Akankah cinta memudar seperti kehormatan yang telah hilang?
Seruni, nama yang singkat, sesingkat pemikirannya tentang cinta ketika usianya baru saja menginjak tujuh belas tahun saat itu. Atas kekagumannya pada sosok gagah, pemuda yang digandrungi semua gadis desa pada masa itu, Seruni rela melepas keperawanannya kepada lelaki itu di sebuah bilik bambu tak berpenghuni.
Ajun Komisaris Polisi Seno Ari Bimantara, lelaki dengan segudang prestasi di ranah kepolisian, tercengang ketika pada hari dia kembali bekerja setelah lamaran dengan kekasihnya, menemukan laporan dua orang wanita malam yang berkelahi dengan satu korban bocor di kepala. Ia tercekat pada satu nama dan satu wajah dalam laporan itu: Seruni.
Gadis polos yang ia ambil kesuciannya bertahun-tahun lalu di balik bilik bambu kini kembali secara tak sengaja ke dalam hidupnya dengan realita kehidupan mereka yang kontras. Namun, pada pertemuan kedua setelah bertahun-tahun yang lalu itu, hanya ada kebencian dalam nyalang mata seruni ketika memandangnya.
Bima, Seruni dan Atikah, terlibat sebuah hubungan rumit yang akhirnya mengantarka mereka pada romansa berantakan berujung dendam! Mampukah Bima meredam kebencian Seruni pada sepenggal kisah mereka yang tertinggal di balik bilik penyesalan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lemari Kertas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bad Dream
"Ramai sekali malam ini, ituku sampai sakit melayani tiga pelanggan malam ini! Mana yang satu bau ketek pula!" Seorang pekerja mak Ute dengan tubuh seksi bak model film biru merutuk sambil menenggak habis bir hitam di dalam gelas yang baru saja akan Seruni angkat dari meja.
Seruni tertawa seraya menggeleng melihatnya. Ia kemudian menyodorkan air putih dingin kepada perempuan itu.
"Biar bau ketek kalau kasih duit banyak kan gak masalah, Mbak Rini."
"Run, kau tak tahu saja, aku mual sampai pengen muntah. Untung saja perkakasnya gede, puaslah sedikit biar bau keteknya pun!"
Semakin tertawa Seruni mendengarnya.
"Mbak, tak ada pikiran mau merantau ke Jakarta kah?" tanya Seruni.
Rini menyulut rokok sesaat sebelum ia menjawab pertanyaan Seruni. Ia menggeleng.
"Taklah, Run. Ke Jakarta juga palingan aku jadi pel*cur juga. Jauh kali mau indehoi sampai ke Jakarta sana!"
"Ya, siapa tahu di sana Mbak bisa dapat pekerjaan yang lebih layak."
"Yang mau ke Jakarta itu sebenarnya kau kan, Run?" tanya mbak Rini sambil tertawa.
Seruni menundukkan kepala lalu kembali sibuk dengan aktivitasnya membersihkan meja. Ia kemudian mengangguk.
"Selesaikan dulu sekolahmu, Run. Nanti kalau memang sudah lulus, bolehlah kau minta tolong mak Ute agar bisa ke sana. Mak Ute banyak kenalan di mana-mana, pasti di Jakarta juga lebih banyak lagi orang yang dikenalnya."
Seruni mengangguk-angguk kepala mendengar Rini. Perempuan itu kemudian pergi ke belakang, ke bilik istirahatnya untuk tidur. Seruni sendiri masih sibuk mencuci gelas-gelas kotor dan membersihkan pecahan gelas karena tadi sempat pula ada yang bertengkar.
"Belum tidur kau, Run?"
Seruni menoleh, dilihatnya mak Ute tengah bersidekap di depan dada melihat Seruni yang hampir selesai mencuci gelas.
"Sedikit lagi, Mak."
"Ya sudah, kalau sudah selesai langsunglah tidur. Besok kau kan ada ujian sekolah."
Runi mengangguk.
"Nah, ini uang sekolahmu. Besok bayarkan berikut bulan-bulan kemarin yang belum dibayar."
Seruni menatap amplop putih panjang itu. Ia kemudian menoleh kepada mak Ute yang tersenyum ke arahnya. Seruni membalasnya dengan senyuman yang sama.
"Makasih ya, Mak, aku tak tau kalau tak ada Mak bagaimana kehidupanku sekarang."
"Belajar saja yang rajin. Di sini hanya boleh kerja antar minum ke tamu, jangan jadi seperti mereka," kata mak Ute sambil mengedipkan sebelah matanya hingga bulu mata anti badai topan ****** beliung itu copot, membuat mak Ute gelagapan.
"Mereka itu kita ya, Mak?"
Tiga perempuan seksi berbadan montok mengagetkan mak Ute dan Seruni.
"Ya sapa lagi?"
"Ih, Mak, kalau tak ada kita sepi warung remang-remang Mak ini!" protes mereka kompak.
"Ya pensiun lah aku jadi germo!" tandas mak Ute santai membuat ketiga perempuan itu berlalu dengan sebal.
Seruni tertawa terpingkal melihat mereka. Di warung remang-remang yang kata orang neraka dunia kampung seberang itu, dia justru menemukan kebersamaan, kekeluargaan dan rasa peduli satu sama lain.
Tadinya, dia kira di sana setelah diterima mak Ute, dia hanya akan jadi jongos yang tak punya teman, ternyata mereka semua layaknya saudara, merasa senasib sepenanggungan.
"Run, tidurlah sehabis ini. Jangan lupa besok bangun pagi, kau jangan sampai terlambat sekolah."
Seruni mengangguk lagi lalu membiarkan mak Ute pergi ke dalam biliknya sendiri yang terpisah dan lebih luas dari bilik-bilik lain. Seruni segera menyelesaikan pekerjaan kemudian mengelap tangan dan pergi menutup pintu warung remang-remang yang cukup luas itu.
Setiba di biliknya sendiri, Seruni segera menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Saat akan memejamkan mata, terlihat jam tangan milik lelaki yang sudah merenggut kesuciannya dan telah pergi dari hidupnya tanpa pamit. Emosi Seruni tersulut seketika, menatap benda yang menjadi satu-satunya bukti bahwa di antara mereka berdua sudah ada yang terjadi kemarin.
"Seno Ari Bimantara, aku bersumpah, jika suatu saat akan bertemu denganmu lagi, sebahagia apapun kau, akan aku hancurkan kau seperti kau yang telah menghancurkan aku!"
Seruni berseru lantang meski hanya dalam hatinya sendiri. Kemudian Seruni mulai menarik selimut tipis, menutup tubuhnya dari dingin malam itu. Ketika tidur, Seruni tampak gelisah sekali. Ia bermimpi, bermimpi kembali bertemu dengan Bima yang telah begitu gagah dengan seragam polisi.
Tampannya masih sama, suara bahkan tatapannya masih membius Seruni. Namun, ketika lelaki itu mencoba kembali menggagahinya, Seruni lantas meraih pistol yang terselip di pinggang Bima lalu tanpa basa basi menarik pelatuk dan membuat Bima jatuh tertelungkup di atas tubuhnya sendiri.
Tubuh keduanya berdarah, tapi Seruni tak bisa bergerak sebab sesaat sebelum ia menarik pelatuk, Bima telah lebih dulu menusuknya dengan belati yang terselip di saku Seruni, tepat di dadanya.
Bangun Seruni dibanjiri peluh. Seruni memeluk tubuhnya erat, meringkuk memeluk lutut. Ia menggeleng, benci dalam nyalang mata indahnya menatap jam tangan yang tergantung di paku itu.
"Aku benci kau, Bima! Aku sungguh membencimu!"
Seruni menangis dalam bekapan bantal yang menutup wajahnya hingga subuh menjelang dan memaksanya beringsut menunaikan ritual menghadap Tuhan.
aq cari disini gak nemu 🤭
padahal holang kaya