Dunia Yumna tiba-tiba berubah ketika sebuah video syur seorang wanita yang wajahnya mirip dengan dirinya sedang bercinta dengan pria tampan, di putar di layar lebar pada hari pernikahan.
Azriel menuduh Yumna sudah menjual dirinya kepada pria lain, lalu menjatuhkan talak beberapa saat setelah mengucapkan ijab qobul.
Terusir dari kampung halamannya, Yumna pun pergi merantau ke ibukota dan bekerja sebagai office girl di sebuah perusahaan penyiaran televisi swasta.
Suatu hari di tempat Yumna bekerja, kedatangan pegawai baru—Arundaru—yang wajahnya mirip dengan pria yang ada pada video syur bersama Yumna.
Kehidupan Yumna di tempat kerja terusik ketika Azriel juga bekerja di sana sebagai HRD baru dan ingin kembali menjalin hubungan asmara dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Sore hari setelah jam kantor, Yumna kembali merapikan meja dan berjalan ke lift. Arundaru menunggunya di parkiran seperti biasa. Ia sempat mengirim pesan singkat.
Arundaru:
Aku di motor. Take your time, sayang.
Pesan itu membuat wajah Yumna langsung hangat. Namun, langkahnya terhenti ketika dari lorong, seseorang berdiri menunggunya.
Azriel. Lelaki itu berdiri dengan tubuh kaku, bahu tegang, dan wajah yang tampak menahan banyak kata.
“Yumna, aku ingin bicara,” ucap Azriel.
Yumna menegakkan tubuhnya. “Maaf, aku mau pergi, sudah ditunggu di bawah.”
“Dengan dia?” Azriel menatap tajam. Nada suaranya bergetar tetapi jelas.
Yumna mengerutkan kening. “Itu bukan urusanmu.”
Di parkiran, Arundaru langsung turun dari motor dan membuka helmnya. “Kamu telat lima menit. Aku hampir naik ke atas buat mencari kamu,” katanya sambil menatap wajah Yumna dengan cemas.
Yumna tersenyum samar. “Ada yang menghalangi.”
Arundaru menatapnya. “Azriel?”
Yumna tidak menjawab, tetapi Arundaru tahu.
Tanpa banyak kata, ia meraih tangan Yumna dan mengecup punggung tangannya perlahan, hangat, penuh rasa memiliki, tetapi tetap sopan.
“Aku di sini, Yumna. Aku nggak akan ninggalin kamu. Selama kamu mau aku ada.”
Yumna mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca. Dia merasa berada di tempat yang tepat. Dia juga tidak lagi takut menghadapi masa lalu. Wanita naik ke motor Arundaru, memeluknya dari belakang lebih erat dari kemarin.
Arundaru, sambil menyalakan motor, tersenyum kecil. “Kalau pelukanmu kayak gini setiap hari, aku bisa mati bahagia.”
“Jangan ngomong yang aneh-aneh!”
Tawa mereka mengisi udara senja.
Di lantai atas Azriel berdiri sendirian, menatap punggung dua orang yang kini saling memilih satu sama lain. Ia tahu ia sudah terlambat. Sangat terlambat. Kini, satu-satunya yang tersisa untuknya hanya penyesalan.
***
Malam turun perlahan, menumpahkan cahaya kuning redup dari lampu-lampu jalan ke halaman kecil kost-kostan. Angin lembut menggoyang jemuran pakaian penghuni, membuat suasana terasa hening dan damai. Namun, ketenangan itu tidak berlaku bagi seseorang.
Tok! Tok! Tok!
Ketukan tegas terdengar di depan pintu kamar Yumna.
Di dalam kamar Yumna yang baru selesai mandi terlonjak kecil. Rambutnya masih basah, menetes di ujung-ujung ketika ia berjalan mendekat. Ia sempat menatap jam dinding, pukul delapan lewat sedikit.
“Mas Arun bilang ada banyak pekerjaan yang dibawa ke rumah. Lalu, siapa yang datang malam-malam begini?
Dengan langkah hati-hati, Yumna membuka pintunya sedikit. Begitu pintu terbuka, tubuhnya refleks kaku.
“Azriel?” suara Yumna tercekat. Ia langsung mendorong daun pintu lebih rapat, menyisakan celah kecil saja. “Ada apa kamu datang ke sini?”
Azriel berdiri di depan pintu dengan wajah yang sedikit letih. Rambutnya masih rapi, seperti habis pulang kerja, namun menahan sesuatu sejak tadi. Matanya memerhatikan Yumna, lembut sekaligus menyimpan api.
“Aku perlu bicara,” ucap Azriel pelan. “Cuma lima menit. Tolong, Yumna.”
Yumna meremas gagang pintu. “Aku tidak ingin buat masalah di sini. Ini sudah malam.”
“Aku bukan mau buat masalah.” Azriel mengukus napas, seperti menahan gelombang emosi. “Aku hanya ingin bicara baik-baik.”
Yumna menggeleng cepat. “Kita tidak punya urusan lagi.”
“Justru itu.” Azriel menatapnya dalam. “Karena aku ingin memperbaiki semuanya.”
Deg.
Hati Yumna berdetak satu kali lebih keras karena takut, bukan rindu. Luka lama yang sudah ia kubur dalam-dalam, mendadak terasa seperti ditarik ke permukaan.
“Aku tidak ingin kembali ke masa lalu,” ujar Yumna dengan nada tegas. “Semuanya sudah selesai.”
Azriel tersenyum tipis, sedih. “Tapi, aku belum selesai.”
Pernyataan itu membuat Yumna mundur selangkah. Tangannya mencengkeram pintu lebih kuat.
Sebelum Yumna sempat menutup pintu, Azriel menahan dengan telapak tangannya. “Yumna, dengar aku sebentar saja. Setelah itu aku pergi.”
“Lepas.” Yumna menarik pintunya, tetapi Azriel tidak menekan, hanya menahan sambil berusaha tidak terlihat memaksa.
“Oke.” Azriel mengangkat kedua tangannya, menandakan ia tidak berniat mendorong. “Aku bicara dari sini saja, kamu tidak perlu buka pintu lebih lebar. Boleh?”
Yumna menghela napas panjang. Buat apa memperpanjang masalah? Dia ingin malam ini cepat selesai.
“Cepat,” ujar Yumna.
Azriel mengangguk.
"Aku melihat kamu sering bersama Arundaru. Bahkan pulang dan pergi bareng.” Azriel menelan ludah. “Aku tahu itu bukan urusanku lagi, tapi ....”
“Tapi apa?” Nada Yumna mulai tidak sabar.
“Tapi, aku cemburu.”
Yumna menutup mata sejenak. “Azriel, jangan mulai.”
“Aku serius, Yumna.” Suara Azriel merendah, seperti bergetar. “Melihat kamu dekat dengan pria lain, entah kenapa rasanya aku mau gila.”
“Azriel, hubungan kita sudah berakhir sejak tiga tahun lalu.” Yumna membalas dengan lebih tegas. “Kamu yang melepaskan aku dulu. Kamu yang memilih membuang aku. Jadi jangan datang sekarang dan mengungkit hal yang sudah aku tutup.”
“Aku tahu aku salah.” Azriel menunduk, mengusap wajahnya. “Aku menyesal. Aku masih sayang dan cinta sama kamu, Yumna.”
Jantung Yumna berhenti sepersekian detik. Dulu kalimat itu bisa membuatnya bahagia berhari-hari. Tapi sekarang kalimat itu terasa seperti duri yang kembali menusuk.
“Azriel, tolong.” Yumna menatapnya dengan mata memerah. “Jangan buat aku mengingat semuanya lagi. Aku sudah berusaha mati-matian untuk sembuh. Jangan hancurkan hidup aku lagi.”
Azriel terdiam. Gulungan emosi jelas terlihat di wajahnya. Lalu, perlahan ia mengangkat kepala.
“Jadi, kamu sekarang berpacaran sama Arundaru?” tanya Azriel dengan suaranya serak.
Yumna tidak menjawab. Dengan diamnya sudah cukup menjelaskan.
Azriel mengulum senyum getir. “Dia serius sama kamu?” tanyanya lagi.
“Iya,” jawab Yumna mantap.
“Lalu, apa kamu juga suka sama dia?”
Yumna menarik napas dalam. “Iya. Aku memilih Arundaru. Dia baik, tulus, dan tidak membuatku merasa sendirian.”
Azriel memejamkan mata, seperti seseorang yang baru saja mendengar vonis terberat dalam hidupnya.
“Aku telat, ya?” tanya Azriel, suaranya nyaris berbisik.
Yumna tidak menjawab. Ia hanya menatap lemah.
Azriel menunduk, bahunya jatuh. Untuk pertama kalinya, pria itu terlihat rapuh. Getaran kecil tampak di ujung bibirnya. Kemudian ia tersenyum kecil, senyum pahit yang menunjukan kekacauan hatinya saat ini.
“Kalau begitu ....” Azriel menarik napas panjang, menahan gemetar. “Aku cuma mau bilang satu hal.”
Yumna menatapnya, menunggu.
“Jaga dirimu baik-baik. Dan ....” Azriel menelan ludah. “Kalau Arundaru menyakitimu, sekecil apa pun, datang lah ke aku. Aku bakal ada buat kamu. Kapan pun.”
Yumna menggigit bibir. “Azriel—”
“Aku tahu.” Azriel mengangkat tangan pelan. “Kamu tidak mau lihat aku lagi. Aku mengerti.”
Ia mundur satu langkah. Tapi sebelum berbalik, Azriel menatapnya untuk terakhir kali.
“Selamat, Yumna … atas kebahagiaanmu.”
Nada suara Azriel pecah di akhir. “Semoga dia membuatmu lebih bahagia daripada yang aku pernah aku lakukan untukmu.”
Yumna terpaku. Lidahnya kelu. Hatinya penuh sesuatu yang sulit dijelaskan, bukan cinta, bukan rindu, melainkan semacam belas kasihan dan rasa kehilangan sebuah masa yang sudah mati.
Azriel akhirnya berbalik, melangkah pergi tanpa menoleh lagi. Siluetnya memanjang memantul di lantai, perlahan menghilang di sudut koridor.
Yumna berdiri memeluk dirinya sendiri, menahan napas, matanya panas dan hatinya bergetar. Bukan karena masih mencintai Azriel, melainkan karena luka lama itu masih menyisakan bekas seperti garis tipis yang tidak bisa benar-benar hilang.
Namun, ketika wajah Arundaru terbayang, dengan senyumnya, caranya memandang, ketulusannya, Yumna merasakan ketenangan seperti selimut hangat yang menutup seluruh hatinya. Ia menutup pintu, menyandarkan punggung ke dinding, mengusap dadanya sambil tersenyum tipis.
“Sekarang aku sudah memilih orang untuk masa depanku,” bisik Yumna bermonolog. Keputusan itu adalah langkah baru bagi hidupnya.
***
Modus mas Arun moduusss 😂😂😂
semoga keluarga Arun bisa menerima Yumna