Di TK Pertiwi Masaran, Bu Nadia, guru TK yang cantik dan sabar, mengajarkan anak-anak tentang warna dengan cara yang menyenangkan dan penuh kreativitas. Meskipun menghadapi berbagai tantangan seperti balon pecah dan anak yang sakit perut, Bu Nadia tetap menghadapi setiap situasi dengan senyuman dan kesabaran. Melalui pelajaran yang ceria dan kegiatan menggambar pelangi, Bu Nadia berhasil menciptakan suasana belajar yang penuh warna dan kebahagiaan. Cerita ini menggambarkan dedikasi dan kasih sayang Bu Nadia dalam mengajarkan dan merawat anak-anaknya, menjadikan setiap hari di kelas menjadi pengalaman yang berharga dan penuh makna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cinta di Depan Gerbang - Bu Nadia dan Pak Arman
Pagi itu, Bu Nadia melangkah masuk ke halaman sekolah dengan langkah mantap, meskipun pikirannya masih berkutat pada percakapan telepon dengan Pak Arman tadi pagi. Ia memikirkan kata-kata lembut yang diucapkan Pak Arman, membuatnya merasa campur aduk antara rasa penasaran dan kekhawatiran.
Saat ia mendekati gerbang sekolah, ia melihat anak-anak dan orang tua mulai berdatangan. Suara riuh rendah anak-anak yang ceria dan orang tua yang sibuk berbincang-bincang mengisi udara pagi itu. Bu Nadia berusaha fokus pada pekerjaannya, tapi wajah Pak Arman terus-menerus terbayang di kepalanya.
Ketika Bu Nadia berada di dekat gerbang, ia melihat Pak Arman berdiri di samping mobilnya, sambil memegang tangan anaknya yang sedang memasuki gerbang sekolah. Pak Arman terlihat seperti biasanya, dengan senyum lebar yang khas, seakan siap menyambut hari dengan penuh semangat.
Bu Nadia merasa sedikit cemas. "Jangan-jangan dia akan mencoba berbicara lagi," pikirnya sambil mempercepat langkahnya. Namun, sayangnya, Pak Arman sudah melihatnya dan langsung melambai dengan antusias.
“Selamat pagi, Bu Nadia!” teriak Pak Arman sambil melambaikan tangan.
Bu Nadia tersenyum canggung dan mencoba mengabaikan sapaan tersebut dengan berpura-pura sibuk mengatur tasnya. "Selamat pagi, Pak Arman,” jawabnya, tapi langkahnya tidak menunjukkan niat untuk berhenti.
Pak Arman tidak menyerah. “Wah, Bu Nadia, senang sekali bisa ketemu pagi ini. Bagaimana kabar Anda setelah kemarin?”
Bu Nadia merasa sedikit tertekan. “Oh, baik-baik saja, Pak Arman. Hanya siap untuk memulai hari.”
Pak Arman melangkah mendekat. “Kalau begitu, bolehkah saya ngobrol sebentar? Atau mungkin kita bisa minum kopi bersama setelah jam sekolah?”
Bu Nadia merasa malu dengan beberapa rekan kerja yang sudah mulai memperhatikan. Dia merasa semua mata tertuju pada mereka, membuatnya semakin canggung. “Eh, Pak Arman, sebenarnya saya harus...”
Tiba-tiba, seorang rekan kerja Bu Nadia, Ibu Jeni, lewat dan menyapa mereka. “Selamat pagi, Bu Nadia! Selamat pagi, Pak Arman!”
Bu Nadia memanfaatkan momen ini untuk sedikit melarikan diri. “Oh, selamat pagi, Bu Jeni. Baiklah, Pak Arman, saya harus masuk kelas sekarang.”
Pak Arman terlihat sedikit kecewa tapi masih berusaha keras. “Oke, Bu Nadia. Kalau begitu, mungkin nanti kita bisa ngobrol lebih banyak di lain waktu.”
Bu Nadia memberi senyum canggung. “Ya, mungkin nanti. Terima kasih, Pak Arman.”
Setelah Bu Nadia melanjutkan langkahnya menuju ruangannya, dia merasa lega tapi juga sedikit menyesal. “Kenapa sih aku jadi malu gini?” pikirnya. Ia masuk ke ruang kelas dan mulai mempersiapkan segala sesuatunya sebelum anak-anak datang.
Namun, di tengah-tengah persiapannya, Bu Nadia tidak bisa menahan senyum. Pikirannya kembali pada Pak Arman, dengan segala usaha dan kerajinannya untuk mendekatinya. “Dia memang keras kepala, tapi juga perhatian,” gumamnya sambil tertawa kecil.
Sementara itu, Pak Arman merasa sedikit putus asa setelah upayanya pagi itu. Namun, semangatnya belum padam. “Nggak apa-apa, hari ini belum berhasil, tapi aku pasti akan coba lagi. Aku nggak bisa menyerah begitu saja,” ucapnya dengan semangat.
Dia kembali ke mobilnya sambil memikirkan strategi baru untuk mendekati Bu Nadia. “Kalau gitu, mungkin aku bisa bantu dengan acara sekolah atau apa gitu. Pokoknya harus bisa deketin dia lebih banyak lagi.”
Tampaknya Bu Nadia dan Pak Arman akan terus menghadapi situasi yang membuat mereka semakin dekat, meskipun dengan banyak tantangan dan momen-momen konyol yang pasti akan mereka alami di sepanjang perjalanan ini.
Hari itu di TK Pertiwi Masaran, Bu Nadia mengajar dengan penuh semangat, meskipun pikirannya terus-menerus melayang ke Pak Arman. Dia sudah memutuskan untuk mengirimkan pesan kepada Pak Arman setelah bel sekolah berbunyi, memutuskan untuk bertemu dan mengetahui lebih banyak tentang lelaki yang terus-menerus mengganggu pikirannya.
Saat jam pelajaran hampir berakhir, Bu Nadia merasa deg-degan. Dia mengirimkan pesan singkat ke Pak Arman yang berbunyi, “Pak Arman, nanti sepulang mengajar habis duhur saya tunggu di parkiran ya.”
Beberapa detik setelah pesan terkirim, ponsel Bu Nadia bergetar, dan Pak Arman membalas dengan cepat, “Oh, Bu Nadia! Terima kasih banyak! Saya akan ada di sana tepat waktu.”
Setelah bel sekolah berbunyi, Bu Nadia mengakhiri jam pelajaran dengan penuh semangat. Ia merasa sedikit gugup, namun rasa penasaran membuatnya ingin segera mengetahui lebih banyak tentang Pak Arman. Setelah memastikan semua anak-anak sudah pulang dan ruang kelas sudah rapi, Bu Nadia melangkah ke parkiran dengan langkah hati-hati.
Di parkiran, Pak Arman sudah menunggu dengan penuh semangat, tampak lebih bersemangat dari biasanya. Saat melihat Bu Nadia datang, senyum lebar langsung menghiasi wajahnya. “Bu Nadia, terima kasih sudah meluangkan waktu!”
Bu Nadia tersenyum tipis, mencoba menenangkan diri. “Pak Arman, saya ingin berbicara serius. Saya perlu tahu lebih banyak tentang Anda sebelum kita lanjutkan.”
Pak Arman tampak sedikit canggung tapi juga bersemangat. “Tentu, Bu Nadia. Silakan bertanya apa saja.”
Bu Nadia memutuskan untuk melakukan sedikit ujian. Dia mencoba menampilkan ekspresi serius dan melotot dengan mata, padahal sebenarnya dia merasa sangat lembut dan malu. “Pak Arman, saya ingin tahu apa niat Anda sebenarnya. Apakah Anda hanya ingin berkenalan dengan saya atau ada sesuatu yang lebih?”
Pak Arman terlihat sedikit terkejut dan agak kaget dengan nada Bu Nadia yang tiba-tiba berubah. Namun, dia berusaha keras untuk tetap tenang. “Bu Nadia, saya hanya ingin mengenal Anda lebih baik. Saya tidak punya niat buruk. Saya hanya merasa Anda adalah orang yang sangat menarik dan saya ingin mencoba lebih dekat.”
Bu Nadia masih menjaga ekspresi galak, meskipun sebenarnya hatinya bergetar. “Hmm, begitu ya? Lalu, apa yang membuat Anda tertarik pada saya?”
Pak Arman dengan penuh semangat mulai menjelaskan, “Sebenarnya, Bu Nadia, saya melihat betapa Anda begitu berdedikasi dan penuh perhatian pada pekerjaan Anda. Anda juga sangat baik kepada anak-anak, dan itu membuat saya terkesan. Saya ingin mengenal Anda lebih baik karena saya merasa kita bisa saling belajar dan berbagi.”
Bu Nadia merasa sedikit terharu dengan jawaban Pak Arman. “Oke, kalau begitu. Tapi jangan berharap terlalu banyak. Saya ingin memastikan semuanya jelas.”
Pak Arman tampak sangat senang dan lega. “Tentu, Bu Nadia. Saya menghargai kesempatan ini dan akan berusaha sebaik mungkin.”
Ketika Pak Arman mulai berbicara dengan lebih santai dan membuka diri, Bu Nadia merasa sedikit terhibur dan mulai merasa lebih nyaman. “Pak Arman, kalau Anda terus berbicara seperti ini, saya mungkin akan merasa semakin nyaman,” katanya sambil tersenyum.
Pak Arman dengan ceria menanggapi, “Baiklah, Bu Nadia. Jadi, bagaimana kalau kita merencanakan makan siang atau minum kopi di akhir pekan? Kita bisa ngobrol lebih banyak.”
Bu Nadia berpikir sejenak dan kemudian menjawab dengan senyum lembut, “Itu bisa jadi ide yang baik. Mari kita lihat bagaimana semuanya berjalan.”
Momen ini membuat Pak Arman semakin bersemangat dan Bu Nadia merasa lega karena bisa berbicara secara terbuka. Mereka akhirnya mengakhiri pertemuan dengan kesepakatan untuk bertemu lagi di akhir pekan. Bu Nadia merasa senang karena berhasil menguji Pak Arman dan juga merasa lebih nyaman untuk melanjutkan perkenalan mereka.
Saat Bu Nadia kembali ke rumah, dia tidak bisa menahan senyum. “Rupanya, dia lebih baik dari yang aku bayangkan,” pikirnya. Meskipun masih ada rasa penasaran dan kekhawatiran, pertemuan ini memberikan harapan baru dan kesempatan untuk sesuatu yang mungkin lebih baik di masa depan.