My Princess

"Ak aku harus pergi."

Malik menatapnya tajam membuat tangan Cassie yang dipegang Malik terasa dingin.

"Kamu sakit?" tanya Malik jadi khawatir, kemudian dia teringat gerak ngga sempurna ketika.gadis ini berjalan.

Sekarang dia dapat merasakan rendahnya suhu tubuh gadis itu.

Cassie tertegun mendengar nada khawatir itu.

Dia ingat.

Oh ya, wajahnya, kan, sudah berubah, batin Cassie mulai merasa lega.

Tenang, Cassie. Tenang.

Cassie berusaha menenangkan kegugupannya, apalagi tatapan laki laki itu sangat tajam.

"Tidak. Aku sehat," bohongnya sambil menarik tangannya yang masih digenggam Malik.

Malik melepaskan pegangannya, dengan desiran perasaan terasa aneh ketika mendengar suara gadis di depannya.

Kenapa bisa sama? Warna suaranya juga, cara dia mengatur intonasi mengingatkannya pada Liliana.

Malik mengulurkan tangannya tanpa ragu.

"Aku Malik. Siapa namamu?"

Dengan ragu Cassie menyambut tangan itu.

"Cassie."

Malik tanpa sadar mengeratkan genggamannya. Dadanya berdebar aneh.

"Ak aku harus pulang." Cassie mulai merasa resah.

"Oh iya." Baru kali ini Malik merasa salah tingkah. Dia hanya ingin memastikan sesuatu yang ada di hatinya.

Kenapa gadis ini mengingatkannya pada Liliana?

Hampir saja Malik memukul kepalanya.

Gadis itu sudah tiada!

Bahkan baru kemaren dia kunjungi makamnya.

"Kenapa kamu ke sini?" Malik menahan pintu mobil Cassie.

"Ak aku mengenal cucunya,"

bohong Cassie lagi. Tatapan laki laki ini sangat mengintimidasi.

Apalagi yang bisa dia katakan di situasi sulit begini?

"Kamu mengenal Liliana?" Mata elang Malik tambah menyorot tajam.

"Ya."

Tentu saja. Itu dirinya.

"Ooh....."

Cassie menolak kontak mata dengan Malik. Karena tiap.dia menatap mata elang itu, dia merasa ada yang aneh pada dirinya.

"Ak aku harus pergi." Cassie ngga ingin laki laki ini berubah pikiran dan meno dainya seperti dulu lagi. Apa lagi sampai menembaknya. Kata kata omanya terngiang ngiang lagi di telinganya.

"Oh iya..... Silakan."

Malik bahkan membantu menutupkan pintu mobilnya

Cassie langsung menghembuskan nafas lega begitu taksi onlinenya sudah melaju pergi.

Saat Cassie menoleh, dia terkesiap, Malik masih menatapnya dengan kedua tangan berada di saku celananya.

*

*

*

Dante yang mendapat kiriman video dari pengawalnya, mengamati para tamu yang hadir dengan acuh tak acuh.

"Selidiki orang orang itu, siapa mereka, ada hubungan apa dengan kakek nenek itu," perintahnya melalui ponsel.

"Siap, tuan."

Dia yakin diantara orang orang yang datang berkunjung itu pasti ada yang sudah menutupi jejak kematian adiknya.

*

*

*

Saat Cassie sudah tiba di parkiran hotel, dia terkejut melihat kehadiran pengawalnya tadi

"Nona muda dari mana?" tanyanya berbasa basi. Untuk mengetes kejujuran nonanya

Beberapa pengawalnya yang ada di rumah opa dan oma nonanya melihat keberadaan nonanya di sana.

"Aku ke rumah oma.dan opa."

Pengawal itu tersenyum simpul.

"Nona, ikutin saya." Dia membuka pintu mobil buat nonanya.

Cassie menurut saja. Sejauh ini yang bisa dia percayai hanya para pengawalnya saja.

"Opa dan oma anda sudah mendirikan restoran untuk anda. Ada bisa mengelolanya sebagai aktivitas sehari hari."

"Namamu siapa?' Cassie merasa aneh saja dia ngga tau nama nama pengawal yang cukup sering berinteraksi dengannya.

Pengawal itu tersenyum lagi.

"Nama saya Harsa. Ini Pak Cipto. Kami sudah lama bekerja dengan opa oma anda, nona."

"Ooh....."

"Nanti yang akan menjadi pegawai restoran adalah para pengawal, nona. Termasuk pengawal orang tua nona."

Cassie menutup mulutnya karena kaget

Mereka mau bekerja sebagai pelayan?

"Restoran nona ada tiga. Ketiganya restoran makanan Jepang, nona."

Cassie ngga menyela, sibuk menyimak.

"Kita akan berkamuflase menjadi orang biasa sekalian menyelidiki siapa yang sudah membuat nyonya dan tuan besar tiada."

Dada Cassie sesak saat mendengarnya.

Siapa, ya, mereka. Mereka terlihat sangat membenci keluarganya.

Mereka pun tiba di sebuah mall megah.

"Salah satu restoran nona berada di sini."

Cassie ngga berkata apa apa. Dia hanya mengikuti apa saja yang dikatakan oleh pengawal oma opanya.

Yang membuat Cassie sedih, oma opanya sudah merencanakan sedetil mungkin untuk masa depannya.

*

*

*

Cassie tersenyum tipis melihat para pengawalnya dengan luwes melayani pembeli di restoran Jepang yang dia datangi.

Saat melihatnya, mereka mengangguk hormat.

Cassie mulai mengamati sekitar dengan teliti. Dia mendekati meja kasir.

"Ngga ada masalah?"

"Tidak ada, nona....," senyum gadis muda itu sangat hormat

Cassie tersenyum.

Harsa-pengawalnya membawanya ke sebuah ruangan.

"Ini ruangan kerja anda."

Cassie masuk ke dalam ruangan itu sambil memperhatikan seisi ruangan yang tampak klasik dan elegan.

Dia menyentuh meja penuh ukiran itu. Ada laptop dan banyak berkas berkas laporan di sana.

Cassie yakin, restoran makanan Jepang ini pasti sudah jalan cukup lama. Melihat pengunjungnya yang rame, pasti makanannya enak dan promosinya sangat menarik.

"Restoran ini, sejak kapan ada?"

"Dua minggu yang lalu, nona. Kami mendapatkan produsen dengan harga yang bagus hingga kita bisa menjualnya dengan harga yang kompetitif."

Cassie tersenyum. Dia melihat kertas kertas yang ada di sana. Berisi laporan penjualan dan targetnya.

Tapi rasanya ada yang aneh. Dia merasa ini bukan passionnya.

Cassie juga ngga tau mengapa dia merasa begitu.

"Kita akan mengunjungi dua restoran yang lainnya, nona."

"Oke."

Hari ini Cassie habiskan waktunya dengan melihat restoran restoran yang didekasikan oma opa untuknya.

Tugasnya ngga akan terlalu berat karena restoran restorannya sudah memiliki tim manajemen yang bagus.

*

*

*

"Gadis itu siapa?"

Malik yang masih termangu menatap mobil yang membawa gadis itu pergi menoleh saat mendengar suara daddynya menegur.

"Katanya teman cucunya," jelas Malik apa adanya.

"Ooh.... Kirain daddy teman kamu," senyum Fazza setengah menyindir. Dia memperhatikan saat putranya masih ngga beranjak dari sana, padahal mobil itu sudah cukup lama menghilang

Sayangnya Fazza tidak sempat memperhatikan wajah gadis itu.

"Dia mengingatkanmu dengan seseorang, heh?" kekeh Fazza getir.

Malik menimpali kekehan daddynya.

"Bagaimana kencan tadi? Kalo kamu ngga suka, ngga akan daddy paksa."

"Biasa saja, dad. Namanya juga baru sekali bertemu."

Fazza menepuk pundak Malik perlahan.

"Oke. Tapi kamu bebas menolaknya. Daddy hanya ngga ingin kamu jadi pekerja yang ngga kenal waktu dan perempuan."

"Bukannya kamu juga dulu begitu, Fazz?" sela Jeff tertawa, membela Malik.

Malik juga tertawa. Dia juga tau kalo daddynya gila kerja sama sepertinya sekarang.

"Mamimu dulu teman tantemu saat SMA yang sering nginap di rumah. Kalo ngga gitu, daddymu ngga bakal nikah nikah," tawa Jeff agak tertahan saat membongkar ulang hal yang sudah bukan rahasia lagi.

(cerita Fazza bisa dibaca di novel my baby girl😅)

"Jangan ketawa di tempat begini. Ngga sopan," larang Fazza acuh.

Untung mereka berada beberapa meter di luar area pemakaman.

"Ya, ya." kekeh Jeff masih tetap dengan volume suara yang tertahan.

Malik berusaha meredakan kekehannya.

Memang ngga sopan tertawa di tempat peristirahatan terakhir, walaupun mereka sedang membahas hal lain.

■

■

Beberapa bab masih slow dulu, ya....♡♡