Aluna seorang gadis manis yang terpaksa harus menerima perjodohan dengan pria pilihan keluarganya.Umurnya yang sudah memasuki 25 tahun dan masih lajang membuat keluarganya menjodohkannya.
Bukan harta bukan rupa yang membuat keluarganya menjodohkannya dengan Firman. Karena nyatanya Firman B aja dari segala sisi.
Menikah dengan pria tak dikenal dan HARUS tinggal seatap dengan ipar yang kelewat bar-bar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ismi Sasmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 FAKTA MENGEJUTKAN
Setelah selesai sarapan, aku mengantar Bang Firman yang akan berangkat ke pasar untuk berjualan.
"Do'ain jualan Abang hari ini laris manis ya, dek !" pintanya sembari mengecup keningku.
"Iya Bang. Pasti aku doa' in. Abang hati-hati di jalan " ucapku sambil mencium tangannya takzim.
Yah beginilah kehidupan ku sehari-hari.
Membuatkan sarapan, mencuci baju, membereskan rumah, memasak untuk makan siang sekaligus makan malam.
Rutinitas yang terkadang membuatku bosan.
Terlebih Bang Firman baru pulang dari pasar selepas Dzuhur.
Ingin ikut berjualan di pasar, tak di izinkan.
Katanya lebih baik aku di rumah.
Tak ingin berdebat, lebih baik aku manut.
Toh aku bisa santai ngedrakor.
***
Setelah selesai memasak, aku ke warung Bu Ijah untuk membeli gula dan minyak goreng.
Ternyata di sana ada Mbak Zizah yang sedang belanja.
"Mbak Zizah, lama gak keliatan. Kemana aja mbak ?" tanyaku.
Aku dan Mbak Zizah cukup akrab.
Karena dia orang sangat ramah.
Rumahnya bersebelahan dengan Bu Ijah.
Aku pun sering kerumahnya. Dia teman ngobrol yang sangat asyik.
"Eh Luna ! Mba pulang kampung kemaren. Ada saudara yang masuk rumah sakit. Tapi Alhamdulillah sudah mendingan. Makanya mba bisa balik. Kamu mau belanja ?"
"Iya mba. Mau beli gula dan minyak" jawabku sambil tersenyum.
"Bu Ijah, gula setengah kilo sama minyak goreng satu liter !" pintaku pada Bu Ijah.
Setelah membayar belanjaan ku, aku kerumah mba Zizah. Katanya dia pengen ngobrol. Aku iyakan saja. Karena kerjaan rumah sudah beres.
"Beneran gak papa, Lun kamu mampir ke rumah mbak dulu ?"
"Iya gak papa, mbak. Lagian aku udah masak kok. Suntuk juga di rumah terus" ucapku meyakinkannya.
Mbak Zizah ini usianya hampir sama dengan Bang Firman.
Dia juga pendatang sama sepertiku yang ikut suami.
Usia pernikahannya sudah memasuki sepuluh tahun, tapi belum memiliki keturunan. Menjadi sasaran empuk ke-julid-an Bu Tia cs.
Itulah yang membuat mba Zizah malas keluar rumah kalau tak penting.
"Ica mana, Lun ? Biasanya dia suka ngintilin kamu ke warung Bu Ijah ?" tanya mba Zizah.
Biasanya Ica memang sering ikut kalau aku ke warung. Dia sangat senang ketika ku belikan banyak jajanan. Sekarang sudah tidak bisa marimar !
Aku pun menceritakan pertengkaran ku dengan Siska beberapa hari lalu.
Mba Zizah geleng-geleng kepala tak habis pikir.
"Lun, kamu tau gak ? Dulu waktu Almarhum ibu mertuamu masih ada, sering banget Siska bikin beliau sakit hati".
"Hah ? Yang benar, mbak ?" tanyaku terkejut. Karena Bang Firman selama ini tidak pernah menceritakan lebih banyak tentang keluarganya.
Mba Zizah mengangguk dan melanjutkan ceritanya.
"Dulu ketika Haikal ingin menikahi Siska, mertuamu terpaksa menjual perhiasannya untuk modal nikah. Posisi Haikal saat itu belum bekerja. Dia hanya sesekali membantu mertuamu di pasar. Sedangkan waktu itu Firman masih kerja di pabrik. Jadi kedua toko yang di pasar itu masih di kelola mertuamu. Ketika beliau meninggal, baru toko itu di bagi untuk Firman dan Haikal."
Aku pun manggut-manggut mendengar ceritanya.
"Keasyikan ngobrol mba sampe lupa bikinin minum. Sebentar yah, Lun ! Mbak ke dapur dulu."
"Ehh gak usah repot-repot, mbak. Aku gak haus kok." cegahku.
Mba Zizah tak mengindahkan ku.
Dia tetap ke dapur dan membawa du cangkir dan setoples keripik pisang.
"Diminum dulu, Lun" tawarnya.
"Makasih, mbak. Repot-repot segala" ucapku sambil menyerah teh yang masih mengepulkan asap tipis.
"Lanjut ceritanya, mbak" pintaku tak sabar.
"Setelah menikah, Haikal tidak ingin mengontrak. Alasannya rumah itu cukup besar untuk mereka tempati. Di situlah derita mertuamu dimulai. Siska memperlakukan beliau seperti pembantu. Dari mulai menyiapkan makan sampai mencuci pakaiannya. Bahkan tak jarang umpatan dan cacian terlontar pada mertuamu jika membuat kesalahan sedikit saja. Setega itu seorang Siska."
"Emang Haikal tak menegur Siska, mba ? Kok berani banget dia sama mertua" ucapku geram.
"Susah kalau sudah cinta buta, Lun" jawab mba Zizah lesu.
"Mertuamu sering cerita sama mba, semua kebutuhan rumah beliau yang tanggung. Dari mulai air, listrik, bahkan urusan dapur. Mungkin karena terlalu banyak beban pikiran di usianya yang sudah tua, membuat beliau sering sakit. Tanah habis terjual untuk biaya beliau berobat. Tapi ternyata beliau di panggil sang pencipta ".
Mba Zizah berlinang air mata menceritakanny padaku.
Hatiku sakit membayangkan perlakuan Siska pada ibu mertua yang tak bisa aku temui.
Mba Zizah pun melanjutkan ceritanya.
"Setahun setelah kematian mertuamu, Firman menikah. Tapi tak lama. Hanya bertahan lima bulan mereka cerai. Desas-desus beredar mantan istri Firman sering cekcok dengan Siska. Firman tak pernah tegas pada Siska.
Mungkin itu yang membuatnya memilih pergi meninggalkan Firman. Kasihan sebenarnya, padahal dia perempuan yang baik. Tak pernah cari ribut dengan tetangga ".
"mba harap kamu tetap kuat. Jangan mau ditindas Siska. Kamu gak cerita juga, mba sudah tau betapa tertekannya kamu tinggal dirumah itu. Firman itu orangnya baik. Gak neko-neko. Tapi sayangnya gak punya pendirian" kekeh mba Zizah di akhir kalimat.
Aku pun tersenyum tipis menanggapinya.
Bisa di simpulkan, Siska ingin menguasai rumah itu. Hingga dia mengusir siapa saja yang tak bisa dia setir. Keterlaluan !
Ternyata benar kata orang. Jangan menyatukan mertua dan menantu dalam satu rumah. Kalau bukan menantu yang makan hati, pasti mertua yang sengsara.
"Terus aku harus bagaimana, mbak ?" tanyaku bingung.
"Kamu sabar saja dulu. pelan-pelan bujuk Firman untuk pindah. Supaya mental kamu tetap sehat. Gak bagus juga tinggal dirumah toxic. Yang penting kamu jangan mau di tindas Siska. Lawan ! Kamu punya hak yang sama kayak dia dirumah itu" ucap mba Zizah menggebu-gebu.
"Iya makasih sarannya, mba. Aku juga udah gak mau lagi disuruh-suruh seenak udelnya" rengutku.
Mba Zizah pun tertawa.
"Mba, aku pamit ya ! Takut nanti Bang Firman udah pulang dan aku gak ada" pamitku sambil berdiri.
Dia pun mengantarku sampai teras.
"Yah, mbak kesepian lagi deh. Coba aja ya Lun mba punya anak. pasti rumah ini lebih berwarna" ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
Topik tentang anak selalu membuat dia mellow. itulah sebisa mungkin aku menghindar pembahasan tentang hamil dan anak. Aku takut melukai hatinya.
"Sabar, mbak ! Mudah-mudahan mba secepatnya di beri momongan ". Doaku tulus.
"Do'ain yang sama juga untuk kamu, Lun. Makasih udah nemenin mbak ngobrol. Sering-sering kesini , Lun ! Nanti kita ngerujak bareng" ucapnya mba Zizah antusias.
"Insyaallah, mbak. Ya udah aku pamit ya ! Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Hati-hati Lun" serunya dari teras.