Sharon tidak mengerti mengapa takdir hidupnya begitu rumit. Kekasihnya berselingkuh dengan seseorang yang sudah merenggut segalanya dari dirinya dan ibunya. Lalu ia pun harus bertemu dengan laki-laki kejam dan melewatkan malam panas dengannya. Malam panas yang akhirnya makin meluluhlantakkan kehidupannya.
"Ambil ini! Anggap ini sebagai pengganti untuk malam tadi dan jangan muncul lagi di hadapanku."
"Aku tidak membutuhkan uangmu, berengsekkk!"
Namun bagaimana bila akhirnya Sharon mengandung anak dari laki-laki yang ternyata seorang Cassanova tersebut?
Haruskah ia memberitahukannya pada laki-laki kejam tersebut atau menyembunyikannya?
Temukan jawabannya hanya di BENIH SANG CASSANOVA 2.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Bab 10. Kabar Tak Terduga
Namun, baru saja Sharon hendak membuka pintu ruang dokter, Dirga justru memanggilnya sambil menepuk layar ponselnya. Sharon pun sontak menoleh.
"Ya. Ada apa?" tanya Sharon.
"Sharon, maaf banget. Aku baru aja dapet kabar dari rumah. Ada urusan keluarga mendadak. Aku harus pulang sekarang juga," ucap Dirga seperti merasa tak enak hati.
Sharon cepat-cepat mengangguk, tidak ingin merepotkan. “Nggak apa-apa, Ga. Terima kasih banget udah nganterin sampai sini.”
Dirga tersenyum. “Lain kali, aku traktir makan siang. Jaga kesehatan, ya. Hati-hati di dalam.”
Sharon membalas senyum itu dengan anggukan pelan. Setelah Dirga berlalu, ia pun lanjut membuka pintu. Di dalam ruangan, sudah ada seorang dokter ditemani seorang perawat menyambutnya dengan senyuman hangat.
Di dalam ruang pemeriksaan yang hangat dan rapi, Sharon duduk di ranjang periksa dengan perasaan campur aduk. Deg-degan, khawatir, sekaligus penasaran. Ia menatap dokter perempuan berusia sekitar empat puluhan dengan senyum ramah dan gerakan yang cekatan.
“Selamat sore, Bu Sharon. Ini kontrol pertama di sini, ya? Kita akan lakukan USG hari ini untuk lihat perkembangan janin,” ucap dokter itu sambil mempersiapkan alat.
Sharon hanya mengangguk dan mengikuti instruksi. Saat gel dingin menyentuh kulit perutnya, ia menahan napas. Layar monitor di samping mulai menampilkan bayangan-bayangan samar yang hanya bisa ditafsirkan oleh ahlinya.
Dokter itu mengernyit, lalu tersenyum lebar. “Wah, Bu Sharon … saya punya kabar yang menarik untuk Anda.”
Sharon menoleh cepat. “Apa? Ada masalah?”
“Bukan masalah. Justru kabar gembira. Bayinya sehat ... dan bukan satu.”
Sharon memelototkan mata. “Maksudnya?”
“Selamat, Bu. Anda mengandung anak kembar.”
Sharon tercekat. “K-kembar?” ulangnya tak percaya.
Dokter tertawa kecil, menunjuk dua kantung janin yang terpantau jelas di layar. “Iya. Kembar non-identik. Ini cukup umum, terutama jika ada riwayat dalam keluarga atau … yah, kadang juga murni kejutan dari alam.”
Sharon memandangi layar itu dengan mata berkaca-kaca. Dua detak jantung, dua titik kecil yang hidup ... tumbuh dalam rahimnya. Dunia seakan berhenti sesaat.
Ia menelan ludah, sulit berkata apa-apa. “Aku … hamil anak kembar …,” bisiknya lirih, masih mencoba mencerna kenyataan itu.
Setelah pemeriksaan selesai dan ia kembali duduk, dokter menjelaskan tentang perawatan khusus kehamilan kembar dan pentingnya nutrisi serta kontrol rutin yang lebih sering. Sharon mencatat semuanya di buku kecilnya, masih dengan pikiran yang melayang-layang.
Sebelum keluar dari ruang periksa, ia kembali menatap hasil cetakan USG yang diberikan dokter. Dua bayi. Dua kehidupan kecil yang kini sepenuhnya bergantung padanya.
“Bagaimana caraku membesarkan kalian?” bisiknya lirih. “Tanpa ayah kalian ... tapi Mami janji, Mami akan jadi ibu yang terbaik untuk kalian," imbuh Sharon bertekad dalam hati.
Dan saat ia melangkah keluar dari klinik, langit senja Yogyakarta tampak begitu hangat. Seolah semesta sendiri yang menguatkannya hari itu. Sharon lantas melangkah dengan tersenyum.
...***...
Langkah Sharon terasa ringan, tapi hatinya berat. Di satu sisi, kabar tentang bayi kembar yang tengah dikandungnya membuat hatinya bergetar—antara bahagia, terharu, dan bingung. Di sisi lain, rasa khawatir tak henti berputar di kepalanya.
Sesampainya di kontrakan kecilnya yang mungil namun hangat, Sharon membuka pintu perlahan. Udara khas Yogyakarta menyambutnya—lembut dan menenangkan. Ia meletakkan tas kerja dan map hasil pemeriksaan di meja kecil dekat pintu, lalu berjalan menuju dapur, menuang segelas air putih.
Langit malam mengintip dari balik jendela. Bintang-bintang berkelip seakan tahu isi hatinya yang sedang tidak menentu.
Ia kembali ke ruang tengah dan duduk di kasur lipatnya yang rapi. Sambil memandangi hasil USG yang kini tergeletak di pangkuannya, Sharon mengelus pelan kertas itu, seolah menyentuh dua janin kecil yang bersembunyi dalam rahimnya.
“Dua ... kalian berdua benar-benar nyata, ya,” bisiknya pelan.
Tangannya bergerak menyentuh perutnya yang mulai mengeras, meski belum begitu terlihat. Ia sungguh tak menyangka kalau malam panasnya tempo hari meninggalkan dua janin di dalam rahimnya. Dan yang lebih mengejutkan, sosok itu merupakan sosok tak terduga di luar jangkauannya.
“Aku nggak pernah nyangka bisa berada di titik ini. Tanpa rencana, tanpa persiapan, tanpa ... ayah kalian.”
Sharon menghela napas dalam-dalam. Perasaan sedih dan kuat bercampur jadi satu. Ia ingat malam itu. Malam yang panas, penuh amarah dan luka. Ia tak pernah menyangka malam itu akan mengubah seluruh jalan hidupnya.
Namun, seaneh apapun semua itu, ia tidak menyesal. Bagaimanapun, dua bayi itu adalah darah dagingnya. Hasil dari luka yang tak terduga, tapi kini jadi alasan terkuat untuknya bertahan dan terus melangkah ke depan.
Air mata menetes dalam diam. Tapi kali ini bukan karena kesedihan semata. Melainkan karena keteguhan yang tumbuh tanpa sadar.
Ia pun mengambil jurnalnya. Menulis beberapa kalimat yang entah untuk siapa, mungkin untuk dirinya sendiri ... atau untuk kedua calon buah hatinya.
"Mami masih takut, tapi ... Mami juga belajar menjadi berani. Karena kalian."
"Jika nanti kalian bertanya di mana papi kalian ... Mami nggak janji bisa memberi jawaban yang indah, tapi Mami janji akan selalu jujur, dan mencintai kalian sepenuh hati."
Setelah menutup jurnalnya, Sharon merebahkan diri di kasur. Tangannya masih menyentuh perutnya yang perlahan menghangat. Di tengah keheningan malam Yogyakarta, ia tersenyum kecil.
“Ayo tidur, ya ... calon kesayangan Mami Besok kita kerja lagi.”
Dan malam itu, meski sunyi, Sharon tak merasa sendiri lagi. Ia bagai terlahir kembali dengan kekuatan baru, yaitu sang buah hati.
Bersambung
Pas cek, baru 49 komen. Cuma ya gpplah. Selamat membaca, Kak. Maaf kalo D'wie nggak bisa balas komennya. Terima kasih sudah mampir.🥰🥰🥰
Semoga ini jd awal yg baik bagi Leon bisa ketemu sm ank2nya jg sharon
semoga di mudahkan dan dilancarkan ya..
padahal ceritanya bagus lho