Dendam & Cinta Tuan Mafia
"My life was black and white before I met Sonya. She's the colour." - A Man Called Otto, 2022.
Sebuah rangkaian kata yang paling indah di dunia. Liliane juga ingin merasakannya, dicintai dengan cinta yang sama besarnya. Namun, dengan kehidupan di dunia yang tidak seputih kapas ini, apakah Liliane bisa menemukan sosok lelaki tersebut?
***
Five years ago ...
Calabria, Italy
Sejak awal pertemuannya dengan Kian Marchetti di acara amal yang diselenggarakan oleh yayasan anak milik keluarga Marchetti, Liliane Lakovelli sudah tertarik pada lelaki keturunan terakhir keluarga Marchetti itu. Malam itu Kian Marchetti sungguh memesona dengan tuxedo hitamnya. Tubuhnya yang tinggi semampai dan badan tegap atletis berjalan dengan raut tenang di antara kerumunan tamu yang menghadiri acara tersebut.
Liliane bisa bersumpah saat itu juga bila jatuh cinta pada pandangan pertama memang benar adanya. Semuanya memang terlihat tak masuk akal, namun Liliane benar-benar merasakannya.
Manik hitam legam milik Kian Marchetti menyorotnya dengan tajam ketika lelaki itu berjalan mendekatinya seorang diri setelah ayahnya, John Lakovelli memanggilnya. Sejauh yang Liliane tahu, ayahnya dan ayah Kian Marchetti atau disebut juga Massimo Marchetti telah berteman lama. Namun, sayang sekali Massimo telah meninggalkan dunia dua tahun sebelumnya.
Sepengetahuan Liliane juga, sejak itu Kian Marchetti yang menjadi satu-satunya penerus keluarga Marchetti mau tak mau harus turun tangan menggantikan posisi sang ayah yang menjabat sebagai presiden direktur di perusahaan Marchetti & Co. Fine Wines & Dining—sebuah bisnis yang bergerak di bidang kuliner dan merupakan salah satu pemasok anggur termahal di dunia. Merek anggurnya pun sangat dikenal di kalangan atas dengan nama II Segreto di Marchetti.
Saat itu Kian Marchetti masih berusia 25 tahun, dan baru saja lulus dari gelar S2-nya yang dia ambil di California. Namun, betapa luar biasanya Kian bisa dengan mudah mengendalikan perusahaan tersebut yang hampir goyah setelah kematian Massimo Marchetti.
"Lama tidak berjumpa, Kian," ucap John Lakovelli seraya berjabat tangan dengan Kian usai lelaki itu tiba di hadapannya.
Kian menyambut jabatan tangan itu dengan hangat. "Lama tidak berjumpa, Signore¹ Lakovelli." Balas Kian, wajahnya terlihat sumringah, begitu juga dengan raut John.
"Bagaimana kabarmu, Signore?" tanya Kian setelah jabatan tangan itu terlepas.
John membuka kedua tangannya. "Seperti yang kau lihat. Aku masih sehat bugar meski usiaku sudah termasuk senja," balasnya dengan suara kekehan yang tak bisa dihindari.
Kian ikut tertawa melihatnya. John memang terlihat sangat sehat, sejenak dia hampir mengenang mendiang ayahnya yang meninggal akibat serangan jantung mendadak di ruang kerjanya. Tak ada yang mengetahui kematian Massimo hingga Kian yang saat itu berniat akan memberitahukan kejutan kepulangannya pada Massimo justru dia sendiri yang dikejutkan oleh keadaan ayahnya yang ditemukan tak bernyawa di depan matanya. Dialah yang menemukan jasad ayahnya pertama kali.
Kian masih ingat dengan jelas bagaimana rasa tubuhnya yang seketika melayang seperti tak menapaki tanah. Kesadarannya hampir direnggut penuh karena terlampau shok. Bila saat itu dia sempat melihat wajahnya di cermin, mungkin dia dapat melihat wajahnya yang pucat pasi seperti wajah ayahnya saat itu.
Semua itu berlangsung hingga Pietro Bianchi, tangan kanan ayahnya ikut menerobos masuk ke ruang kerja Massimo setelah tak mendengar suara apapun dari dalam. Selanjutnya, teriakan Pietro-lah yang menyadarkan Kian pada kenyataan. Ia menghirup rakus udara di sekitar dan langsung jatuh terduduk dengan Pietro yang membantu menopang tubuhnya.
Ibunya—Georgina Ford telah meninggal tepat sebelum dia berangkat ke California saat dia mengambil kuliah sarjananya. Kian sempat frustasi dan ingin membatalkan penerbangannya, meski demi Tuhan dia harus segera tiba di California secepatnya mengingat dia telah mengulur penerbangannya sejak jauh-jauh hari lantaran tak ingin berpisah dengan ibunya. Namun, Tuhan mengambil ibunya setelah satu jam dia meninggalkan mansion keluarga Marchetti.
Dan ayahnya ternyata menyusul ibunya sesaat setelah kelulusan Kian Marchetti yang resmi menyandang gelar master. Tak ada rasa sakit yang melebihi sayatan di hatinya saat itu. Dia merasa gravitasi seakan berhenti, dunia tampak hancur tepat di hadapannya. Sudah tak ada lagi yang dia miliki di dunia ini. Kian dengan segala kekalutannya hampir ikut mengakhiri hidupnya juga, namun entah bagaimana mulanya sampai Kian menyadari dirinya telah berdiri di hadapan John Lakovelli malam ini. Melihat John yang baik-baik saja meski usianya tak lagi muda membuat Kian teringat semua hal yang terjadi dua tahun belakangan ini. Andai saja ayahnya memiliki fisik yang kuat dan sehat seperti John sekarang.
Kian menarik napasnya perlahan saat mendengar John kembali berbicara. "Dan tampaknya kau selalu seperti biasanya, tuan muda Marchetti. Kau selalu terlihat luar biasa. Aku seperti melihat Massimo muda saat bertemu denganmu."
Suara kekehan terdengar. Suara itu keluar dari mulut Kian. Iya, dia memang mengakui seluruh tubuhnya kecuali warna kulitnya, semuanya mirip dengan sang ayah. Ia teringat betapa ibunya sangat kesal setiap kali melihat dirinya yang nampak seperti duplikasi seorang Massimo Marchetti.
"Mungkin jiwa ayah bersama denganku saat ini, John." Balas Kian dengan ringan.
John menganggukkan kepalanya. "Aku setuju dengan yang satu itu."
"Oh iya," seolah teringat dengan sesuatu, John memekik kecil.
Tangan kiri pria paruh baya itu mendorong pelan punggung seorang gadis di sebelahnya yang sejak tadi kehadirannya tak diketahui oleh Kian. Dia bahkan baru menyadari John datang tak bersama dengan sekretarisnya seperti sebelum-sebelumnya.
"Maafkan Daddy yang hampir melupakanmu, sayang." Suara lirih John masih dapat didengar oleh Kian. Lelaki itu sempat mengernyit sesaat sebelum kembali menormalkan wajahnya.
John mengangkat kepalanya menatap Kian yang saat ini sedang menunggu John berbicara. "Ini putriku satu-satunya. Sungguh hanya dia yang kupunya di dunia ini, sehingga aku selalu menjaganya dengan sangat baik dan berhati-hati."
"Perkenalkan putriku, ini Kian Emilio Marchetti. Pewaris tunggal keluarga Marchetti yang menggelar acara amal ini."
"Dan Kian, ini putriku. Liliane Eleonora Lakovelli." John menjelaskannya dengan baik. Beberapa kali kepalanya menoleh pada Kian dan Liliane secara bergantian.
Kian yang pertama mengulurkan tangannya pada Liliane, sebelum gadis itu menjabat tangan kekar Kian dengan tangan mungilnya yang sangat lembut.
"Kian Marchetti."
"Liliane Lakovelli."
Liliane tak ingin membohongi hatinya. Saat mata hazelnya bertatapan dengan mata hitam legam milik Kian, seluruh atmosfer di sekitarnya seolah tersedot. Liliane tak dapat mendengar dengan jelas suara para tamu yang berbincang, atau mendengar suara ayahnya yang berulang kali memanggil namanya untuk menyadarkan. Liliane benar-benar jatuh pada pesona seorang Kian Marchetti dan tak membiarkan orang lain mengalihkannya dari pesona memabukkan itu.
Kian juga lah yang pertama menarik tangannya dari jabatan tangan tersebut. Kali ini Liliane tersadar sepenuhnya dan semburat merah langsung menghiasi pipinya. Sungguh yang tadi itu diluar kendali Liliane, bagaimana mungkin dia bisa melakukan hal konyol yang memalukan.
"Maafkan aku, aku tak sengaja, Signore Marchetti." Ucap Liliane sedikit tergagap karena dia merasa sangat gugup saat ini.
"Bukan masalah, Signorina² Lakovelli." Kian membalas ucapan maaf Liliane dengan nada selembut mungkin.
John menyaksikan semua itu. Sejujurnya rencananya malam ini membawa Liliane ke acara amal untuk pertama kalinya bukan karena ingin mengenalkan Liliane pada Kian Marchetti atau bahkan berniat menjodohkan putri tunggalnya pada anak mendiang sahabatnya itu. Namun, setelah melihat interaksi antara kedua anak manusia itu, John jadi ingin mengenalkan mereka lebih jauh.
"Kalian berdua berbincanglah, aku akan menemui Signore De Luca." Ucap John dan langsung berlalu begitu saja dari hadapan mereka.
Tangan Liliane hampir meraih lengan ayahnya saat suara Kian kembali terdengar di telinganya. "Jika kau tak keberatan, aku akan menemanimu malam ini Signorina Lakovelli. Atau jika kau bosan berada di ruangan ini dalam waktu yang lama, aku akan menemanimu berkeliling mansion."
Liliane menggelengkan kepalanya. Mana berani dia menyita begitu banyak waktu seorang Kian Marchetti yang seharusnya tetap tinggal di tempat ini hingga acara selesai. "Aku tak berani memonopoli keberadaanmu, Signore Marchetti. Sungguh tak apa bila aku harus menunggu ayah hingga ia kembali padaku. Kau bisa menyapa tamu lainnya."
Kian terlihat terperangah sesaat sebelum lelaki itu melemparkan senyum tipis padanya. Liliane melihatnya. Melihat betapa senyuman itu sungguh cocok di wajah tampan Kian dan membuatnya semakin memesona berkali-kali lipat dari sebelumnya. Liliane tahu ini berlebihan, tapi dia sungguh jatuh cinta hanya dengan melihat wajah Kian yang kelewat rupawan. Liliane yakin seluruh perempuan di muka bumi ini pun akan setuju dengan pendapatnya.
"John sudah menitipkanmu padaku. Itu artinya aku harus menjagamu." Balas Kian masih dengan senyumannya.
"Aku akan memberikan sambutan untuk membuka acara. Setelah itu aku akan menemanimu kembali." Kata lelaki itu setelah mengedarkan pandangannya ke penjuru ruangan.
"Mari ikut denganku," lanjut Kian dengan tangan yang menggenggam tangan Liliane hingga membuat gadis itu menghentikan napasnya.[]
***
¹ Signore : seorang pria Italia yang biasanya berpangkat atau bangsawan-digunakan sebagai gelar yang setara dengan Tuan.
² Signorina : seorang wanita Italia yang belum menikah-digunakan sebagai gelar yang setara dengan Nona.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
putrie_07
👍👍👍👍
2025-03-25
1