Cegil? itulah sebutan yang pantas untuk Chilla yang sering mengejar-ngejar Raja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rrnsnti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
garis dua
Chilla mengetuk dahinya beberapa kali, mondar-mandir di kamar mandi sambil memegang kalender di tangannya. Wajahnya tampak gusar, dan napasnya berat. Ia baru saja menyadari sesuatu yang membuat jantungnya berdegup kencang.
"Duh, gimana ini? Masa iya gue telat? Biasanya nggak pernah begini," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. Chilla mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba menenangkan diri. Namun, pikirannya justru makin kalut. Ia menatap kalender dengan tatapan nanar. Sudah lebih dari seminggu ia terlambat datang bulan.
"Hamil? Jangan-jangan gue hamil? Ya Tuhan, gue belum siap buat ini!" desah Chilla. Tangannya gemetar. Meskipun ia dan Raja sudah menikah, mereka berdua masih duduk di bangku sekolah. Ini bukan waktu yang tepat untuk memiliki anak, terlebih Raja sudah berulang kali mengingatkan agar mereka berhati-hati.
Namun, Chilla sadar mereka kerap ceroboh. Mereka terlalu sering terbawa suasana hingga melupakan perlindungan. Raja selalu berkata bahwa ia tidak ingin Chilla hamil sebelum mereka lulus, tapi Chilla tak bisa menahan godaannya untuk mendekati suaminya hampir setiap malam. Kini ia harus menghadapi kemungkinan akibat dari keputusan mereka.
"Gue nggak merasa mual atau apa pun. Tapi… tetap aja ini bikin deg-degan," bisik Chilla, mencoba mencari alasan agar tidak panik. Ia menarik napas panjang, lalu keluar dari kamar mandi.
Chilla meraih ponselnya yang tergeletak di meja. Ia langsung menekan nomor Raja, berharap suaminya bisa menenangkan hatinya. Sayangnya, panggilannya tidak diangkat. Ia mencoba lagi, kali ini dengan nada suara yang lebih memohon dalam hatinya.
Setelah dering ketiga, akhirnya telepon itu diangkat. "Kenapa? Aku tadi di toilet," jawab suara Raja di seberang.
"Sayang, gawat! Aku telat!" seru Chilla tanpa basa-basi.
Raja terdiam sejenak. "Telat? Telat apa maksudnya?" tanyanya bingung.
"Duh, ya telat datang bulan, Raja! Biasanya aku selalu tepat jadwal. Ini udah seminggu lebih nggak ada tanda-tanda apa-apa. Gimana ini?" Chilla hampir menangis karena panik.
"Udah cek pake testpack?" tanya Raja, mencoba tetap tenang meski hatinya mulai merasa gelisah.
"Belum! Aku nggak berani sendiri. Kamu cepetan pulang, beliin aku testpack, ya!" desak Chilla.
Raja menarik napas panjang sebelum menjawab, "Oke, tunggu aku di apartemen. Aku langsung pulang."
Telepon terputus, meninggalkan Chilla yang kini duduk di tempat tidur dengan gelisah. Ia memeluk lututnya sambil terus mencoba menenangkan diri. Pikirannya melayang ke berbagai kemungkinan. Bagaimana jika benar dirinya hamil? Bagaimana dengan sekolah mereka? Bagaimana jika keluarga mereka tahu? Ia tak bisa berhenti bertanya-tanya.
Tak lama kemudian, suara pintu apartemen terbuka. Raja datang tergesa-gesa dengan kantong kecil di tangannya. "Ini, aku udah beli testpack. Kamu langsung coba, ya," ucapnya sambil menyerahkan alat itu pada Chilla.
Chilla mengangguk dengan gugup. Ia masuk ke kamar mandi sambil membawa testpack itu. Raja menunggu di luar dengan cemas. Detik-detik yang berlalu terasa begitu lambat. Suasana hening hanya diisi oleh suara langkah kecil Chilla di kamar mandi.
Beberapa menit kemudian, pintu kamar mandi terbuka. Chilla keluar dengan wajah pucat sambil membawa testpack di tangannya. Ia menatap Raja dengan mata berkaca-kaca.
"Hasilnya… positif, Raja. Aku hamil," ucapnya pelan, suaranya nyaris bergetar.
Raja terdiam, mencoba mencerna kabar yang baru saja ia dengar. Jantungnya terasa berhenti berdetak sejenak. Ia menatap testpack itu, melihat dua garis merah yang menjadi bukti nyata.
"Kamu yakin?" tanyanya pelan, meski jawabannya sudah jelas.
Chilla hanya mengangguk sambil menggigit bibir bawahnya, menahan air mata. "Aku beneran hamil, Raja. Gimana ini? Aku takut…" bisiknya.
Melihat istrinya yang mulai menangis, Raja segera mendekat dan memeluknya erat. "Hei, jangan nangis. Kamu nggak sendiri, Chilla. Kita bisa lewatin ini sama-sama," ucapnya lembut. Ia mengusap rambut Chilla, mencoba menenangkan wanita yang kini tengah bergulat dengan emosinya.
"Tapi kita masih sekolah, sayang. Aku nggak mau bikin masalah buat kamu. Aku nggak mau ngerepotin…" kata Chilla di sela tangisnya.
Raja menggeleng pelan. "Nggak usah mikirin yang lain dulu. Kamu nggak pernah jadi beban buat aku. Ini tanggung jawab kita berdua. Kalau kamu hamil, berarti kita harus siap. Aku janji bakal jaga kamu dan bayi kita," katanya dengan penuh keyakinan.
Chilla menatap wajah Raja dengan mata basah. Meski masih ada rasa takut, ia merasa lega karena Raja tetap di sisinya. "Kamu beneran nggak marah, sayang?" tanyanya.
"Marah? Enggak, lah. Ini kan anak kita. Aku cuma nyesel karena kita nggak lebih hati-hati. Tapi sekarang aku cuma mau pastiin kamu dan bayi kita sehat," jawab Raja sambil tersenyum kecil.
Chilla mengangguk, akhirnya bisa tersenyum di tengah kekalutannya. "Makasih, sayang. Aku bersyukur banget punya kamu."
Raja mengecup kening Chilla lembut. "Sekarang kamu istirahat, ya. Besok kita ke dokter biar lebih pasti. Mulai sekarang kamu harus jaga diri, jangan capek-capek," ucapnya sambil memapah Chilla ke tempat tidur.
Chilla mengangguk pelan, merasa lebih tenang dengan kehadiran Raja. Meskipun perjalanan ke depan pasti akan penuh tantangan, ia yakin mereka bisa melewatinya bersama.
******
"Raja, kita belum jujur sama Regas, Tian, Peti, sama Alana kalau kita udah nikah. Sebaiknya kita jujur aja nggak sih sama mereka? Aku takut mereka mikir yang nggak-nggak, apalagi kalau tau aku hamil. Aku takut mereka ngira anak aku anak hamil diluar nikah," ujar Chilla, tangannya mengukir pola abstrak di dada Raja, berusaha mengalihkan perhatian dari kekhawatirannya.
Raja menatap wajah Chilla dengan penuh perhatian. Ia merasakan gelisah yang mendalam. "Kamu yakin? Kalau mereka nggak bisa jaga rahasia gimana?" tanya Raja, ragu dengan keputusan itu. Meski mereka sudah menikah, ia tahu mengungkapkan kebenaran ini pada teman-temannya bisa berisiko besar.
Chilla menarik napas panjang, matanya menatap Raja dengan tatapan yang serius. "Yakin, sayang. Mereka kan teman baik kita. Lagian, kalau pihak sekolah tau, mereka juga nggak bakal ngeluarin aku, karena Ayah Biru kan donatur di sana," jawabnya dengan meyakinkan. Chilla merasa bahwa keputusannya untuk jujur pada teman-temannya adalah langkah terbaik, meskipun ada banyak risiko yang harus dihadapi.
Raja terdiam sejenak, mempertimbangkan kata-kata Chilla. Setelah beberapa detik, ia mengangguk pelan. "Ya udah, kalau keputusan kamu gitu, aku ngikut aja," sahutnya, meskipun masih ada kekhawatiran di dalam hatinya. Ia ingin mendukung Chilla, namun rasa takut jika semuanya akan terbongkar tak bisa dihindari.
Chilla menunduk, merasa cemas dengan segala yang terjadi. Ia menggenggam tangan Raja dengan erat, mencoba mencari kekuatan dari suaminya. "Raja, maafin aku karena udah ceroboh. Aku selalu godain kamu, padahal kamu udah nahan mati-matian biar aku nggak hamil saat masih sekolah, tapi aku maksa," ucap Chilla dengan suara pelan, penuh penyesalan. Ia merasa bersalah karena telah begitu nekat dan ceroboh, tidak memikirkan konsekuensi dari tindakannya.
Raja menatap Chilla dengan lembut. "Hei, udah ya, ini udah takdirnya. Aku cuma takut karena kamu masih muda, aku takut kamu kenapa-kenapa mengandung di usia muda. Tapi karena udah terjadi, maka aku akan jagain kamu dan bayi kita," ucap Raja sambil mengusap perlahan perut Chilla yang masih rata. Ia memang khawatir, tapi rasa cintanya pada Chilla lebih besar dari ketakutannya. Ia ingin menjadi sosok yang melindungi Chilla dan bayi mereka, apapun yang terjadi.
Chilla menatap Raja dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Kamu udah cinta sama aku belum sih? Aku masih takut kalau kamu ternyata pura-pura aja, karena kasihan sama aku. Kita nikah gara-gara perjodohan, dan aku cewek gila yang selalu ngejar-ngejar kamu," tanya Chilla dengan suara bergetar. Ia merasa insecure, meskipun ia tahu Raja selalu mendampinginya, ia tak bisa menahan rasa takut kalau semuanya hanya terjadi karena keterpaksaan.
Raja menatap Chilla dalam-dalam, lalu perlahan menggenggam kedua tangannya. "Aku udah cinta sama kamu, Chilla, dan ini hasil dari buah cinta kita," jawab Raja dengan suara penuh keyakinan. Tanpa berkata apa-apa lagi, Raja menunduk dan mencium perlahan perut Chilla yang masih datar, memberikan rasa kedamaian dan rasa aman pada istrinya.
Chilla terdiam sejenak, hatinya mulai terasa lebih tenang. Kata-kata Raja begitu tulus, membuatnya merasa lebih dihargai dan dicintai. Ia menatap wajah suaminya yang penuh kasih, merasakan cintanya yang begitu besar.
"Terima kasih, sayang. Aku nggak tahu harus gimana kalau nggak ada kamu," bisik Chilla, air mata mulai mengalir di pipinya. Ia merasa sangat diberkati bisa memiliki Raja di sisinya, apalagi di saat-saat seperti ini.
Raja mengelus rambut Chilla dengan lembut, berusaha menghapus air matanya. "Kamu nggak perlu khawatir, Chilla. Aku akan selalu ada di sini buat kamu. Kita hadapi semuanya bersama, ya?" ucap Raja, suaranya penuh dengan keyakinan.
Chilla mengangguk pelan, merasakan betapa besar cinta dan pengorbanan yang ada pada Raja. Meskipun masa depan mereka penuh ketidakpastian, mereka tahu bahwa selama mereka saling mendukung, mereka bisa melewati semuanya.