Hidupku begitu hancur saat malam yang tak diiginkan menimpaku. Sayangku pada keluarga baru, telah menghancurkan cinta pada pria yang telah merenggut semangat hidupku.
Hidup yang selama ini terjaga telah hancur dalam sekejap mata, hanya keserakahan pria yang kucintai. Namun pada kenyataanya dia tak memilihku, akibat cintanya sudah terkunci untuk orang lain.
Apakah hidupku akan hancur akibat malam yang tak diiginkan itu? Atau akan bahagia saat kenyataan telah terungkap?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhang zhing li, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terpuruk lagi
# FLASHBACK ON BAGIAN 21 #
Aku begitu terpuruk dan sedih apa yang harus kulakukan sekarang. Semua akan menjadi fatal dan hancur saat kasus kehamilanku akan terungkap. Diriku tak mau anggota keluarga terpecah belah saat masalah ini akan mencuat terbongkar.
"Ya Allah, apakah hidupku akan sehancur ini? Apakah aku tak punya hak untuk bahagia lagi? Apakah dosaku sudah terlalu banyak hingga Engkau memberi cobaan seberat ini? Rasanya aku tak akan kuat dan akan lelah menjalani hari-hari yang terasa kelam sekali mulai sekarang. Heeh, ya Allah maafkan hambaMu ini yang selalu saja berburuk sangka pada Engkau. Tak ada maksud hati ini menyalahi takdirMu, tapi sungguh aku hanyalah manusia biasa yang lemah tak punya kekuatan lebih untuk menghadapi cobaan seberat ini!" ujarku dalam hati sambil menangis memeluk guling.
Entah mengapa saat kehamilan telah kuketahui, sekarang aku lebih banyak terdiam tak mau berbicara pada siapapun termasuk mama. Nampak sekali mama telah cemas atas perubahanku yang dratis tak mengeluarkan suara lagi. Masalah yang memang kupendam tak bisa membangkitkan senyuman dan semangatku untuk hidup lagi.
"Bisa kita bicara sebentar, Karin?" ucap izin papa Cokro saat aku tengah makan malam bersama keluarga.
"Iya, pa!" jawabku lemah.
"Kita bicara diruang kerjaku saja," suruh beliau.
"Baik, pa."
Dengan langkah perlahan-lahan aku mengikuti jejak kaki papa Cokro dari belakang. Tak ada yang mau membatah untuk mengikuti ucapan privat kami, baik dari mama Lidya maupun kak Adrian, yang sepertinya mereka seakan-akan tahu atas apa yang ingin dibicarakan sama papa Cokro padaku.
"Duduk 'lah, Karin!" suruh beliau.
"Iya, pa."
"Mama Lidya sudah bercerita padaku apa yang sedang kamu alami sekarang. Aku sebagai kepala keluarga juga sangat khawatir atas apa yang terjadi padamu sekarang ini. Maafkan kelancanganku jika ada kata-kata yang ingin kutanyakan nanti telah menyinggung perasaan kamu," penjelasan beliau.
"Iya, pa! Silahkan," jawabku menundukkan kepala.
"Aku tahu kamu anak periang dan selalu tersenyum. Bolehkah papa tahu apa yang sebenarnya terjadi, hingga kamu akhir-akhir ini selalu saja murung dan tak banyak bicara lagi? Apakah kamu sudah tak betah lagi tinggal dirumah ini? Atau apakah ada dari mama Lidya atau kak Adrian yang menyakiti hati kamu?" tanya beliau dengan sejuta prasangka.
"Enggak ... enggak, pa. Bukan begitu. Aku bahagia bersama kalian dan senang sekali mendapatkan keluarga yang juga telah mencintai dan menyayangiku. Bukan itu masalah yang kuhadapi sekarang, pa. Tidak ada anggota keluarga ini yang menyakitiku," jawabku berbohong karena tak mau jujur atas sikap dan kelakuan kak Adrian.
"Lalu kenapa? Ngak mungkin ada masalah kalau ngak ada sebabnya?" cecar tanya papa Cokro lagi.
"Karin beneran ngak pa-pa kok, pa. Hanya saja Karin ingin menyendiri dulu, sebab entah mengapa aku tengah merindukan orangtuaku yang sudah meninggal itu. Kenangan demi kenangan mereka kembali berseliweran mendatangiku, oleh sebab itu aku banyak diam dan tak ingin bicara pada siapapun," ungkapku berbohong lagi.
"Heeh, jadi itulah masalah kamu. Baiklah, kalau begitu kami akan memahami dan membiarkanmu sejenak untuk menyendiri. Tapi ingatlah Karin, jangan biarkan ini berlarut-larut sebab mama Lidya dan kak Adrian begitu khawatir. Apalagi tiap malam mama selalu menangis sebab putri kesayangannya ini tak mau berbicara padanya lagi. Walau kamu saat ini sangat merindukan orang tua, kalau bisa kamu harus pelan-pelan melupakan itu, sebab masa depanmu harus bahagia tak bisa kembali ke masa lalu yang membuat kamu sempat terpuruk lagi, paham!" Nasehat papa Cokro.
"Iya, pa. Paham. Maafkan atas sikap Karin yang berlebihan ini, mungkin Karin terlalu lebay mengingat-ingat kenangan masa lalu itu," jawabku santai.
"Iya, gak pa-pa. Sekarang temuilah mama kamu, sebab dia telah khawatir sekali melihat sikapmu ini," suruh beliau ramah.
"Iya, pa."
Setelah perbincangan empat mata kami, akhirnya apa yang disuruh papa Cokro kulakukan untuk menemui segera mama tercinta dalam kamarnya.
Tok ... tok ... tok, pintu kamar Lidya kuketuk pelan.
"Masuk saja!" jawab beliau dalam kamar.
"Pemisi, ma. Apakah aku boleh masuk?" ucapku meminta izin.
"Oh, kamu Karin. Sini ... sini, masuk!" jawab beliau ramah.
"Iya, ma."
"Sudah tadi bicaranya sama papa?" tanya beliau penasaran.
"Iya."
"Maafkan Karin yang sudah menjadi anak yang tak berbakti padamu, yaitu sudah membuat mama menangis atas rasa khawatir dan kecewa," ucapku menundukkan kepala, yang mulai melelehkan arimata dari pipiku.
"Iya, sayang. Sudah ... sudah, ngak usah dipikirkan lagi. Mungkin kamu ada masalah yang terpendam, hingga kamu tak bisa menceritakan secara gamblang pada kami. Mama bisa memaklumi itu, tapi jangan siksa kami dengan tak mau berbicara pada keluarga kamu ini," ujar beliau serak yang kini menghapus lelehan airmata dari pipiku.
"Iya, ma. Maaf!" ujarku yang langsung memeluk tubuh beliau.
"Iya, Karin."
Benar kata papa Cokro. Walaupun aku punya masalah yang berat, tapi ada orang-orang yang disekelilingku yang harus diperhatikan dan diajak bicara. Tapi rasa benciku pada kak Adrian telah mengalahkan semua ego hingga diri ini lupa pada semuanya. Walau aku harus bersandiwara ngobrol ceria bersama keluarga seperti dulu lagi, tapi hati yang marah, benci, kesal masih saja bersemayam dalam hatiku untuk membenci kak Adrian seterusnya.
********
Semua masalah baru yang sempat menjadi pelik dalam keluarga, kini perlahan namun pasti sudah mencair akibat papa Cokro pintar menanyai dan menyelesaikan masalahku pada mereka, walau dengan cara aku harus terpaksa berbohong. Hari ini rasanya badan kian melemah saja, saat semua makanan telah kumuntahkan keluar. Untung saja ini hari minggu libur sekolah, hingga akupun sepuasnya bisa berbaring bermalasan dikamar.
Saat ingin sayu-sayu tertidur, terdengar jelas sekali suara ramai orang sedang bercengkrama tertawa riang. Sebab penasaran, kini akupun bangkit dari kasur untuk melihat siapakah gerangan tamu yang membuat tidurku tak bisa terlena.
Perlahan namun pasti, kini kaki melangkah menuruni anak tangga dan alangkah betapa terkejutkan diri ini saat melihat ramainya rombongan para orangtua yang sebaya dengan papa Cokro sedang bertamu, yang anehnya kenapa kak Yona ikut juga dalam rombongan tamu itu. Diriku hanya bisa berdiri melongo melihat tawa riang mereka.
"Ayo, Karin. Bantuin mama menyiapkan minuman dan beberapa camilan," suruh mama Lidya yang kini tengah menarik tanganku, agar mau mengikuti beliau menuju dapur.
"Ee'eeheh, iya ma."
Sesampainya didapur, kami berdua tengah disibukkan dengan aktifitas yang diminta mama Lidya tadi.
"Siapa sih mereka itu, ma?" tanyaku kepo.
"Oh tamu itu? Mereka itu adalah keluarga Yona ingin berbicara penting dengan kami," jelas mama Lidya.
"Ooh," jawabku ber'oh ria.
"Penting? Maksudnya apa juga? Sebenarnya ada apa ini, kok nampak semua keluarga kak Yona bertamu? Heeh, aneh betul. Sepenting apakah hingga semua keluarganya dibawa ke rumah ini?" tanyaku dalam hati.
"Kamu bawa minumannya, Karin. Biar mama membawa nampan camilannya saja, ok!" suruh beliau.
"Iya, ma."
Tangan kini sudah membawa susah payah nampan yang berisi sepuluh cangkir minuman teh. Nampak sekali wajah kak Yona sumringah tersenyum seperti bahagia, saat aku mulai mendekati sofa yang ada rombongan tamu itu.
"Silahkan ... silahkan dimakan camilannya!" ucap mama Lidya ramah pada tamu, saat meletakkan toples camilan dimeja.
"Terima kasih. Seharusnya ngak usah repot-repot begini tante. Biar Yona saja seharusnya menyiapkan semua, 'kan mulai saat ini akan resmi menjadi menantu tante," ucap kak Yona santai.
"Apa? Menantu? Apa maksudnya ini?" tanyaku dalam hati dengan tangan mulai gemetaran masih sibuk membawa nampan minuman.
"Hahahah, benar itu besan. Seharusnya ngak perlu repot-repot begitu, 'kan Yona sebentar lagi akan jadi menantu kamu," jawab tamu perempuan yang sepertinya ibu kandung kak Yona.
"Benar ... benar itu. Sudah tak sabar rasanya Yona jadi menantu kami, hingga lamaranpun nanti kita akan majukan dan lakukan segera," jawab papa Cokro begitu jelasnya.
Braak ... kroonting, tiba-tiba nampan minuman terlepas dari tangan, hingga kini berserakan dilantai akibat aku kaget saat mendengar penuturan tentang lamaran.
"Karin! Kamu kenapa, sayang?" tanya mama Lidya menghampiri saat aku terbengong masih syok.
"Kamu ngak pa-pa, Karin?" tanya kak Adrian yang kini ikut mendekatiku sebab khawatir.
"Maaf ... maafkan atas kecerobohanku barusan. Permisi!" jawabku yang secepatnya pergi dengan kaki tergesa-gesa menaiki anak tangga.
"Hei Karin ... hei Karin, tunggu ... tunggu!" panggil kak Adrian yang kini berusaha mencegahku.
"Maafkan kami atas kejadian ini?" Suara papa Cokro tak enak hati pada para tamu, yang masih terdengar olehku yang belum jauh pergi sampai lantai atas.
Bruuuk, pintu kututup kuat secara kasar.
Klek ... klek, pintu dengan cepat kukunci, dengan tubuh langsung luruh terduduk bersandar dipintu kamar.
"Hei Karin, ada apa dengan kamu? Buka ... buka pintunya, tok ... tok. Ayo Karin bukalah pintunya," paksa kak Adrian mencoba mengetuk pintuku.
Suaranya yang memohon tak kudengarkan lagi, sebab yang terpenting sekarang adalah menumpahkan segala sesak dalam dada, saat mengetahui orang yang sudah mencicipi tubuhku akan menikah dengan orang lain.
"Hhaaaaaaah, hik ... hiks!" tangisku pecah dengan kepala terdongak ke atas.
"Karin, apa yang terjadi sama kamu. Ayo buka karin ... buka," ucap kak Adrian yang terdengar sudah memekak telinga.
Suaranya begitu memuakkan, hingga rasanya sungguh sakit sekali saat terdengar ditelingaku. Tangan telah menutup rapat-rapat telinga dengan kepala terus saja mengeleng-geleng kuat, sebab tak ingin lagi mendengarkan suara si pria br*ngs*k itu.
"Karin ... Karin, buka ... buka pintunya! Ada apa dengan kamu? Ayo jawab, jangan buat kakak khawatir begini, klek ... klek!" ucap kak Adrian lagi yang terus saja berusaha membujuk, dengan cara mengerakkan knop pintu agar terbuka.
"Oh tuhan, apa ... apa lagi ini? Tak cukupkah musibah demi musibah menimpaku? Kenapa orang yang kusayang dan ingin kudapatkan kini telah menjadi milik orang lain? Aaaaah, sakit ... sakit sungguh sakit sekali rasanya dada ini? Apa salah dan dosaku hingga kau membuat aku patah semangat begini, kak Adrian? Tak cukupkah kau menghancurkan hidupku? Ditambah sekarang kamu mematahkan hatiku, apa sebenci itukah dirimu pada, hingga masalah baru telah kamu ciptakan untukku? Aku berharap dan selalu berdoa agar kamu bisa mengingat semua kejadian itu dan mempertanggung jawabkan semua ini, tapi hari ini apa ... apa? Kamu sudah tega telah menghancurkan impianku untuk memilikimu," guman hati yang kini telah memukul-mukul dada akibat terasa sesak tak bisa bernafas dengan benar lagi
Airmata sudah menganak sungai tak terbendung lagi, yang terus saja meratapi nasib yang kian lama kian hancur.