Jangan lupa follow Author yaaaaa!!!!!!!
Hidup Kayla yang awalnya begitu tenang berubah ketika Ayahnya menjodohkannya dengan seorang pria yang begitu dingin, cuek dan disiplin. Baru satu hari menikah, sang suami sudah pergi karena ada pekerjaan mendesak.
Setelah dua bulan, Kayla pun harus melaksanakan koas di kota kelahirannya, ketika Kayla tengah bertugas tiba-tiba ia bertemu dengan pria yang sudah sah menjadi suaminya tengah mengobati pasien di rumah sakit tempat Kayla bertugas.
Bagaimana kelanjutannya? Bagaimana reaksi Kayla ketika melihat suaminya adalah Dokter di rumah sakit tempatnya bertugas? Apa penjelasan yang diberikan sang suami pada Kayla?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon elaretaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terima Kasih
Tiga jam terasa hanya seperti kedipan mata, alarm ponsel Kayla menjerit nyaring, memaksa kesadarannya kembali dari alam mimpi yang singkat. Kayla pun mau tidak mau harus bangun dan ketika bangun, ia merasakan beban di pinggangnya, saat Kayla menoleh ke samping, ia mendapati lengan kokoh Arthur masih melingkar pada tubuhnya.
Arthur terbangun tepat saat Kayla bergerak, pria itu tidak langsung melepaskan pelukannya, ia justru mengeratkan dekapannya sejenak sebelum akhirnya bangkit dengan wajah yang tampak segar seolah ia tidak baru saja terjaga sepanjang malam.
"Bangun, mandi air hangat agar ototmu tidak kaku. Aku tunggu di meja makan sepuluh menit lagi," ucap Arthur yang kembali ke mode komandonya seperti biasanya.
Sesampainya di rumah sakit, suasana kembali sibuk. Namun, ada yang berbeda, Kayla tidak lagi berjalan dengan kepala tertunduk. Meskipun masih ada bisik-bisik, ia tetap berdiri tegak di samping Arthur saat morning report.
"Hari ini ada jadwal Craniotomy untuk pasien tumor otak yang sempat tertunda. Kayla, kau tetap asisten pertama, jangan buat masalah lagi," ucap Arthur di depan seluruh tim bedah saraf.
Jihan yang berdiri di barisan belakang memberikan kepalan tangan tanda semangat, sementara Kayla hanya mengangguk mantap.
Di dalam ruang operasi, suasana kembali dingin dan hening. Arthur bekerja dengan mikroskop bedah, sementara Kayla fokus pada suction dan membantu navigasi alat.
Kali ini, tidak ada tangan yang gemetar, nasihat Arthur semalam dan latihan menjahit di IGD pukul dua pagi seolah tertanam di memori otot tangannya.
Empat jam berlalu, operasi dinyatakan sukses. Saat mereka sedang mencuci tangan di wastafel bedah, Arthur melirik Kayla dari balik masker bedahnya yang sudah diturunkan.
"Kerja bagus," ucap Arthur singkat dan meninggalkan Kayla.
Hanya dua kata, tapi bagi Kayla, itu jauh lebih berharga daripada piala mana pun. "Bagus, Kayla. Kamu hebat, kamu dapat pujian dari Dokter Kulkas itu," gumam Kayla yang begitu bangga pada dirinya sendiri.
Pujian singkat dari Arthur membuat suasana hati Kayla berbunga-bunga sepanjang sisa hari itu, saat sedang merapikan beberapa berkas di nurse station, seorang koas laki-laki bernama William menghampirinya, William memang dikenal cukup ramah dan sering menjadi idola di kalangan perawat karena wajahnya yang rupawan.
"Kayla, kamu hebat banget ya tadi di OK. Aku dengar dari Jihan kamu dapat pujian langsung dari Dokter Arthur? Itu langka banget tau," ucap William sambil memberikan sebuah kaleng kopi dingin kepada Kayla.
"Eh, iya Will. Kebetulan aja tadi semuanya lancar," ucap Kayla.
"Habis ini ada jadwal lagi? Kalau nggak, bareng yuk ke kantin. Aku mau tanya-tanya soal teknik suction yang kamu pakai tadi," ajak William dengan nada bicara yang cukup akrab, bahkan ia sempat menyentuh bahu Kayla sekilas.
Tanpa mereka sadari, Arthur berdiri tidak jauh dari sana, matanya menyipit tajam melihat tangan William yang hinggap di bahu istrinya, aura di sekitar Arthur mendadak turun drastis, lebih dingin dari biasanya.
"Dokter Muda William," suara bariton Arthur menginterupsi yang membuat William tersentak dan langsung menarik tangannya.
"I-iya, Dokter Arthur?" jawab William.
Arthur melangkah mendekat dengan tangan di dalam saku jas putihnya, ia menatap William seolah-olah koas itu adalah bakteri yang perlu dibasmi. "Sepertinya anda punya banyak waktu luang sampai bisa bersantai di sini," ucap Arthur.
"Maaf Dok, saya baru saja selesai observasi bangsal," jawab William gugup.
Arthur mendengus pelan, "Kalau begitu, sepertinya anda butuh lebih banyak tantangan. Dokter Bian baru saja melaporkan ada tumpukan rekam medis pasien lima tahun terakhir yang perlu di-input ulang ke sistem digital. Saya rasa anda orang yang tepat untuk menyelesaikannya. rekam medisnya ada di ruang arsip lantai bawah," ucap Arthur.
"Tapi Dok, itu kan jumlahnya ribuan...," ucapan William terhenti lantaran Arthur yang menyelanya.
"Ada masalah?" tanya Arthur dengan satu alis terangkat dan tatapannya sangat mengintimidasi.
"Ti-tidak Dok. Baik, saya laksanakan," ucap William pasrah.
William melirik Kayla dengan tatapan minta tolong lalu bergegas pergi menuju ruang arsip yang dingin dan membosankan itu.
Kayla yang melihat kejadian itu hanya bisa melongo, setelah William pergi, Arthur beralih menatap Kayla.
"Dan kau, jangan terima pemberian dari sembarang orang. Kita tidak tahu apakah kopi itu sudah kadaluwarsa atau tidak. Masuk ke ruanganku, ada literatur yang harus kau rangkum," ucap Arthur
"Ini baru kok, Dok," ucap Kayla.
Arthur tidak menjawab, ia hanya berbalik dan berjalan pergi. Namun, di dalam hatinya, Arthur merasa puas karena berhasil menyingkirkan gangguan itu. Arthur tidak akan membiarkan siapa pun menyentuh miliknya bahkan dengan alasan diskusi medis sekalipun.
Keadaan santai di lorong rumah sakit itu mendadak sirna ketika alarm Code Blue bergema di seluruh penjuru gedung, disusul suara sirine ambulans yang meraung-raung di depan pintu IGD.
Kabar menyebar cepat, terjadi kecelakaan beruntun di jalan tol yang mengakibatkan puluhan korban jiwa dan luka berat. Arthur, yang tadinya baru saja ingin menginterogasi Kayla di ruangannya, langsung memutar balik langkahnya.
Ekspresinya berubah total, rahangnya mengeras dan matanya memancarkan fokus yang mematikan. "Kayla, lupakan literatur itu, ikut saya ke IGD sekarang!" perintah Arthur tanpa menoleh.
Begitu mereka sampai, IGD sudah seperti medan perang, bau amis dar*h menyengat udara, perawat berlarian, suara teriakan kesakitan terdengar di mana-mana.
"Dokter Arthur! Pasien di bed 3 trauma kepala berat, GCS 5, pupil anisokor!" teriak seorang residen.
Arthur langsung menerjang ke arah pasien tersebut, ia melakukan pemeriksaan kilat dengan gerakan yang sangat efisien. "Siapkan manitol! Kita harus segera melakukan dekompresi, Kayla pasang monitor dan bantu intubasi, cepat!" perintah Arthur.
Kayla sempat terpaku melihat banyaknya darah, namun suara bentakan Arthur mengembalikannya ke realita. "Jangan melamun! Pasien ini tidak punya waktu untuk menunggumu siap!" bentak Arthur.
Kayla segera bergerak, ia mengabaikan rasa ngerinya dan fokus pada instruksi Arthur. Selama berjam-jam, mereka terjebak dalam pusaran kegawatdaruratan. Arthur tampak sangat sibuk, di mana ia berpindah dari satu pasien ke pasien lain, memberikan instruksi cepat, melakukan tindakan darurat hingga menjahit luka-luka yang menganga lebar.
Di tengah kekacauan itu, Kayla sempat mencuri pandang ke arah suaminya. Jas putih Arthur kini sudah penuh dengan noda dar*h dan keringat, rambutnya yang biasa rapi kini berantakan. Namun, di mata Kayla, Arthur terlihat begitu mempesona dengan dedikasinya yang tanpa batas untuk menyelamatkan nyawa.
Saat Arthur sedang menjahit luka di lengan seorang pasien, keringat menetes dari dahi hingga hampir masuk ke matanya. Karena tangannya sedang memakai sarung tangan bedah yang steril, ia tidak bisa mengusapnya.
Arthur mengerang pelan karena pandangannya terganggu, Kayla yang baru saja selesai memasang infus di bed sebelah dan melihat hal itu pun tanpa pikir panjang mengambil selembar tisu bersih dan mendekat.
"Diam sebentar, Dok," bisik Kayla pelan.
Kayla mengusap keringat di dahi dan pelipis Arthur dengan sangat lembut, gerakan itu membuat Arthur sempat terhenti menjahit selama dua detik.
Arthur menatap mata Kayla dari balik maskernya, ada kilatan aneh yang melintas di mata dingin itu, sesuatu yang lebih hangat dari biasanya.
"Terima kasih," gumam Arthur sangat rendah bahkan hampir tak terdengar di tengah kebisingan IGD sebelum ia kembali fokus pada jahitannya.
.
.
.
Bersambung.....