My Sexy Little Wife

Naomi yang sedang melamun terlonjak mendengar panggilan yang berasal dari luar. 

“Kenapa dia berteriak? Bukannya aku sudah melayaninya dengan baik? Seharusnya dia senang dan tidur nyenyak, kan?” 

Naomi membenarkan jubah mandi yang membalut tubuhnya, lalu beranjak dari kamar mandi. Melihat Adrian menggenggam ponselnya, ia sudah menebak bahwa pria itu baru saja memeriksanya. 

“Apa ini?” Adrian memperlihatkan layar ponsel di mana tertera nama kontak ‘Savage Husband’. 

Adrian yang masih melayangkan tatapan menuntut membuat Naomi meraba tengkuknya. Bola matanya memutar seperti sedang mencari sebuah alasan. 

“Apa Anda tidak sadar kalau memeriksa barang pribadi orang lain itu tidak sopan?” 

Gelak tawa pasti sudah menyembur dari mulut Adrian jika saja tidak dalam posisi sedang menuntut jawaban dari istrinya. Kelakuan Naomi ada saja yang membuatnya ingin selalu menjahilinya. Terbukti, kini wanita itu sedang berusaha mencari pembenaran untuk menyelamatkan diri. 

“Aku tidak sopan? Coba lihat kelakuanmu sendiri! Apa kamu sedang menghinaku dengan memberi nama ini?” 

Naomi terdiam selama beberapa detik. Sesekali tampak merapikan rambutnya yang berantakan. “Aku tidak menghina, sungguh! Bukankah itu memang julukan yang sangat cocok untuk kepribadian Anda, Tuan?” 

“Julukan yang cocok? Jadi bagimu aku sangat kejam, ya?” Adrian mulai menunjukkan raut wajah yang tak bersahabat.

“Kamu kan memang kejam memperlakukanku. Buktinya kamu selalu mengancam akan mengembalikanku pada Madam Leova. Apa kamu tidak tahu kalau mendengar namanya saja sudah membuatku gemetar? Aduh, kenapa hatiku sakit sekali memikirkannya? Apa seperti ini rasanya hidup di bawah ancaman orang?” 

Namun, kalimat panjang itu hanya ia ucapakan dalam hati. Lagi pula Adrian hanya menganggapnya boneka dan tak akan peduli apapun yang dipikirkannya.

Entah tebakan Adrian benar atau tidak. Untuk pertama kali ia melihat wajah Naomi yang tiba-tiba murung. Adrian beranjak dari tempat tidur dan mendekati Naomi. 

“Sudahlah. Aku tidak akan mempermasalahkan kamu mau menyimpannya dengan nama apapun. Tidurlah, ini sudah malam.” 

Setelahnya, Adrian memakai piyama yang tadi telah disiapkan oleh Naomi. Lalu, beranjak keluar dari kamar.

Tinggallah Naomi seorang diri dengan pikiran yang melayang.

“Mungkin bagimu aku hanya budak tubuhmu. Begitu kamu mengembalikanku pada Madam Leova, kamu akan mudah mendapatkan wanita lain yang sesuai seleramu. Tapi apa yang akan terjadi padaku? Aku akan digilir oleh laki-laki yang berbeda setiap malamnya.” 

.

.

.

Pagi ini Naomi bangun lebih awal dan memilih berjalan-jalan di taman belakang rumah yang hijau dan asri. Ia perlu udara segar untuk mengembalikan tenaganya yang diserap habis oleh Adrian. 

“Setidaknya aku harus bekerja untuk melunasi hutang atas pembelian tubuhku pada Tuan Adrian. Setelah itu mungkin aku akan bebas. Tapi di mana aku bisa bekerja?” 

Naomi tenggelam dalam pikirannya sendiri. Menatap langit seolah mencari jalan keluar dari sana. 

“Apa kamu pikir sudah mendapatkan Adrian sepenuhnya?” Suara sarkas itu berhasil membuyarkan lamunan Naomi. Seketika ia menoleh, tampak mertuanya sedang berdiri tak jauh darinya, dengan bonus tatapan permusuhan. 

“Selamat pagi, Bu,” sapa Naomi langsung berdiri dari dudukny. Ia masih berusaha untuk sopan meskipun sang mertua menunjukkan ketidaksukaannya.

“Tidak usah bertingkah seperti kamu benar-benar menantu yang diterima di rumah ini. Asal tahu saja, aku tidak akan pernah bisa menerimamu menjadi bagian dari keluarga Marx.” 

Naomi menerbitkan senyum tipis. “Ibu mertua punya masalah hidup apa? Apa Ibu kurang bahagia?” 

“Kamu berani menjawabku?” tanyanya dengan raut muka menahan amarah.

“Bukan berani tapi sedang bertanya. Ibu bilang aku tidak layak berada di tengah keluarga Marx? Aku sangat sadar. Tapi bukan aku yang mau ada di sini. Anak Ibu lah yang telah membawaku ke dalam hidupnya.” 

“Jadi maksudmu Adrian yang menginginkanmu, begitu? Apa kamu pikir aku akan percaya semudah itu?” 

Suasana semakin memanas. Tangan Ibu mertua bahkan sudah terkepal di bawah sana. Tetapi Naomi tak begitu peduli.

“Kalau tidak percaya kenapa tidak tanyakan pada Tuan Adrian sendiri? Apa Ibu pikir aku senang tinggal di sini? Sama sekali tidak.” 

Jawaban yang diberikan Naomi justru semakin melecut amarah Ibu mertuanya itu.

.

.

.