Devan kaget saat tiba-tiba seseorang masuk seenaknya ke dalam mobilnya, bahkan dengan berani duduk di pangkuannya. Ia bertekad untuk mengusir gadis itu, tapi... gadis itu tampak tidak normal. Lebih parah lagi, ciuman pertamanya malah di ambil oleh gadis aneh itu.
"Aku akan menikahi Gauri."
~ Devan Valtor
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hanya kasihan?
Devan mengencangkan pegangan di bahu Gauri ketika gadis itu mulai menggeliat, napasnya tersengal karena emosi yang naik secara mendadak. Wajahnya yang tadi penuh cream berubah tegang, matanya memerah, hampir seperti akan menangis tapi ditahan dengan keras.
"Gauri mau roti itu! Mau! Mau!"
Suara Gauri pecah, menggema di kebun yang sepi. Ia meraih udara, mencoba memanjat tubuh Devan demi mendapatkan kantong plastik itu. Gerakannya cepat, liar, tidak terkontrol. Seperti anak kecil yang ketakutan kehilangan sesuatu yang penting.
Devan menarik napas panjang.
"Tidak."
Satu kata itu saja sudah cukup membuat tantrum Gauri meledak. Gadis itu memukul dada Devan, menendang tanah, berusaha mendorong pria itu sampai hampir jatuh. Tubuhnya kecil, tapi kekuatannya, saat sedang panic mode, tidak bisa diremehkan.
"Kasiiiih! Itu punya Gauriii!"
"Tidak, Gauri."
Devan tetap berdiri tegap. Tatapannya tegas, tapi nadanya lembut.
"Itu kotor. Nanti kamu sakit."
Namun bukannya tenang, Gauri malah makin histeris. Ia mencoba menarik tangan Devan, meraih kantong itu seperti hidupnya bergantung di sana. Dan ketika Devan mengambil keputusan …
Ia membuka kantong plastik itu.
Dan membuang semua roti dari tempat sampah itu ke tanah, lalu mendorongnya lebih jauh dengan kaki, hingga jatuh ke semak.
"Nggaak!"
Jeritan Gauri melengking, memukul udara. Gadis itu benar-benar meledak. Ia langsung menyerang Devan, bukan dengan niat menyakiti, tapi dengan kecemasan kacau yang membuatnya kehilangan kendali. Tangannya memukul dada Devan, meraih baju, bahkan mencakar-cakar. Devan menahan semuanya.
Ia tidak bergerak satu langkah pun. Begitu Gauri hendak menubruk lagi, Devan menangkapnya. Dengan cepat dan mantap, ia meraih pinggang Gauri dan menarik gadis itu ke dalam pelukannya, mengunci gerakan tanpa menyakiti.
"Gauri, cukup … cukup …"
Suara Devan rendah, dalam, dan hangat.
Gadis itu menggeliat keras, menendang, gemetar.
"Le-paaas! Roti Gauri! Gauri masih mau! Mauuu!"
"Tidak, Gauri."
Devan memeluk lebih erat. Pelukannya bukan pelukan pengendalian. Tapi pelukan menolong gadis yang rapuh. Gauri menangis. Bukan tangis yang keras, tapi tangis frustrasi yang terdengar sakit, tercekik.
Devan menutup mata sejenak. Napasnya terasa berat. Entah kenapa melihat Gauri seperti itu menusuk bagian terdalam dirinya. Apa karena Gauri masih sangat muda dan harus menderita sakit seperti ini?
Ia menunduk, mulutnya dekat dengan telinga Gauri.
"Denger kakak …"
Gauri masih berusaha meronta.
Devan mengusap punggungnya, lembut sekali, jauh dari sosok killer yang dikenal satu sekolah.
"Kakak janji …"
Sapuan tangannya ritmis, seperti menenangkan anak kecil yang ketakutan.
"Kita beli roti yang lebih enak. Yang bersih. Yang manis. Berapa pun Gauri mau."
Serangan Gauri melemah. Gerakannya turun dari liar … menjadi tersengal … lalu tersedu.
“Kita ke toko roti yang jual cream puff yang Gauri pasti suka. Jauh lebih enak dari itu."
Suara Gauri pecah.
"B-beneran…?"
"Hmm."
Devan mengangguk sambil terus mengusap kepala gadis itu.
"Tapi Gauri harus tenang dulu. Kakak di sini. Kakak nggak akan ambil apa pun dari Gauri."
Tangis Gauri meluruh perlahan, tubuhnya mulai melemas. Sampai akhirnya gadis itu menyandarkan kepala di dada Devan, wajah masih belepotan cream, rambut acak-acakan, tapi emosinya pelan-pelan surut.
Devan melonggarkan pelukan sedikit. Ia memegang pipi Gauri dengan ibu jari, membersihkan sisa cream yang masih menempel.
"Kita bersihin kamu dulu, ya?"
Suaranya terlalu halus untuk ukuran pria killer. Wajah dinginnya melunak seperti es yang mencair perlahan.
Gauri mengangguk kecil, matanya merah, hidungnya memerah seperti habis menangis lama. Tapi ia mengangguk lagi, kali ini lebih mantap.
"Gauri… ikut kakak.
"Ikut …"
Gauri memeluk lengan Devan, menempel manja seakan tantrum tadi tidak pernah terjadi. Devan berdiri, menarik gadis itu berdiri juga. Ia menggenggam tangan Gauri agar tidak kabur atau tersandung. Dengan langkah terukur, ia membawanya keluar dari kebun menuju gedung sekolah bagian timur.
Toilet yang jarang dipakai guru atau murid ada di sana. Tempat sunyi. Tempat aman. Saat mereka tiba, Devan mendorong pintu perlahan, memastikan tidak ada orang.
"Masuk, Gauri."
Gauri mengangguk dan masuk seperti anak kecil yang dibawa orang tuanya. Devan mengambil tisu basah dari saku jaketnya, lalu membungkuk sedikit.
"Lihat kakak."
Gauri mendongak patuh. Devan membersihkan pipinya dengan sabar, lalu dagu, lalu sudut bibir. Ia bahkan mengusap sisa cream di leher gadis itu dengan hati-hati agar tidak membuatnya kaget.
"Rambutnya juga."
Devan meraih ujung rambut Gauri yang terkena cream, membersihkannya perlahan.
Gerakannya lambat, lembut, seperti memegang kaca paling rapuh di dunia.
Gauri tidak bergerak. Ia hanya menatap wajah Devan dari dekat, tatapannya polos, besar, seperti anak kucing yang menemukan tempat aman.
"Kakak ganteng …" suara Gauri pelan.
"Gauri mau pegang tangan kakak terus."
Devan terdiam setengah detik.
Lalu mengangguk. Senyum kecil muncul di wajah Gauri. Ia memeluk lengan Devan erat, bahkan saat pria itu masih sibuk mengusap rambutnya.
Setelah semuanya bersih, Devan menyimpan tisu, mengikat rambut Gauri dengan ikat rambut yang ia temukan di sakunya, entah milik siapa, lalu menepuk kepala gadis itu pelan.
"Sudah cantik."
Gauri tersipu kecil, pipinya merah.
"Sekarang kita beli roti?"
Devan mengangguk.
"Tapi kamu harus gandeng kakak terus, mengerti?"
Gauri menggenggam tangannya lebih erat.
"Gauri nggak mau lepas."
Dan untuk pertama kalinya… Devan tidak menepis. Tidak menghindar. Tidak menjaga jarak dari Gauri. Ia justru menguatkan genggaman itu.
Aneh…
Sangat aneh…
Bagaimana bisa seseorang yang killer-nya luar biasa, bicara dan memperlakukan seseorang selembut ini. Dan hati Devan entah kenapa terasa hangat. Tidak seperti pertama kali ia bertemu dengan gadis ini. Mungkin karena Gauri memiliki keterbelakangan mental, dan alasan di balik gadis itu seperti ini sangatlah menyedihkan. Jadi Devan merasa kasihan padanya.
Hanya kasihan?
Entahlah. Itulah yang Devan yakini sekarang.
gauri merasa nyaman dan aman berapa disisi devan sll bersikap lembut dan hangat sm gauri...
Gauri mulai tergantung sm devan, devan dengan telaten memandikan gauri suapin makan, jangan sampai gauri tantrum makanya sll menuruti kemauan gauri...
Gino usiiiilll mulutnya😄.
Sampai di hotel - proses check in selesai - Devan menerima satu amplop tebal.
Devan sabar dengan kondisi Gauri dengan segala ucapan dan kelakuannya. Dan sudah paham ketika Gauri mencium aroma susu di tubuh Devan - langsung tertidur.
Mama Gauri senang di atas sana - putrinya dijaga seorang pria yang tulus mendampingi Gauri dalam liburan.
Devan Ampe gak tenang disamping Gauri, terlalu banyak hal yg bikin degdegan ya Van 🤭
Tapi gimana Gauri ga tergantung sama bapak,, perhatiannya itu lho...,, Gauri ga tau sj kalo pak Devan sudah dag Dig dug ser....🤭