Hilya Nadhira, ia tidak pernah menyangka bahwa kebaikannya menolong seorang pria berakhir menjadi sebuah hubungan pernikahan.
Pria yang jelas tidak diketahui asal usulnya bahkan kehilangan ingatannya itu, kini hidup satu atap dengannya dengan status suami.
" Gimana kalau dia udah inget dan pergi meninggalkanmu, bukannya kamu akan jadi janda nduk?"
" Ndak apa Bu'e, bukankah itu hanya sekedar status. Hilya ndak pernah berpikir jauh. Jika memang Mas udah inget dan mau pergi itu hak dia."
Siapa sebenarnya pria yang jadi suami Hilya ini?
Mengapa dia bisa hilang ingatan? Dan apakah benar dia akan meninggalkan Hilya jika ingatannya sudah kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IAS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
STOK 02: Namaku Seperti Bukan Namaku
Seorang tetangga melintas dengan menggunakan sepeda motor dan seketika itu juga menolong Hilya untuk membawa Raka ke rumah. Tampak ia begitu baik, ya memang ada beberapa tetangga yang bersikap baik kepada Hilya dan suaminya.
" Raka keno opo Hil?"
" Ndak tahu pakde. Katanya kepalanya sakit terus malah pingsan."
Pria yang berusia seperti ayah dari Hilya itu hanya mengangguk paham. Ia lalu turun dari motor untuk membantu Hilya menaikkan Raka ke motor.Ia meminta Hilya memegangi Raka kuat, dan pada akhirnya mereka berboncengan tiga.
Sampai di rumah, Haryani sangat terkejut melihat mata Raka yang terpejam. " Iki nopo nduk?"
" Ndak tahu Bu'e, tiba-tiba Mas sakit kepala lalu pingsan. Bawa masuk aja dulu Bu."
Yani mengangguk, dia membantu Hilya untuk menurunkan Raka dan membawanya masuk. Mereka meletakkan Raka di kamarnya.
Yani kembali ke luar untuk mengucapkan terima kasih kepada tetangga yang sudah menolongnya. Ia bersyukur masih banyak tetangga yang baik dan menerima keberadaan menantunya yang datang entah dari mana itu.
Namun tidak bisa ia hindari bahwa ada beberapa tetangga yang tidak suka bahkan mencemooh Raka. Tentu saja awalnya Yani acuh, namun lama kelamaan ia gerah juga. Walaupun awalnya Yani tidak setuju dengan pernikahan putri sulungnya yang dadakan, tapi dia kini sudah bisa menerima dengan ikhlas. Maka dari itu Yani tidak suka jika ada orang yang menjelekkan menantu dan putrinya.
" Tck, kan sudah ku tebak. Beban tok, percuma ganteng tapi beban. Punya suami kok mung dadi beban hidup."
Baru saja dia hendak masuk ke dalam rumah, sudah ada saja tikus yang mencicit. Yani acuh, kali ini dia sedang tidak ingin ribut. Apalagi Raka sedang dalam kondisi tidak baik.
" Lha kan takut susah Mbakyu, mending Hilya suruh pegat (cerai) wae dari suami yang ndak guna itu. Perempuan nikah itu tuh biar ada yang ngidupin. Lah ini malah kebalikan. Mana ndak jelas lagi asal usulnya. Ya kalau dia orang baik kalau ternyata penjahat buron bagaimana?"
Yani memejamkan matanya, ia mengambil nafasnya dalam-dalam dan membuangnya perlahan. Rasanya ingin sekali dia berkata kasar tapi agaknya sebisa mungkin dia harus menahan. Terlebih orang yabg berbicara kepadanya itu adalah istri dari kepala desa.
" Maaf ya Bu, saya harus masuk. Banyak pekerjaan yang harus saya lakuin. Permisi."
" Owalaah, wong kere tapi sombonge rakaru-karuan( sombongnya nggak ketulungan."
Anjarwati, wanita berusia 40 tahunan yang merupakan istri dari Roni Antoro itu nampak kesal. Dia sangat kesal karena diacuhkan oleh Haryani yang notebene adalah orang kecil, menurut dia. Dia sebagai istri kepala desa wilayah setempat seakan-akan adalah penguasa yang harus dihormati. Maka dari itu dia amat kesal jika ada yang mengacuhkan dirinya.
Tapi bukan itu yang membuatnya kesal sebenarnya, pasalnya Hilya yang cantik dan cerdas itu sudah lama ia incar untuk jadi menantunya. Namun siapa sangka malah Hilya menikah dengan pria yang tidak jelas.
Maka dari itu Anjar amat kesal kepada keluarga Hilya. Terlebih Hilya ini lulusan sarjana, dimana di daerah itu sangat jarang ada gadis yang bersekolah hingga jenjang universitas. Niat hati ia ingin membanggakan anaknya nanti karena berhasil menikahi gadis yang berpendidikan tinggi. Tapi semua hanyalah khayalan Anjar sendiri.
" Cih, aku mesti isoh dapet mantu yang lebih dari Hilya. Lagian opo yang dibanggakke. Punya bojo ra jelas kayak gitu."
Anjar menggerutu marah, dia lalu melenggang pergi dari depan rumah Hilya.
Sedangkan di dalam rumah, Hilya dan Yani merasa lega dan mengucapkan syukur karena Raka sudah sadar dari pingsannya. Meskipun pria itu mengeluhkan kepalanya yang sakit. Hilya gerak cepat mengambilkan makan dan juga obat. Tapi Raka menggeleng, dia sama sekali tidak ingin makan.
" Mas, makan dikit ya. Buat lapisan minum obat," pinta Hilya dengan wajah penuh kekhawatiran. Raka yang awalnya enggan pun mengalahkan egonya dan mulai menyendokkan nasi ke mulutnya. Meskipun rasanya di mulut sungguh tidak karuan namun Raka berhasil memakan 3 suap nasi.
Hilya tersenyum lega, dia lalu mengambilkan obat dan memberikannya kepada Raka.
Gluk gluk gluk.
" Alhamdulillaah. Sekarang Mas istirahat aja ya," ucap Hilya. Ia membantu Raka untuk kembali berbaring.
" Makasih ya Hil, maaf sudah selalu merepotkan mu. Maaf ya bu, saya sungguh hanya merepotkan." Raka mengucapkan kata itu dengan wajah sendu dan juga sangat menyesal. Ia tahu keberadaan dirinya di rumah ini hanyalah menjadi beban.
" Wes, ndak usah mikir aneh-aneh. Kamu emang lagi sakit, nanti kalau udah sembuh total Bu'e suruh kamu macul (nyangkul) semua kebun."
Selorohan dari Yani membuat Raka dan Hilya tertawa. Wanita paruh baya itu lalu melenggang keluar kamar meninggalkan anak dan menantunya.
" Mas, kamu tadi kenapa kok tiba-tiba sakit kepala."
Raka terdiam dia mencoba mengingat apa yang tadi terjadi pada dirinya. Pada dasarnya tidak ada yang istimewa. Dia hanya berjalan-jalan, bergandengan tangan dengan Hilya karena diajak untuk kembali ke rumah, dan terakhir ia mendengar seorang anak kecil yang memanggil kedua orang tuanya dengan panggilan " Bunda dan Ayah", ya hanya itu saja.
" Tunggu, apa aku bereaksi dengan kata bunda dan ayah?" gumam Raka lirih tapi masih bisa di dengar oleh Hilya,
" Mas, apa mungkin Mas Raka memanggil kedua orang tua Mas dengan panggilan itu, jadi hal itu memacu ingatan Mas Raka. Bukankah kata dokter Mas akan mengalami sakit kepala kalau ada sesuatu yang berhubungan dengan ingatan?"
Raka mengangguk setuju dengan ucapan Hilya. Ia pun mencoba untuk mengucapkan kata 'bunda' berkali-kali. Raka berharap akan ada sekelebat kenangan yang muncul di kepalanya, namun nihil. Yang ada malah kepalanya semakin berdenyut.
Greb
Hilya menggenggam tangan Raka, dan kepalanya menggeleng cepat. " Mas berhenti di sini, jangan dipaksakan. Kepala Mas akan sakit jika memaksakannya. Biar mengalir aja ya. Sekarang istirahatlah Mas. Aku harus keluar untuk menyelesaikan penyemaian bibit."
Raka mengangguk, ia lalu memejamkan matanya ketika Hilya meninggalkan kamar. Kamar yang ia pakai saat ini adalah kamar milik Hilya sebenarnya. Jadi sebagian barang-barang milik Hilya jelas berada di sana. Salah satunya adalah sebuah toga wisuda dan selempang. Di sana tertulis Hilya Nadhira, S. P Cumlaude. Hal itu berarti bahwa Hilya adalah sarjana pertanian dengan lulusan terbaik. Hanya saja Raka heran, menganga gadis itu memilih untuk bertani dari pada bekerja di perusahan.
" Sungguh gadis yang lain dari biasanya," gumam Raka dengan mata yang terpejam. Tapi pada akhirnya ia kembali membuka matanya. Dirinya sama sekali tidak ingin tidur saat ini.
Raka bangun dan mencari barang-barang miliknya. Siapa tahu dia menemukan sesuatu di sana yang bisa membuatnya kembali mengingat. Tapi satu-satunya hal yang dia miliki hanyalah pakaian dan sebuah jaket dengan bordiran nama kecil di bagian bawah. Tampak seperti tersembunyi.
" Raka Pittore, ini namaku tapi seperti bukan nama ku yang sebenarnya. Raka, apakah benar aku dipanggil seperti itu?"
TBC