Di masa depan, dunia telah hancur akibat ledakan bom nuklir yang menyebabkan musim dingin global. Gelombang radiasi elektromagnetik yang dahsyat melumpuhkan seluruh teknologi modern, membuat manusia kembali ke zaman kegelapan.
Akibat kekacauan ini, Pulau Bali yang dulunya damai menjadi terjerumus dalam perang saudara. Dalam kehidupan tanpa hukum ini, Indra memimpin kelompok Monasphatika untuk bertahan hidup bersama di tanah kelahiran mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 30
Pagi itu, di tahun keempat musim dingin global, pusat kota Amlapura dipenuhi oleh kerumunan warga dan Pasukan Aliansi yang baru saja memenangkan perang. Udara dingin pagi hari tidak memadamkan antusiasme yang terpancar jelas dari setiap wajah yang hadir. Mereka berkumpul untuk menyaksikan momen bersejarah, yaitu pengesahan sebuah hukum baru di Pulau Bali yang disebut ‘Sumpah Yuddhottaram.’
Sumpah ini adalah buah pemikiran para petinggi Aliansi bersama segenap kaum intelektual yang masih tersisa di tanah Amlapura. Tujuan utama dibuatnya Sumpah Yuddhottaram ini adalah untuk mengatur seluruh warga Bali demi mengembalikan kedamaian yang telah lama hilang.
Namun, pengesahan ini hanyalah sebuah permulaan saja. Tantangan sesungguhnya berada pada proses penyebaran Sumpah Yuddhottaram ke seluruh penjuru Bali, dimana beberapa wilayah mungkin saja enggan untuk mengikuti aturan baru ini.
Meski tugas yang menantinya memiliki beban yang sangat berat, Aryandra dan segenap pasukan Aliansi siap melaksanakannya dengan sepenuh hati. Bagi mereka, kedamaian bukanlah sekadar impian semata, melainkan sesuatu yang harus diperjuangkan demi masa depan yang lebih baik.
Aryandra melangkah mantap menuju podium yang berada tepat di hadapan kerumunan massa. Sorot matanya tegas, namun ada kehangatan yang terpancar dari dalam. Di belakangnya, Indra, Aditya, dan Wibisana terlihat berdiri tegak sambil memegang senapan laras panjang. Mereka adalah para pemimpin yang menjadi simbol kekuatan serta perlindungan.
Sebelum memulai pidato, mata Aryandra menyapu kerumunan orang yang ada di hadapannya untuk menangkap setiap tatapan penuh harap, setiap hembusan napas lega, serta setiap senyum yang mulai merekah setelah bertahun-tahun menderita.
“Terima kasih, kepada semua orang yang telah hadir pada pagi hari ini.” Ujarnya dengan suara lantang, namun penuh kelembutan. “Aku sangat menghargai waktu yang telah kalian luangkan demi menyaksikan pengesahan Sumpah Yuddhottaram, sebuah sumpah yang kita buat bersama demi masa depan Pulau Bali.”
Dia berhenti sejenak untuk membiarkan kata-katanya menggema di udara yang dingin. “Perang saudara yang berkecamuk selama bertahun-tahun ini telah merenggut banyak hal dari kita. Nyawa orang-orang tersayang, rumah, kedamaian, dan harapan, semuanya dibabat habis. Ditambah lagi, musim dingin global yang tak kunjung usai semakin memperberat beban yang kita pikul. Tapi hari ini, kita berdiri bersama-sama sebagai langkah awal untuk membangun kembali apa yang telah hancur.”
Aryandra menatap lagi ke sekelilingnya dengan mata penuh tekad yang membara. “Karena itu, pada tanggal 21 Februari ini, dengan mengucapkan matra “Om awighnam astu namo sidham,” aku resmikan Sumpah Yuddhottaram sebagai sebuah hukum baru bagi Pulau Bali!” Ujarnya menggema penuh wibawa dan juga kebanggaan.
Tepat sesaat setelahnya, Indra, Aditya dan Wibisana menembakkan senapannya ke udara sebanyak tiga kali, sebagai tanda bahwa sumpah tersebut sudah diresmikan.
Sorak-sorai pun mulai pecah. Pasukan Aliansi beserta masyarakat Amlapura meneriakkan selebrasi penuh kegembiraan, seolah melepas segala penderitaan yang telah mereka tanggung selama ini. Beberapa dari mereka sampai meneteskan air mata kebahagiaan, sementara yang lainnya mengangkat tangan ke langit, seolah bersyukur karena kedamaian akan segera kembali menyapa mereka. Musim dingin mungkin masih panjang, namun Sumpah Yuddhottaram akan membuatnya jadi lebih mudah untuk dilalui.
Salah satu poin penting dalam sumpah ini adalah mengatur setiap wilayah di Bali untuk saling membantu satu sama lain. Jika ada satu wilayah yang kekurangan sumber daya, maka wilayah lain wajib memberikan bantuannya. Tidak ada lagi egoisme, serta tidak ada lagi ketimpangan.
Selain itu, sumpah ini juga melarang adanya kepemimpinan absolut. Salah satu pasal di dalam Sumpah Yuddhottaram menyatakan bahwa pemimpin Pulau Bali akan berganti setiap lima tahun sekali.
Orang yang berhak menjadi kandidat selanjutnya adalah para pemimpin yang memerintah Kabupaten masing-masing. Rakyat akan menilai performa mereka berdasarkan berbagai aspek, yang terdiri dari penyaluran bantuan sumber daya, kemampuan sosial, kepemimpinan, dan masih banyak lagi. Ini adalah sistem yang adil untuk memastikan tidak ada satu orang pun yang bisa berkuasa selamanya.
Segala hal yang diatur dalam Sumpah Yuddhottaram ini adalah pondasi yang kuat untuk menegakkan kedamaian serta kestabilan Pulau Bali. Hari ini, mereka semua merayakan kemenangan kecil yang juga menjadi langkah pertama menuju masa depan yang lebih cerah.
...***...
Menjelang siang hari setelah pengesahan Sumpah Yuddhottaram, Indra bersama kelompok Monasphatika berada di kamp mereka yang tak jauh dari gerbang barat benteng Amlapura. Matahari mulai menyinari barisan tenda yang sedang dibongkar bersama tumpukan barang-barang yang siap diangkut. Suasana kamp terasa riuh dan penuh semangat saat mereka sibuk mempersiapkan segala sesuatu sebelum kembali ke kota Singaraja.
Petualangan panjang di Karangasem akhirnya usai. Badan mereka yang dipenuhi oleh perihnya luka, seakan tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan rasa rindu terhadap kampung halaman tercinta.
Mereka rindu pada momen-momen sederhana seperti menikmati api unggun di sore hari, memanggang kentang bersama para warga, dan tertawa lepas dengan tanpa adanya beban sama sekali. Setelah lebih dari seminggu bertarung di wilayah orang lain, rasanya hal-hal di atas menjadi sebuah imbalan yang sesuai atas perjuangan mereka.
“Luthfi, apa semuanya sudah lengkap?” Tanya Indra sambil memberi minum kudanya.
“Sebentar, aku masih perlu menghitungnya sekali lagi.” Jawab Luthfi dengan nada serius, seolah ia sedang fokus untuk saat ini. Matanya bergerak cepat untuk mengecek setiap barang yang terdaftar dalam catatannya.
Kiara, yang sedang duduk di atas gerobak senjata, memperhatikan Luthfi dengan perasaan khawatir. Luka di perutnya masih terasa perih, tapi ia tidak tahan melihat Luthfi yang kewalahan mengurus logistik sendirian.
Dengan perlahan, Kiara berjalan mendekati Indra untuk meminta izin kepadanya. “Indra, kayaknya Luthfi kewalahan, deh, kalau ngurus logistik sendirian. Aku izin untuk bantu dia, ya?” Pinta Kiara dengan suara lembut yang penuh harap.
Indra menggeleng pelan dengan penuh perhatian. “Kau masih belum boleh bergerak terlalu banyak karena itu akan berpotensi menyebabkan pendarahan lagi di lukamu.” Ujarnya sambil menunjuk perut Kiara yang masih terbungkus perban. “Benar, kan, Yani?” Tambahnya meminta konfirmasi dari Handayani yang sedang mengangkut persediaan obat-obatan.
Handayani kemudian mengangguk dengan wajah yang serius. “Indra benar. Kau masih harus istirahat, Kiara. Jangan memaksakan dirimu.” Himbaunya dengan nada yang pelan, layaknya seorang dokter yang menasehati pasiennya.
Kiara menghela napas dengan wajah yang menunjukkan kekecewaan. “Baiklah, aku mengerti.” Ujarnya lirih, sambil berbalik kembali ke gerobak senjata. Tangannya memegang luka di perutnya, seolah mencoba menahan rasa sakit yang terus mengganggu.
Beberapa saat kemudian, suasana kamp tiba-tiba berubah. Aryandra muncul di antara kerumunan prajurit Monasphatika yang sedang sibuk mengurus barang masing-masing. Wajahnya terlihat tenang, namun ada sesuatu yang terasa berbeda dari biasanya. Para prajurit Monasphatika yang melihatnya segera memberi salam, lalu dibalas hangat oleh senyuman Aryandra.
“Indra.” Panggil Aryandra saat mendekati sahabatnya itu.
Indra, yang masih sibuk dengan kudanya, segera menoleh dengan wajah yang sedikit terkejut. “Oh, Aryandra. Ada apa tiba-tiba datang ke sini?” Tanyanya dengan tangan yang masih memegang tali kekang kudanya.
Aryandra lalu menjulurkan tangannya untuk menawarkan sebuah jabat tangan perpisahan. “Nggak ada apa-apa, cuma mau ngasih salam perpisahan aja.” Ujarnya sambil tersenyum sumringah.
Indra terkekeh dengan mata yang berbinar. “Bukannya kita udah say goodbye tadi setelah upacara pengesahan, ya?” Tanyanya ringan untuk meredakan suasana yang sedikit terasa haru.
“Hahaha, iya juga, ya.” Aryandra ikut tertawa kecil, tapi ada sesuatu yang berbeda dari suaranya. “Ngomong-ngomong, Aditya dan Sekar udah mau berangkat ke Bangli, nih. Mau ikut ngasih salam perpisahan ke mereka, nggak?” Tawarnya pada Indra.
Indra lalu mengangguk dengan wajah yang menunjukkan antusiasme. “Ah, jadi mereka udah mau berangkat, ya? Oke deh, ayo kita ke sana!”
...***...
Di dekat gerbang selatan benteng Amlapura, pasukan Bangli telah membentuk barisan rapi sebelum berangkat pulang ke kampung halaman tercinta. Mereka mengenakan mantel musim dingin berwarna putih yang membantu dalam menjaga kehangatan suhu badan.
Di tengah barisan, terdapat sebuah kereta kuda dengan ukiran kayu yang khas. Di dalamnya, Sekar terlihat sedang duduk termenung di bangku penumpang dengan mata yang menatap jauh ke langit. Burung-burung berterbangan bebas di atasnya, seolah merepresentasikan kedamaian dan juga kebebasan. Pikiran Sekar melayang pada memori indah saat menikmati matahari terbenam di pinggir pantai beberapa hari yang lalu.
Sementara itu, Aditya sedang sibuk memeriksa logistik untuk yang terakhir kalinya. Tangannya bergerak dengan cepat untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. Namun, tiba-tiba pandangannya teralihkan oleh dua sosok yang mendekat, yaitu Indra dan Aryandra. Keduanya melambaikan tangan dengan ekspresi wajah yang ceria.
“Oh, kalian berdua!” Sapa Aditya terdengar riang. “Kami lagi bentar mau berangkat, nih. Ada apa kalian datang ke sini?” Tanyanya penasaran.
Aryandra berjalan mendekat, lalu menjulurkan tangannya kepada Aditya. “Cuma mau ngucapin selamat tinggal aja, sih.” Ujarnya dengan nada yang hangat.
Aditya tertawa kecil, sambil menjabat tangan Aryandra. “Hahaha, kedengarannya sedih banget, ya, kaya mau ditinggal jauh aja. Padahal, kan, jarak wilayah kita deketan banget.”
Pandangan Aditya kemudian beralih ke arah Indra yang sedang berdiri di samping Aryandra. Tanpa banyak bicara, ia segera menjabat tangan Indra erat-erat. “Indra, makasih banyak atas bantuanmu dalam pertempuran ini. Walaupun kita belum mengenal jauh, tapi entah kenapa aku sudah merasa akrab denganmu. Kapan-kapan, mungkin aku akan mengunjungimu ke Singaraja.” Ujarnya dengan senyuman yang lebar.
Indra membalas jabat tangan itu dengan erat, sambil menunjukkan wajah yang berseri. “Wah, boleh banget, tuh! Nanti aku sambut kau dengan ayam bakar khas buatanku, ya.” .
Aditya kemudian tertawa lepas. “Oke, kalau gitu, aku akan mengunjungimu minggu depan, ya, hahaha.”
Di tengah obrolan mereka, pandangan Indra tiba-tiba tertarik pada Sekar yang masih termenung di dalam kereta kudanya. Ia memandang gadis itu sejenak, lalu berbisik pada Aryandra dan Aditya. “Permisi sebentar, ya” Tanpa menunggu jawaban, ia segera berjalan mendekati Sekar.
Ketika sampai di belakang Sekar, Indra segera mencolek bahunya dengan sentuhan lembut. Sekar sempat terkejut, namun matanya segera berbinar saat melihat wajah pria yang pernah menyelamatkannya itu. “Indra?” Ujarnya dengan suara yang terengah kaget.
Indra lalu terkekeh, sambil menunjukkan senyumannya yang manis. “Sayang banget kita nggak bisa naik kuda bersama lagi, ya.” Ujarnya dengan sedikit niat untuk menjahili Sekar.
Ekspresi Sekar perlahan berubah menjadi murung. Ia baru menyadari bahwa setelah perjalanan pulangnya kali ini, tidak akan ada lagi tawa serta kebersamaan di atas punggung kuda milik Indra. “Iya, yah, sayang banget.” Jawabnya lirih dengan senyuman yang dipaksakan.
Indra menghela napas panjang dengan mata yang masih terpaku kuat pada wajah cantik di hadapannya. “Setelah sampai di Singaraja, aku akan memulai perjalananku untuk menjadi seorang pemimpin yang lebih baik dan bertanggung jawab. Aku yakin, pekerjaan itu pasti akan membuatku stres berat.” Ujarnya dengan nada bercanda untuk menarik kembali perhatian Sekar.
Ia kemudian berjinjit untuk mendekatkan wajahnya ke hadapan Sekar. “Karena itu, mungkin sesekali aku akan berkunjung ke Bangli, lalu berkuda lagi bersamamu untuk melepas penat.” Ucapnya menggoda Sekar hingga membuatnya tersipu.
Wajah Sekar langsung kembali ceria, dihiasi dengan rona merah muda di pipinya. “Baiklah! Pokoknya langsung datang aja kapanpun yang kau mau, ya!” Jawabnya dengan penuh semangat, sambil ikut mendekatkan wajahnya ke arah Indra. Gestur tubuh Sekar seolah mewakilkan ketidak sabarannya untuk menyambut kedatangan Indra di Bangli.
Aryandra dan Aditya, yang melihat dari kejauhan, hanya bisa melongo. Mereka bertukar pandangan karena sama-sama bingung bagaimana mereka berdua bisa menjadi sangat akrab. “Apa yang terjadi di antara mereka?” Gumam Aditya dengan senyuman tipis yang mengembang di bibirnya.
...***...
Sesaat setelah pasukan Bangli pergi, Alex dan Luthfi datang untuk menghampiri pimpinan masing-masing. Mereka menemukan Indra dan Aryandra masih berdiri di tempat yang sama dengan pandangan yang tertuju ke arah selatan, dimana pasukan Bangli telah menjadi titik-titik kecil yang hampir tak terlihat dari kejauhan.
“Indra, semuanya sudah siap.” Lapor Luthfi dengan suara tegas.
“Aryandra, kita sudah siap untuk berangkat.” Ucap Alex hampir bersamaan, membuat kedua ajudan itu saling memandang dengan tatapan sinis.
Indra dan Aryandra seketika tersentak karena baru menyadari kehadiran Alex dan Luthfi yang berada di belakang mereka. Keduanya menoleh dengan wajah yang masih terlihat sedikit melankolis setelah berpisah dengan pasukan Bangli.
“Ah, baiklah, tunggu sebentar.” Ucap Aryandra kepada Alex dengan suara lembut yang penuh wibawa. Ia kemudian menatap Indra dengan penuh rasa hormat untuk menyampaikan salam perpisahannya. “Sampai jumpa, Indra. Jangan ragu untuk main ke Badung kalau kau sempat.” Ujarnya sambil memberikan jabat tangan terakhir.
Indra lalu tersenyum, sambil menggenggam erat tangan Aryandra. “Sampai jumpa, Aryandra. Kau juga jangan ragu buat main ke Singaraja!”
...***...
Setelah mengucapkan salam perpisahan yang singkat, Indra segera kembali ke kamp Monasphatika bersama Luthfi. Mereka berdua berlari dengan sangat cepat, seakan membelah udara yang ada di hadapannya. Tak butuh waktu lama, mereka akhirnya tiba di lokasi dan langsung disambut oleh prajurit Monasphatika yang terlihat sudah tidak sabar untuk pulang.
“Lama banget, sih, Ndra. Kita semua udah nungguin, nih!” Protes Kiara dengan nada yang terdengar sedikit kesal.
Indra tertawa kecil sambil mencoba mengatur napasnya kembali. “Hahaha, maaf udah bikin kalian nunggu, ya.” Ujarnya sambil berjalan menuju kudanya yang terikat di pohon. Indra kemudian melepas tali kekangnya, lalu menaiki kuda itu dengan lincah.
Sebelum memberi perintah, Indra menatap seluruh pasukannya dengan penuh rasa bangga. Ia juga bersyukur karena tidak ada satupun dari mereka yang tewas dalam pertempuran kemarin. Hari-hari yang melelahkan telah mereka lalui bersama, dan sekarang adalah saatnya untuk pulang.
“Baiklah, semuanya!” Seru Indra tegas dan berwibawa seperti biasanya. “Ayo kita pulang ke rumah!”
...THE END...