Naya yakin, dunia tidak akan sekejam ini padanya. Satu malam yang buram, satu kesalahan yang tak seharusnya terjadi, kini mengubah hidupnya selamanya. Ia mengira anak dalam kandungannya adalah milik Zayan—lelaki yang selama ini ia cintai. Namun, Zayan menghilang, meninggalkannya tanpa jejak.
Demi menjaga nama baik keluarga, seseorang yang tak pernah ia duga justru muncul—Arsen Alastair. Paman dari lelaki yang ia cintai. Dingin, tak tersentuh, dan nyaris tak berperasaan.
"Paman tidak perlu merasa bertanggung jawab. Aku bisa membesarkan anak ini sendiri!"
Namun, jawaban Arsen menohok.
"Kamu pikir aku mau? Tidak, Naya. Aku terpaksa!"
Bersama seorang pria yang tak pernah ia cintai, Naya terjebak dalam ikatan tanpa rasa. Apakah Arsen hanya sekadar ayah pengganti bagi anaknya? Bagaimana jika keduanya menyadari bahwa anak ini adalah hasil dari kesalahan satu malam mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 DBAP
Kepala Arsen berdenyut nyeri. Bagaimana mungkin ia bisa merasakan perasaan Naya dan bayinya? Mereka sama sekali tak punya hubungan atau ikatan apa pun dengannya. Dan jika apa yang dikatakan dokter tadi benar… mungkinkah wanita yang pernah tidur dengannya sebulan lalu itu hamil?
Tapi… bagaimana mungkin?
Selama ini, hasil pemeriksaan medis yang pernah ia jalani—kertas resmi berlogo rumah sakit—menyatakan bahwa dirinya mandul. Itu sebabnya ia tak pernah berani menjalin hubungan dengan siapa pun. Ia takut mengecewakan pasangannya.
“Garis takdir macam apa ini…” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar.
Suara Dito memecah lamunannya, menyelinap seperti duri ke dalam kepalanya yang sudah berat.
“Apa yang kamu pikirkan? Membayangkan hidup bahagia bersama istrimu itu? Menjalani kehidupan layaknya keluarga sempurna?”
Arsen memejamkan mata sesaat, mencoba menahan ledakan yang hampir pecah di kepalanya. Tapi sabarnya sudah menipis.
“Apa kamu nggak bisa menutup mulutmu?” ucapnya tegas dan dingin.
Dito langsung mengangkat tangannya, membuat gestur mulut terkunci. Tapi sorot matanya tetap menatap Arsen, mencoba membaca pikiran temannya. Dalam diam, Dito mulai bertanya-tanya—apakah keputusannya menyuruh Arsen pulang kemarin adalah kesalahan? Wajah sahabatnya itu sekarang bahkan terlihat lebih tegang daripada saat menghadapi operasi tersulit sekalipun.
“Dit…” suara Arsen terdengar pelan, berat, “apa mungkin… setelah divonis mandul, seorang pria tetap bisa membuat wanita hamil?”
Dito mengerutkan kening, lalu duduk lebih tegak. Ia mengamati Arsen dengan serius.
“Secara medis, itu mungkin… tapi jarang banget,” jawabnya perlahan. “Vonis mandul itu bukan berarti nol persen. Kadang, ada kasus di mana sperma sulit bergerak atau jumlahnya sangat sedikit, tapi bukan berarti nggak ada sama sekali. Bisa aja… ada satu yang berhasil. Keajaiban, kalau kamu percaya istilah itu.”
Arsen menarik napas panjang, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Kata-kata Dito justru membuat pikirannya makin kacau.
“Kalau memang itu keajaiban… kenapa harus terjadi sekarang? Dan kenapa dengan cara begini?” bisiknya, lebih pada dirinya sendiri.
Dito hanya diam. Ia tahu, ada hal-hal yang tak bisa dijawab dengan logika.
“Dan kalau memang anak itu… benar ada… dan anakku…” Arsen menghentikan kalimatnya. Tenggorokannya tercekat. Ia belum siap mengucapkan sisa kalimat itu. Bahkan pikirannya pun belum sepenuhnya siap menerima kemungkinannya.
“Sebenarnya, apa yang terjadi? Kamu udah ketemu sama wanita itu?” tanya Dito hati-hati.
Arsen menggeleng pelan. “Nggak ada jejak. Aku bahkan nggak tahu seperti apa dia. Aku sempat berharap dia datang dan meminta pertanggungjawaban, tapi nyatanya… sampai sekarang dia nggak pernah muncul. Dan barusan…”
Ia menggantungkan kalimatnya. Terlalu rumit untuk dijelaskan, terlalu campur aduk untuk ditata dalam kata-kata. Akhirnya, ia hanya berkata, “Ya… aku harus berusaha lebih keras agar bisa menemukannya.”
"Kamu yakin? Kalau sudah ketemu, bagaimana dengan pernikahanmu sekarang ini?" tanya Dito.
"Kamu sangat tahu pernikahan ini, hanya sebatas kata terpaksa. Jika Zayan kembali, aku akan bicara padanya," ucap Arsen sekilas wajah Naya kini terlintas di benaknya, entah mengapa mendengar kata yang ia ucapkan sendiri justru melukai hatinya. Arsen menggeleng pelan.
Namun jauh di dalam dirinya, Arsen tahu. Ia sedang berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa rasa sedih dan bingung yang ia rasakan bukan karena Naya dan bayinya. Tapi karena wanita malam itu—dan kemungkinan bahwa wanita itu kini tengah mengandung anaknya. Jika… keajaiban itu benar-benar ada.
Arsen meraih ponselnya, berniat menanyakan di mana Naya berada sekarang. Namun saat layar menyala dan ia membuka daftar kontak, ia baru tersadar.
"Aku bahkan tidak punya nomornya..." gumamnya pelan.
Ia menatap layar kosong itu sejenak, lalu menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak tahu apa pun tentangnya, selain fakta bahwa dia dulu adalah wanita ponakanku, sedang hamil... dan namanya, Naya Savina."
***
Di kampus, Naya hanya bisa berdiri membeku. Awalnya, ia datang dengan niat mengikuti ujian tengah semester. Tapi harapannya runtuh begitu saja. Kini ia justru berada di ruang administrasi, bukan di ruang ujian.
“Nay, kalau kamu belum membayar, tentu saja kamu tidak bisa mengikuti ujian ini,” ucap petugas administrasi dengan nada datar.
Naya mengerjap, mencoba mencerna ucapan itu. “Sa… saya belum membayar, Bu? Tapi… bukankah Ibu saya selalu tepat waktu membayar uang kuliah saya?”
Petugas itu membuka data di layar komputernya lalu mengangguk. “Benar, untuk uang SPP memang sudah lunas sejak bulan lalu. Tapi ini soal pembayaran ujian tertulis dan praktik lapangan sebelum magang. Biayanya belum dibayar.”
Napas Naya tercekat. Suaranya bergetar saat bertanya, “Jadi… saya tidak bisa ikut ujian?”
“Maaf, kami tidak bisa memberikan kartu ujian ataupun mengizinkan kamu masuk ke dalam ruangan ujian sebelum semuanya dilunasi.”
Dengan tangan gemetar, Naya melangkah keluar dari ruang administrasi. Hatinya sesak. Matanya panas. Tapi ia menahan semuanya. Ia butuh jawaban—dan hanya satu orang yang bisa memberikannya.
Ia menepi ke sudut lorong kampus yang sepi, lalu mengeluarkan ponsel dari tas. Jarinya gemetar saat menekan nama "Ibu" di layar. Butuh beberapa detik sebelum panggilan tersambung.
"Halo, Nay? Kenapa?" suara Reni terdengar di seberang sana.
Naya menarik napas dalam, mencoba tetap tenang. “Bu... barusan aku nggak bisa ikut ujian. Katanya ada biaya ujian dan praktik yang belum dibayar. Bukannya biasanya Ibu yang urus semua?”
Hening sejenak, lalu suara Reni terdengar tegas, bahkan sedikit dingin.
“Kamu sudah menikah, Nay. Seharusnya sekarang semua jadi tanggung jawab suamimu, bukan Ibu lagi.”
Naya terdiam. Kata-kata itu seperti tamparan. Ia tahu, tapi mendengarnya langsung dari ibunya tetap saja menyakitkan.
“Suamimu nggak kasih nafkah? Kalau memang iya, Ibu bisa datang ke dia sekarang juga. Biar Ibu ajarkan dia.”
Naya tahu betul bagaimana sikap ibunya—tegas dan mudah meledak. Karena itu, ia harus segera mengakhiri pembicaraan ini. Ia tidak ingin ibunya kembali berulah.
“Enggak, Bu. Aku cuma mau memastikan saja, kalau Ibu memang sudah nggak bayar lagi. Soalnya kalau sampai dobel, kampus bisa keenakan, kan,” ucap Naya, berusaha menenangkan.
"Kalau gitu Naya tutup dulu Bu." Belum ada jawaban dari seberang Naya langsung menekan tombol mengakhiri.
Langkah Naya melemah. Ia berjalan seperti hantu, menyusuri lorong kampus yang kini terasa begitu asing dan dingin. Suara riuh para mahasiswa lain yang keluar dari ruang ujian justru membuat dadanya semakin sesak. Ia seharusnya ada di antara mereka—bukan berdiri di luar, sendirian, tanpa kepastian.
Ia menuruni tangga perlahan dan mencari tempat duduk di bawah pohon besar dekat taman kampus. Tempat itu biasanya menenangkan, tapi hari ini, tidak. Tangannya meremas ujung rok, dan perlahan air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan lagi.
"Aku harus apa sekarang..." bisiknya pelan, nyaris tak bersuara.
Tangisnya pecah dalam diam. Ia tak berani menangis keras—takut dilihat, takut dikasihani, takut semakin terlihat lemah. Tapi sakit itu nyata. Rasa ditolak, ditinggalkan, dan diabaikan oleh orang-orang yang selama ini menjadi sandarannya... semuanya menumpuk dan menyesakkan.
Naya membuka dompet. Kosong. Hanya tersisa beberapa lembar receh, bahkan tak cukup untuk ongkos pulang. Ia menggigit bibir, berusaha menahan isak yang nyaris pecah lagi.
Bibirnya bergetar ketika nama Arsen terlintas di kepalanya. Tapi ia segera menggeleng, panik sendiri karena pikirannya sempat mengarah ke lelaki itu.
“Bukan dia… aku nggak bisa… dia pasti bakal makin benci kalau tahu aku repotin,” gumamnya putus asa.
"Seandainya Ayah masih ada, mungkin aku tak akan serapuh ini…" bisik Naya lirih.
Tangannya terulur, seolah ingin menggenggam sesuatu yang tak lagi ada. Ia membayangkan sapu tangan pemberian sang ayah masih berada di sana—hangat, membawa rasa aman. Namun kenyataannya, benda itu telah hilang. Sama seperti kehadiran ayahnya yang kini tinggal kenangan.
“Sekarang… bahkan satu-satunya kenangan yang aku punya pun hilang,” lanjutnya, suara bergetar menahan tangis.
Di saat bersamaan, hatinya mencelos. Ia tak punya siapa-siapa lagi. Tidak ibunya yang kini menarik diri, tidak suaminya yang dingin dan enggan terlibat. Ia hanya seorang mahasiswi yang gagal ikut ujian, seorang istri tanpa pengakuan, dan seorang calon ibu… yang bahkan tak tahu harus makan apa besok.
Tangannya bergerak pelan ke arah perut, mengusapnya dengan gemetar. Matanya basah, suaranya pecah saat akhirnya ia berbisik, “Maaf ya, Nak… Ibu belum bisa jaga kamu dengan baik…”
jangan jangan,jangan deh
double update dong,,, kurang nih