Alya, gadis kelas 12 yang hidup sederhana, terkejut saat mengetahui ayahnya terlilit hutang besar pada Arka Darendra — CEO muda paling berpengaruh di kota itu.
Saat debt collector hampir menyeret ayahnya ke polisi, Arka datang dengan satu kalimat dingin:
“Aku lunasi semuanya. Dengan satu syarat. Putrimu menjadi istriku.”
Alya menolak, menangis, berteriak—tapi ayahnya memaksa demi keselamatan mereka.
Alya akhirnya menikah secara diam-diam, tanpa pesta, tanpa cinta.
Arka menganggapnya “milik” sekaligus “pembayaran”.
Di sekolah, Alya menyembunyikan status istri CEO dari teman-temannya.
Di rumah, Arka perlahan menunjukkan sisi lain: posesif, protektif, dan… berbahaya.
Mereka tinggal seatap, tidur sekamar, dan gairah perlahan muncul—walau dibangun oleh luka.
Konflik berubah ketika masa lalu Arka muncul: mantan tunangan, dunia bisnis yang penuh ancaman, dan rahasia gelap kenapa ia sangat tertarik pada Alya sejak awal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Mencari Celah
Alya terbangun dengan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Lantai marmer yang dingin telah memastikan dia tidak mendapatkan tidur yang nyenyak. Selimut sutra mewah terasa ironis; lapisan kain terhalus menutupi penderitaan yang paling kasar.
Ketika dia membuka mata, dia melihat sepasang sepatu pantofel hitam mengilap di depan wajahnya. Arka Darendra.
Pria itu sudah mengenakan setelan jas abu-abu gelap yang mahal, rambutnya disisir rapi, dan dia tampak segar tanpa cela. Kontras antara kesempurnaan Arka dan kekacauan Alya yang meringkuk di lantai terasa seperti serangan pribadi.
“Pagi, Alya,” kata Arka, suaranya tenang, seolah tadi malam adalah hal paling normal di dunia.
Alya bangkit dengan susah payah, pinggangnya terasa kaku. Dia tidak membalas sapaan itu. Dia hanya menatap Arka dengan tatapan yang penuh kebencian yang tersembunyi.
Arka menyadari tatapan itu, dan senyum dingin muncul di sudut bibirnya. “Malam yang mendidik, kurasa. Kau tidak perlu khawatir. Malam ini kau bisa tidur di ranjang. Asalkan, kau ingat di mana tempatmu, dan kau tidak melanggar aturanku di sekolah.”
Alya hanya mengangguk kaku. Dia tidak akan membiarkan Arka melihat kelemahannya lagi.
“Sarapan sudah siap,” kata Arka, berjalan ke lemari, mengambil dasinya. “Kau punya waktu 45 menit untuk siap. Supir akan mengantarmu jam 06.30, seperti biasa.”
Setelah Arka meninggalkan kamar untuk mandi, Alya bergegas ke kamar mandi pribadinya. Air hangat dari shower terasa seperti keajaiban, menghilangkan sisa-sisa dingin dan rasa sakit di tubuhnya.
Saat ia berpakaian, Alya melihat dirinya di cermin. Bukan lagi gadis yang pasrah. Matanya kini memiliki api yang samar. Dia menyadari satu hal: dia tidak bisa melawan kekuatan finansial dan fisik Arka. Tetapi dia bisa melawan kendalinya. Dia bisa bermain sesuai aturannya, dan mencari celah.
Aturan No. 7: Kewajibanmu adalah mematuhi semua perintahku. Jangan pernah menolak ketika aku membutuhkan kehadiranmu di sampingku.
Aturan No. 5: Dilarang keras berinteraksi intim, berduaan, atau menerima hadiah/bantuan dari pria manapun.
Alya mulai menyusun strategi. Arka adalah seorang perfeksionis, dan orang-orang perfeksionis membenci kekacauan. Dia harus menjadi istri yang patuh di rumah, agar Arka merasa nyaman dan mengurangi pengawasannya. Dan di luar, dia harus mencari celah di Aturan No. 5. Arka hanya melarang interaksi intim atau bantuan dari pria. Dia tidak melarang interaksi dalam kelompok, atau bantuan dari wanita.
Pukul 06.30, Alya sudah duduk rapi di meja makan. Arka sudah berada di sana, membaca tabletnya.
“Kau tepat waktu,” ujar Arka, tanpa menatap Alya.
“Saya mengerti, Tuan Arka. Saya tidak akan melanggar waktu lagi,” balas Alya, suaranya sopan dan terkontrol. Dia memainkan peran.
Arka mendongak sedikit, tatapannya menyiratkan kejutan kecil. Dia mungkin berharap Alya akan marah atau cemberut. Kepatuhan Alya yang cepat membuatnya kehilangan bahan untuk berkonfrontasi.
“Bagus. Jeevan, tolong siapkan vitamin Alya. Dan pastikan daftar makanan untuk ayah Alya dikirimkan hari ini. Dia hanya boleh makan makanan yang sudah disetujui tim kesehatan kita,” perintah Arka kepada Jeevan yang sedang berdiri diam di belakangnya.
Alya tersentak. Dia tidak tahu Arka sejauh itu mengendalikan ayahnya.
“Tuan Arka, Ayah saya tidak sakit. Dia tidak butuh tim kesehatan,” protes Alya, suaranya sedikit meninggi.
Arka meletakkan tabletnya dengan bunyi pelan yang dingin. “Ayahmu adalah jaminan. Kesehatan jaminanku adalah prioritas. Jika dia sakit, dia tidak bisa menjamin kepatuhanmu. Jangan membantah. Itu sudah kuurus.”
Alya mengepalkan tinjunya di bawah meja. Ancaman itu selalu kembali ke ayahnya. Dia harus menerima kontrol Arka atas ayahnya, setidaknya untuk saat ini.
“Baik, Tuan Arka,” Alya menyerah. “Saya akan memastikan Ayah mematuhi aturan makanan yang Anda berikan.”
Arka tersenyum tipis. Senyum puas. Kepatuhan, itulah yang dia inginkan.
Di sekolah, Alya bersikap sangat hati-hati. Dia menjaga jarak dari semua siswa laki-laki. Dia menolak ajakan Deo untuk belajar bersama (bahkan dalam kelompok), dengan alasan ia sangat tertekan dengan masalah keluarga.
Deo, yang kini terlihat lebih cemas dan terluka, mencoba berbicara dengannya lagi saat jam istirahat.
“Alya, aku tahu aku tidak seharusnya mengganggumu, tapi aku khawatir. Pamanmu itu… apakah dia kasar? Kenapa kau begitu takut?”
Alya menggeleng cepat, tatapannya menyapu setiap sudut, mencari mata-mata Arka. “Tidak, Deo. Paman saya sangat baik. Dia hanya sangat tegas. Saya harus fokus pada kelulusan.”
Saat itu, Luna datang. Luna, yang belum tahu apa-apa, adalah kunci kebebasan Alya.
“Alya, kita harus mulai mengerjakan tugas kelompok Sejarah. Kita ambil tema Revolusi Industri, ya? Oh, Deo, kau mau ikut membantu kami mencari sumber? Lebih cepat kalau kita bertiga,” ajak Luna dengan polos.
Mata Alya berbinar. Tugas kelompok!
Aturan No. 5: Dilarang keras berinteraksi intim, berduaan, atau menerima hadiah/bantuan dari pria manapun.
Tugas kelompok tidak termasuk ‘berduaan’ atau ‘interaksi intim’. Itu adalah interaksi dalam kelompok, di bawah pengawasan Luna.
Alya menoleh ke Deo. “Deo, kalau kau mau membantu, kau harus membantu kami berdua, sebagai tugas kelompok. Aku tidak mau bekerja sendirian denganmu. Paman saya tidak mengizinkan.”
Deo terlihat bingung, tetapi wajahnya langsung bersinar. “Tentu, Alya. Aku akan membantu kalian berdua. Aku punya banyak referensi sejarah di rumah.”
Luna menatap Alya dengan curiga. “Kenapa tiba-tiba pamanmu seketat itu, Al? Kau diantar-jemput seperti anak TK.”
“Ini untuk kebaikanku, Lun,” jawab Alya, mengambil tasnya. “Oke, kita mulai nanti sepulang sekolah. Kita mengerjakannya di kafe dekat gerbang. Jangan di rumahku. Rumah paman saya terlalu... sepi.”
Alya pulang tepat pukul 16.55. Dia merasa sedikit lega. Dia telah berinteraksi dengan Deo, tetapi dalam skema kelompok, dan itu akan menjadi sinyal kepada mata-mata Arka bahwa dia patuh pada aturan (tidak berduaan).
Ketika ia masuk ke kamar, Arka sudah menunggunya. Dia duduk di ranjang, memegang cincin kawin Alya. Kotak velvet hitamnya terbuka.
Alya menegang. Dia tahu dia seharusnya tidak menyembunyikannya di laci.
“Kau menyembunyikannya,” kata Arka, nadanya tidak marah, tetapi dingin dan mengancam. Dia memutar cincin itu di antara jari-jarinya.
“Saya tidak menyembunyikannya, Tuan Arka,” Alya maju, mencoba memainkan peran patuh. “Saya hanya takut hilang. Saya tidak terbiasa memakai perhiasan mahal. Lagipula, Anda sendiri yang bilang: di luar rumah, saya harus menjadi Alya Ramadhani, siswi SMA. Saya tidak ingin teman-teman saya bertanya.”
Arka tersenyum. Senyum itu tidak mencapai matanya. “Alasan yang cerdas. Tapi bukan itu yang aku mau dengar.”
Dia berdiri, berjalan ke arah Alya. Dia meraih tangan kiri Alya, memaksa Alya membuka telapak tangannya. Arka mengambil cincin itu, dan dengan perlahan, dia memasukkannya ke jari manis Alya.
“Ini adalah simbol. Kau harus membawanya setiap saat. Jika tidak di jarimu, maka di dompetmu, di tasmu. Di mana pun. Itu adalah pengingat kepemilikan. Jangan pernah meninggalkannya di rumah. Kau tidak ingin orang lain, termasuk Jeevan, berpikir bahwa kau tidak menghargai statusmu, kan?”
Arka mengangkat tangan Alya, mencium lembut cincin itu. Ciuman itu terasa seperti cap kepemilikan yang sangat pribadi.
“Laporan hari ini mengatakan kau berinteraksi dengan Deo. Tapi dalam kelompok. Itu kuterima. Aku menghargai kepatuhanmu dalam mencari celah legal. Itu menunjukkan kau cerdas.”
Alya menahan napas. Dia berhasil. Arka menghargai kecerdasan, bukan pemberontakan emosional.
“Terima kasih, Tuan Arka. Saya hanya ingin menjadi istri yang baik dan siswa yang baik,” kata Alya, menundukkan kepalanya sedikit.
Arka meraih dagu Alya, memaksanya mendongak. “Kau tidak akan pernah menjadi istri yang ‘baik’, Alya. Kau akan menjadi istri yang ‘patuh’. Ada perbedaan besar di sana.”
Ia melepaskan dagu Alya. “Sekarang, kemasi tasmu. Kau akan ikut denganku malam ini. Ada acara makan malam penting. Kau harus menunjukkan dirimu sebagai Nyonya Darendra yang terpelajar.”
Alya terkejut. Acara sosial? “Tapi… bukankah Anda bilang pernikahan ini rahasia?”
“Acara ini adalah acara pribadi, bukan publikasi. Kau harus ikut untuk membuktikan kepada beberapa rekan bisnisku bahwa aku memiliki istri yang kuinginkan. Ini adalah bagian dari perjanjian. Dan kau harus terlihat sempurna. Pergi. Minta Jeevan memanggil penata rias. Waktu kita hanya dua jam.”
Alya tahu dia tidak bisa menolak. Arka telah memberinya kelonggaran di sekolah, dan kini dia menuntut pembayaran yang setimpal: memamerkan dirinya di hadapan rekan bisnis. Dia adalah trophy wife, bahkan sebelum dia menjadi istri yang sah.
Ia menatap cincin yang kini melingkar di jarinya. Cincin itu terasa panas, dingin, dan berat, mengingatkannya bahwa permainan yang baru saja ia mulai, akan segera memasuki babak yang jauh lebih berbahaya. Acara makan malam ini adalah panggung baru Arka untuk menegaskan dominasinya.