Goresan ISENG!!!
Aku adalah jemari yang gemetar. Berusaha menuliskan cinta yang masih ada, menitip sebaris rindu, setangkup pinta pada langit yang menaungi aku, kamu dan kalian.
Aku coba menulis perjalanan pulang, mencari arah dan menemukan rumah di saat senja.
Di atas kertas kusam, tulisan ini lahir sebagai cara melepaskan hati dari sakit yang menyiksa, sedih yang membelenggu ketika suara tidak dapat menjahit retak-retak lelah.
Berharap kebahagiaan kembali menghampiri seperti saat dunia kita begitu sederhana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Tabir Yang Terbuka
"Selasa, 13 Januari 2023 tepat pukul 15.45 WIB pasien bernama Maudy Danisha dinyatakan meninggal ... " ucap dokter jaga di ICU, sebagai laporan kematian pasien.
Ucapan itu Sabil dengar langsung di samping dokter yang menangani Danisha. Ucapan yang biasanya ia ucapkan pada pasien yang gagal ia tangani. Ia memejamkan mata sebentar untuk menerima kenyataan, bahwa ia gagal mendidik Danisha menjadi pribadi yang lebih baik. Bagaimana pun secara hukum negara dan agama ia masih suami Danisha walaupun ia hanya suami kontrak.
Kematian, adalah garis finish seseorang untuk menabung amal di dunia. Seperti Rindu, kematian bisa datang kapan saja, tanpa pulang. Semua yang bernapas akan terhenti pada waktunya. Tidak ada yang pernah bisa memprediksi umur seseorang. Danisha lebih muda lima tahun darinya, namun ia lebih dulu menghadap yang Maha kuasa.
"Mohon maaf dokter Sabil, kami sudah berusaha maksimal... "
Sabil mengangguk pasrah, "saya tahu dokter Sandi, saya tahu."
"Untuk prosedur pemulangan jenazah bisa kami bantu semaksimal mungkin demi rasa hormat kami pada dokter Sabil dan keluarga Profesor Darmono, juga penghormatan terakhir pada rekan sejawat kami, dokter Danisha," ucapnya dengan tulus.
Sabil keluar ruangan ICU dengan langkah gontai, membiarkan rumah sakit menjalankan prosedur dan laporan kematian. Ia disambut wajah cemas bude dan Hania di muka pintu.
"Apa yang terjadi, kenapa dia kejang?" tanya bude
"Nisa, sudah tiada bude."
"Innalilahi... " serempak bude dan Hania berucap.
"Kita akan menunggu proses pemandian dan prosedur pemulangan jenazah ke rumah duka," ucapnya lirih.
Sabil melirik Jordan yang masih terlelap dalam gendongan Hania. Batita itu tidak tahu bahwa dunianya sedang runtuh, orang pertama yang mengajarkan tersenyum kini telah tiada. Ia mengusap lembut kepala batita itu, lalu mengecup kepalanya begitu lama.
"Maafkan papa, nak," bisiknya lirih. Batita itu tidak terusik sama sekali.
Di rumah sakit lain, Wina diberi tugas untuk memberitahu Profesor Darmono atas kematian putrinya. Pria paruh baya itu terdiam lama saat diberitahu, meski wajahnya semakin pias, ia tetap ingin menemui jenazah putri semata wayang untuk terakhir kali.
"Bawa aku pulang Win, aku ingin melihatnya satu kali lagi." suaranya bergetar, rapuh dan berat.
Kesedihan dan selimut duka mewarnai kediaman profesor Darmono. Banyak rekan seprofesi yang sudah datang menunggu kedatangan jenazah Danisha, walaupun dia seringkali bersikap semaunya pada Sabil, tapi di mata sahabat, teman dan rekan seprofesi, Danisha adalah pribadi yang baik, supel dan tulus dalam membantu.
Mobil ambulan masuk ke halaman rumah disambut tangis kesedihan dan raungan para sahabat. Sementara Darmono hanya terdiam dengan wajah mengeras, tatapannya kosong dan jauh, tidak ada airmata yang keluar, bukan berarti ia tidak bersedih, justru hatinya saat itu teramat hancur, kesedihan sudah berada di level tertinggi hingga gestur tubuhnya menciptakan keheningan yang dingin dan mencekam.
Saat keranda dibawa masuk, ia tidak lagi bisa bergerak untuk memeluk putrinya. Ia meremas sandaran tangan kursi roda dengan kuat, seolah ingin melawan kesedihannya, tapi tidak bisa. Sabil datang memeluknya dengan hangat, mengusap punggung lelaki yang terlihat semakin rapuh itu dengan lembut.
"Papa, yang sabar... Nisa sudah damai, dia sudah berjuang untuk hidup tapi Tuhan berkehendak lain. Para medis di sana sudah lakukan yang terbaik, aku saksinya," ucapnya lembut.
Perlahan tubuh tua itu merespon, tubuhnya bergetar, suara isakan perlahan keluar dari bibirnya. "Dia lebih menyayangi mamanya daripada aku, terakhir dia bilang kangen mamanya... "
"Iya Pa, Danisha sudah bertemu mama Sukma." Sabil mengangkat tubuh Darmono untuk bisa mendekati jenazah putrinya.
Tangan tua itu bergetar saat meraba peti jenazah putrinya. "Maafkan Papa, Nisa. Andai papa ijinkan kamu menikah dengan lelaki pujaanmu, kamu tidak akan lari menjauh dariku."
Sabil diam, membiarkan Papa angkatnya bicara untuk terakhir kalinya di depan Danisha. Biar ikatan emosi itu lepas tidak lagi membelenggunya. Dia cukup berada di sisi Papanya, memberi dukungan, agar papa angkatnya tahu, ia tidak sendirian.
Sholat jenazah telah ditunaikan. Iring-iringan pengantar jenazah ke tempat peristirahatan terakhirnya mengular memenuhi jalan. Sebagai bukti bahwa almarhum di mata orang lain sangat baik, banyak hal baik yang masih membekas di hati para sahabatnya. Tidak ada yang tahu jika selama ini Danisha berkalang dosa, hidup satu rumah dengan Jordi tanpa ikatan pernikahan.
Dosa urusan pribadi masing-masing, selama ini Allah terlalu baik pada Danisha, menutupi aibnya sedemikian rapat, hingga ia dinobatkan sebagai manusia baik di hati sahabatnya.
"Kita adalah pendosa yang selektif, kita memilih dosa yang nyaman bagi kita, dan menghakimi orang lain yang melakukan dosa yang tidak kita sukai." (Shams Tabrizi)
Semua manusia memiliki dosa, tidak ada manusia yang tidak pernah salah, setiap orang pernah memiliki latar belakang yang kelam. Namun, Tuhan lebih mencintai orang yang bersalah lalu ia bertaubat, daripada mengaku orang Sholeh tapi tidak pernah mengaku salah.
Jangan hakimi orang lain atas dosa-dosanya, karena yang berhak menghakimi hanyalah Tuhan
Ketika keranda ditepikan, jenazah diturunkan ke tiang lahat. Sosok menyeramkan itu tersenyum puas di balik pepohonan rindang di area pekuburan itu. Matanya menatap liang lahat dengan tatapan lapar. Air liur terus mengalir dari mulutnya. Ia menunggu, sebentar lagi pesta akan dimulai.
Jordan menangis keras dan berontak dalam gendongan bude, saat tubuh mamanya akan dimasukkan ke liang lahat, matanya menatap ke atas, ke arah pepohonan rimbun, ia ketakutan saat netranya menangkap sosok yang menyeramkan, matanya mengisyaratkan ketakutan yang teramat sangat saat bertemu dengan mata merah saga milik makhluk itu.
Hania pun menangkap sosok itu di kejauhan, mata mereka bertemu. Entah kenapa Hania merasakan sosok itu sangat familiar, tatapan mata merah saga itu meredup saat Hania menatapnya tanpa berkedip, makhluk itu memalingkan wajahnya dari tatapan Hania. Ia bersembunyi di balik batang pohong beringin. Hania menutup matanya perlahan, menghirup aroma kasturi dan gaharu.
"Itu kamu. Aku bisa merasakan kehadiranmu," Hania kembali membuka matanya, ia terus menatap ke arah pohon beringin.
Makhluk itu belum menyadari jika Hania bisa melihat wujudnya yang asli saat ini. Selama ini dia hadir dalam sosok lain, wajah seorang lelaki tampan yang memiliki kejayaan dan kekuasaan di masa lalu. Ia menundukkan wajahnya, saat itulah ia melihat kakinya yang bersisik tebal dengan kuku kaki panjang dan tajam, tubuhnya tidak bisa berubah wujud di hadapan Hania. Dia panik, dia berusaha merubah wujudnya seperti semula.
Terlambat. Hania sudah melihatnya. Dialah Prabu Kamandaka, bangsa jin yang mencintai Hania.
"Apa yang akan kamu lakukan padanya?" gumam batin Hania yang bisa didengar sosok itu. Suaranya Hania bergetar menahan kecewa.
Sosok itu hanya diam terpaku.
"Kamu jahat ... ! Kamu penipu, tidak aku sangka" Hania menggelengkan kepalanya dengan tatapan kecewa.
"Dia sudah menyakitimu, Nyai. Aku harus membalasnya!"
"Kamu bohong! Bukan itu alasannya," bentak Hania
Makhluk itu berpindah posisi sambil mendengus. "Dia menukar jiwa keluarganya dengan kemenangan di meja judi. Aku penagih janji!" jawab makhluk menyeramkan itu, suaranya terdengar seperti geraman yang keras penuh amarah.
Hania tersentak dan kakinya mundur selangkah ke belakang, sedikit terhuyung. 'Keluarga?'
"Siapa yang kamu maksud keluarganya?"
"Dua orang lelaki itu," jawabnya sambil mengarahkan mata Hania melihat Sabil dan Darmono.
"Kamu bukan penagih janji, tapi mahkluk licik yang tidak bisa menepati janji!" tuduh Hania menekan jiwa makhluk itu.
Makhluk itu tersentak. Semakin hari penyamarannya semakin terkuak, tabir yang menutupi netra dan mata batin Hania saat bertemu dengan dirinya semakin terbuka. Makhluk itu memukul tengkuk Hania dengan sihirnya, hingga Hania jatuh terkulai tidak sadarkan diri.
"Hania!" teriak bude