NovelToon NovelToon
Mahira

Mahira

Status: sedang berlangsung
Genre:Berondong / Pengganti
Popularitas:8.5k
Nilai: 5
Nama Author: santi damayanti

“Aku kecewa sama kamu, Mahira. Bisa-bisanya kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu, Mahira,” ucap Rangga dengan wajah menahan marah.
“Mas Rangga,” isak Mahira, “demi Tuhan aku tidak pernah memasukkan lelaki ke kamarku.”
“Jangan menyangkal, kamu, Mahira. Jangan-jangan bukan sekali saja kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu,” tuduh Rukmini tajam.
“Tidak!” teriak Mahira. “Aku bukan wanita murahan seperti kamu,” bantah Mahira penuh amarah.
“Diam!” bentak Harsono, untuk kesekian kalinya membentak Mahira.
“Kamu mengecewakan Bapak, Mahira. Kenapa kamu melakukan ini di saat besok kamu mau menikah, Mahira?” Harsono tampak sangat kecewa.
“Bapak,” isak Mahira lirih, “Bapak mengenalku dengan baik. Bapak harusnya percaya sama aku, Pak. Bahkan aku pacaran sama Mas Rangga selama 5 tahun saja aku masih bisa jaga diri, Pak. Aku sangat mencintai Mas Rangga, aku tidak mungkin berkhianat.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

mh 22

Mahira melangkah cepat menuju ruang administratif. Dadanya terasa sesak sejak mendengar kabar bahwa sepuluh siswa yang ia rekomendasikan sebagai penerima keringanan SPP diminta membayar penuh. Ketika pintu dibuka, ia melihat Pak Marno sedang mengobrol santai dengan Bu Susi dan Anggi seolah tidak ada masalah yang mendesak.

“Pak Marno, bukankah kita sudah sepakat untuk menangguhkan pembayaran SPP bagi siswa yang saya pilih?” tanya Mahira dengan nada tegang.

Pak Marno menoleh perlahan, seakan malas menanggapi. “Mahira, santai dulu. Tidak usah marah-marah,” ujarnya.

“Baik, saya hanya ingin penjelasan,” balas Mahira dengan suara ketus.

Pak Marno menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Ya, mereka tetap harus bayar. Guru-guru di sini juga perlu digaji. Listrik dan air itu bukan gratis. Kalau mau sekolah ya harus bayar.”

“Saya paham, Pak. Tetapi ada pengecualian untuk mereka. Kita sudah bahas itu.”

“Pengecualian apa?” tanya Pak Marno.

“Mereka itu anak-anak yang tidak mampu.”

Pak Marno mengangkat alisnya. “Siapa bilang mereka tidak mampu, Bu Mahira?”

Mahira menarik napas panjang yang hampir berubah menjadi desahan frustrasi. “Saya sudah beberapa kali mengunjungi rumah mereka. Saya melihat sendiri kondisi keluarga mereka. Mereka hidup pas-pasan. Dan prestasi mereka juga bagus. Mereka layak mendapatkan bantuan.”

Bu Susi menyela tanpa diminta. “Nah, justru itu masalahnya. Mereka semua rekomendasi dari kamu. Jadi harus ada survei ulang dari pihak sekolah. Kami tidak bisa langsung percaya. Bagaimana kami bisa yakin pada guru yang sering memutarbalikkan cerita?”

Ucapan itu membuat Mahira menegang. “Jadi begitu. Ini pasti karena kalian berdua tidak suka pada saya sampai-sampai pendidikan anak-anak kalian jadikan alat mainan. Baik, kalau begitu silakan survei sendiri kondisi mereka.”

“Kami memang akan survei,” jawab Pak Marno. “Tapi sebelum hasilnya keluar, mereka tetap harus bayar SPP.”

“Pak, seharusnya sekolah memberi keringanan. Mereka benar-benar tidak mampu. Ini bukan hal yang bisa ditunda begitu saja.”

Pak Marno tertawa kecil seolah masalah ini bukan sesuatu yang penting. “Itu salah mereka. Kenapa memilih sekolah ini kalau tahu bayarannya mahal. Kamu juga tahu, ini sekolah elit.”

Di belakangnya, Bu Susi dan Anggi bertukar pandang dan tersenyum kecil, seolah menikmati pertengkaran ini.

“Pak, mereka tidak punya uang untuk membayar SPP. Sebentar lagi ujian. Mereka harus fokus belajar, bukan dipusingkan soal biaya.”

Anggi mencibir. “Sudahlah, Mahira. Makanya jadi guru yang benar, yang bisa dipercaya. Mereka sudah menghabiskan uang jajan, lalu percaya janji manismu, dan sekarang kaget harus bayar. Kamu yang buat mereka terlena.”

Bu Susi mengangguk penuh penekanan. “Betul. Kalau mereka dari keluarga miskin, harusnya belajar hemat dan ikut membantu orang tua mencari uang. Jangan mengharapkan belas kasihan. Kamu membuat mereka terbiasa meminta tolong.”

Mahira terpaku beberapa detik. Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari yang ia kira. “Baik. Kalau memang begitu, saya akui saya salah,” ucapnya pelan namun bergetar. “Tapi mereka sudah bekerja keras. Salah satu dari mereka bahkan lolos olimpiade matematika dan mendapat juara tiga. Itu bukti mereka berusaha. Bukankah sekolah seharusnya menghargai hal seperti itu?”

Anggi mengangkat bahu. “Lebih baik kamu suruh mereka cari uang. Jangan malas. Sudah miskin malas pula. Sekarang mau dibebaskan biaya sekolah. Begini ini jadinya kalau generasi tidak diajari mandiri.”

Mahira menelan rasa pahit yang menggumpal di tenggorokannya. “Tidak. Mereka tidak malas. Mereka pejuang. Banyak dari mereka bekerja paruh waktu sampai larut malam. Belajar mereka terganggu. Itu sebabnya saya menyarankan mereka mengurangi jam kerja supaya bisa fokus.”

“Justru itu salahmu,” balas Anggi cepat. “Anak-anak itu sudah benar bekerja. Kamu malah menyuruh mereka belajar.”

Pak Marno mengangkat tangan. “Mahira, keputusan sekolah sudah final.”

Mahira mengepalkan tangannya. “Kecuali apa, Pak?”

Sebelum Pak Marno sempat menjawab, Bu Susi maju selangkah. Senyumnya mengembang, tetapi tidak ada kehangatan sedikit pun di wajahnya. “Kecuali kamu mengundurkan diri. Kalau itu terjadi, mungkin aku bisa membantu memperjuangkan anak-anak itu. Kamu tahu sendiri aku dekat dengan orang yayasan.”

Jantung Mahira serasa diremas. Ia tidak mengira mereka akan menekan dirinya sampai menjadikan siswa sebagai alat tawar-menawar.

“Baiklah. Kalau itu memang satu-satunya cara, saya akan mengundurkan diri,” ucap Mahira pelan.

“Bagus. Akhirnya kamu tahu diri juga,” kata Bu Susi.

“Pak Marno, keluarkan suratnya,” perintah Bu Susi.

Pak Marno membuka laci dan mengeluarkan selembar kertas yang ternyata sudah dipersiapkan. Mahira menatapnya lama. Dalam hati ia bergumam, “Jadi sedetail ini mereka ingin aku pergi.”

Ia mengambil surat itu dan membacanya dengan saksama. Bahkan materai sudah ditempel. Semuanya telah disusun rapi, seolah mereka hanya menunggu Mahira jatuh ke perangkap mereka.

“Apa jaminannya kalau siswa yang saya rekomendasikan akan dibebaskan biaya sekolah jika saya mengundurkan diri?” tanya Mahira.

“Tenang saja, itu urusan kami,” jawab Anggi.

“Tidak bisa. Harus ada perjanjian tertulis. Kalian ini terlalu picik. Saya tidak bisa percaya begitu saja,” ucap Mahira.

Ia meraih secarik kertas kosong dan mulai menulis cepat. Setelah selesai, ia meletakkan kertas itu di hadapan mereka. “Tandatangani ini dulu. Setelah itu barulah saya tanda tangan surat pengunduran diri.”

Dalam hati, Anggi justru merasa senang. “Tidak ada surat perjanjian pun aku akan membebaskan mereka. Justru aku nanti yang akan dapat nama baik,” gumamnya dalam hati.

Tiba-tiba terdengar ketukan keras di pintu.

Tok.

Tok.

Tok.

“Siapa sih mengganggu saja,” keluh Pak Marno sambil berdiri dan membuka pintu.

Di ambang pintu berdiri Ibu Nurhasnah, kepala sekolah, dengan wajah tegas. “Pak Marno, saya menelepon dari tadi tidak diangkat. Cepat ke ruangan saya.”

“Maaf, Bu. Ini ada ibu-ibu yang sedang konsultasi,” jawab Pak Marno gugup.

Ibu Nurhasnah melongok masuk dan mengarahkan pandangannya ke seluruh ruangan. “Oh, ada Bu Anggi dan Bu Susi. Lebih baik sekalian saja. Ayo ke ruangan saya.”

“Ya, Bu. Nanti kami menyusul,” sahut Anggi.

“Tidak bisa. Ini mendesak. Sekalian saja Bu Mahira ikut,” ucap Ibu Nurhasnah dengan wajah masam, jelas sedang kesal.

Bu Susi menelan ludah sebelum menjawab, “Baik, Bu.”

Mereka pun berjalan menuju ruang kepala sekolah tanpa suara tambahan. Ketegangan terasa semakin pekat.

Setelah pintu ruang kepala sekolah dibuka, tampak meja rapat besar di tengah ruangan. Ibu Nurhasnah duduk di kursi paling depan. Di belakangnya terpampang board elektrik yang sudah menyala.

“Bu Mahira, kenapa kinerja kamu lambat sekali. Apa kamu ingin menyingkirkan saya?” tanya Ibu Nurhasnah tiba-tiba.

Mahira terkejut. “Kinerja apa, Bu? Saya tidak mengerti. Bukankah laporan pembelajaran saya sudah selesai?”

“Bukan itu,” ujar Ibu Nurhasnah dengan nada tajam. “Kamu mengajukan sepuluh orang siswa untuk mendapatkan beasiswa. Mana berkas mereka? Sampai sekarang belum sampai ke meja saya. Yayasan marah-marah dari tadi. Dua jam lagi mereka datang. Masalah beasiswa ini harus selesai hari ini. Jika tidak, saya bisa diganti.”

Anggi terlihat hendak bicara, tetapi Mahira lebih cepat.

“Berkas itu sudah saya ajukan ke Bu Anggi, Bu. Sepuluh hari lalu. Dan menurut Bu Anggi, berkas itu ditolak,” ujar Mahira dengan senyum tipis yang tidak bisa disembunyikan.

“Kapan saya menolak beasiswa anak-anak?” bentak Ibu Nurhasnah kaget dan marah.

“Kapan, Mahira? Kapan kamu mengajukan berkas itu pada saya?” tanya Anggi dengan wajah panik.

Mahira mengeluarkan ponselnya. “Tanggal satu November saya kirim soft file ke Ibu. Tanggal dua saya serahkan dokumen fisiknya. Lalu tanggal sebelas, proposal itu dikembalikan ke saya. Semuanya ada catatannya,” ucap Mahira sambil memberikan ponselnya pada Ibu Nurhasnah.

Wajah Ibu Nurhasnah langsung berubah tegang. “Astaga, Anggi. Kamu ini bagaimana. Cepat urus data sepuluh anak itu. Input sekarang juga. Bu Susi, pergi ke pasar dan belikan perlengkapan sekolah yang bagus untuk mereka. Pak Marno, siapkan dananya. Dalam dua jam semuanya harus selesai. Kalau tidak, saya pecat kalian semua.”

Mahira keluar dari ruangan “kenapa tiba-tiba pihak yayasan turun langsung dalam hal beasiswa,,,apa mungkin doni adalah anak ketua yayaasan” pikir mahira

1
puspa endah
ceritanya bagus thor susah di tebak
puspa endah
teka teki banget ceritanya👍👍👍👍 lanjut thor😍😍😍
Anto D Cotto
menarik
Anto D Cotto
lanjut crazy up Thor
partini
oh seperti itu
puspa endah
lanjut thor👍👍👍
puspa endah
banyak teka tekinya thor😄😄😄. siapa lagi ya itu....
anak buah doni kah?
puspa endah
woow siapakah Leo?
NP
ga jadi mandi di doni
puspa endah
🤣🤣🤣 lucu banget mahira n doni
partini
Leo saking cintanya sama tuh Kunti Ampe segitunya nurut aja ,,dia dalangnya Leo yg eksekusi hemmmm ledhoooooooooo
partini
sehhh sadis nya, guru ga ada harganya di mata mereka wow super wow
partini
hemmm modus ini mah
partini
apa Doni bukan anak SMA,, wah banyak misteri
puspa endah
wah kereen bu kepsek👍👍👍 hempaskan bu susi, bu anggi dan pak marno😄😄😄😄
partini
Reza takut ma bosnya 😂😂
sama" cembukur teryata
puspa endah
bagus mahira👍👍👍 jangan takut klo ga salah
puspa endah
doni kayaknya lagi menyamar
partini
daster panjang di bawah lutut ga Sampai mata kaki ya Thor
tapi pakai hijab apa ga aneh
NP: q kalo dirumah jg sering kayak itu ..to pake legging lengan pendek
total 3 replies
partini
hemmmm Doni ,, kenapa aku berfikir ke sana yah
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!