jiwa sudah pasti ada psikolog yang menangani. tapi jika mamanya sudah hilang semangat, proses penyembuhan depresinya memang akan sulit
Reksa Nanta
si Renaldi pasti sekongkol dengan tantenya Hafidz.
Reksa Nanta
apa iya belum ada google translate ?
Reksa Nanta
ingin segera memastikan tapi selalu tarik ulur keadaan.
Reksa Nanta
putri seorang konglomerat dibiarkan membawa mobil sendiri tanpa pengawalan ? ini agak aneh.
Reksa Nanta
kenapa kamu Gita ?
Cesar Manuel Ris Costa
kakak atau kakek thor?
Reksa Nanta
biasanya kamar para pekerja ada di bagian belakang rumah utama.
Reksa Nanta
ternyata kembarannya perempuan to
Reksa Nanta
tinggal memikirkan biaya hidupnya. biaya hidup di ibukota tinggi.
Reksa Nanta
sebaiknya dicari. takutnya dia punya adik kandung perempuan lalu terjebak pernikahan sedarah.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!