“Kalau kamu nggak pulang sekarang, mama nggak main-main Syas. Mama akan jual kamu!”
Mata Syanas membelalak, tapi lebih karena terkejut mendengar nada serius ibunya dari pada isi ancaman itu sendiri. “Jual aku? Serius Ma? Aku tuh anak mama loh, bukan barang yang bisa dijual seenaknya.”
“Oh, kamu pikir mama nggak bisa?” balas Rukmini, suara penuh ketegasan. “Mama akan jual kamu ke Gus Kahfi. Dia anak teman almarhum papa kamu, dan dia pasti tau cara ngurus anak bandel kayak kamu.”
Syanas mendengar nama itu dan malah tertawa keras. “Gus Kahfi? Mama bercanda ya? Dia kan orang alim, mana mungkin dia mau sama aku. Lagian, kalau dia beneran mau dateng ke sini jemput aku, aku malahan seneng kok Ma. Coba aja Ma siapa tau berhasil!”
Rukmini mendesah panjang, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, menutup teleponnya. Syanas hanya mengangkat bahu, memasukkan ponselnya ke saku lagi. Ia tertawa kecil, tak percaya ibunya benar-benar mengucapkan ancaman itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch ~
Khairah, Dewi, dan Syanas melangkah masuk ke ruangan lain, di mana ruangan itu luas, dengan desain interior yang didominasi warna netral dan pencahayaan lembut.
Suasana formal begitu kental di dalamnya. Sejumlah lelaki bersetelan muslim duduk berkelompok, larut dalam diskusi yang terdengar serius.
Beberapa perempuan berhijab tampak sibuk mencatat sesuatu dengan teliti, seolah tak ingin melewatkan satu detail pun dari pertemuan ini.
Namun, di antara semua kesibukan itu, perhatian Syanas segera tertuju pada satu sosok di tengah ruangan, Kahfi.
Lelaki itu berdiri tegap dengan satu tangan terselip di saku celana, ia berbicara dengan nada tenang. Ada sesuatu yang berbeda dalam caranya berdiri, dan berbicara.
Bukan lagi lelaki yang ia kenal sebagai sosok menyebalkan yang suka melontarkan kata tajam. Hari ini, ia memancarkan kewibawaan yang sulit diabaikan.
Saat mata mereka bertemu, waktu seolah melambat.
Obrolan yang sebelumnya ramai perlahan mereda, seakan kehadiran Syanas membawa atmosfer baru yang membuat orang-orang ingin tahu.
Sebagian hanya melirik sekilas sebelum kembali pada pekerjaan mereka, tetapi beberapa lainnya menatap dengan terang-terangan, penuh rasa penasaran yang tak disembunyikan.
“Ini istriku Syanas,” ucap Kahfi singkat dan tegas.
Efeknya langsung terasa. Tak ada tatapan menghakimi, tak ada bisik-bisik mencurigakan. Yang ada justru sebaliknya, rasa ingin tahu yang bercampur dengan sikap hormat.
Syanas bisa merasakan berbagai pasang mata kini menelusuri dirinya, mengamatinya, menilai siapa ia dan mengapa Kahfi memperkenalkannya dengan begitu pasti.
Seakan pernyataan itu bukan sekadar informasi, tetapi semacam deklarasi yang menegaskan posisinya di hadapan semua orang.
Perlahan Syanas menyapu pandangannya ke seluruh ruangan. Semua yang ada di sini tampak terbiasa menerima arahan dari Kahfi. Bahkan lelaki yang tadi bersamanya di dalam lift yang sempat berbicara dengan nada sedikit rileks, kini duduk dengan postur sedikit menunduk. Sebuah sikap hormat yang tak perlu dijelaskan lebih lanjut.
Siapa sebenarnya Kahfi? Apakah ia pemilik tempat ini?
Apakah ia orang yang jauh lebih berpengaruh dari pada yang selama ini Syanas bayangkan?
Sebelum Syanas sempat menemukan jawaban atas pertanyaannya sendiri, Khairah melangkah maju. Gerakannya tenang, senyumnya terjaga, dan saat ia berbicara, suaranya terdengar lembut tetapi penuh perhitungan. “Gus, saya ingin menyampaikan satu hal.”
Khairah melirik Syanas sekilas sebelum melanjutkan.
“Mbak Syanas memiliki potensi besar sebagai model tren terbaru untuk koleksi kita.”
Dewi yang sejak tadi berdiri di samping Khairah segera menimpali dengan antusias. “Iya Gus! Mbak Syanas itu sudah dikenal di media sosial, meskipun sekarang akunnya sudah dihapus... sih.”
Sekilas ia melirik Syanas sebelum melanjutkan dengan nada yang lebih bersemangat. “Tapi daya tariknya tetap ada! Kami yakin koleksi terbaru kita akan lebih mudah lagi diterima jika mbak Syanas yang mengenakannya.”
Sejenak ruangan terasa lebih sunyi. Bukan dalam arti benar-benar hening, tetapi ada ketegangan samar yang merayap, meskipun Khairah dan Dewi berusaha menjaga nada bicara mereka tetap terkendali.
Syanas sendiri tak tahu harus bereaksi seperti apa. Di satu sisi, dorongan untuk menolak langsung muncul dalam benaknya. Tetapi di sisi lain, rasa ingin tahu membuatnya enggan mengambil keputusan terburu-buru.
Bagaimana Kahfi akan menanggapi usulan ini?
“Buatkan yang saya kirim saja dulu.” suaranya stabil. Tidak terdengar tertarik, tetapi juga tidak terdengar benar-benar menolak.
Khairah sedikit mengernyit sebelum bertanya dengan hati-hati.
“Jadi… Gus menyetujuinya atau nggak?”
Alih-alih langsung menjawab, Kahfi mengalihkan pandangannya pada Syanas.
Tatapan itu bertahan lebih lama dari yang seharusnya. Seolah ia sedang menilai. Seolah ia sedang mempertimbangkan sesuatu yang belum ingin ia katakan.
Syanas menelan ludah. Ia tidak suka dipandangi seperti ini, seakan dirinya sedang diuji untuk sesuatu yang bahkan ia sendiri tidak pahami sepenuhnya.
“Untuk saat ini belum bisa karena saya dan Syanas harus pergi ke sebuah tempat dan tinggal di sana untuk sementara waktu. Belum tau kapan kami akan kembali. Tapi kalian nggak perlu khawatir, satu bulan sekali saya akan datang ke sini untuk pengecekan pengeluaran, maupun pemasukan,” jawab Kahfi setelah beberapa detik yang terasa panjang.
Syanas menoleh dengan alis bertaut. Jika Kahfi sampai harus datang setiap satu bulan sekali untuk mengecek pengeluaran, bukankah itu berarti lelaki ini memang pemilik butik ini?
Jadi Kahfi itu kaya?
Khairah menarik napas pelan. “Gus, keputusan ini nggak hanya menyangkut pribadi Gus saja. Ini menyangkut banyak orang. Saya harap Gus mempertimbangkannya kembali.”
Nada bicaranya berbeda. Ini bukan hanya suara seorang bawahan yang meminta pertimbangan atasannya. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang terasa lebih akrab, lebih personal.
Seolah mereka berbagi sesuatu yang lebih dari sekadar urusan pekerjaan.
Namun, Kahfi tetap tak bergeming. Tatapannya dingin, dan posisinya tak berubah sedikit pun.
“Aku sudah mempertimbangkannya.” suaranya tetap tenang, tetapi ada ketegasan di sana. “Aku nggak mau membahas ini lagi.”
Sekilas, rahang Khairah tampak mengencang.
Tapi ia tidak berkata apa-apa. Detik berikutnya ia menghela napas panjang, seakan menekan sesuatu yang ingin ia ucapkan.
“Tapi Gus, bukankah ini juga tentang janji yang Gus buat?” suaranya kali ini lebih pelan, lebih pribadi.
Syanas menyipitkan mata, menangkap perubahan halus di wajah Kahfi. Dan di sana, sesaat, hanya sesaat, ia melihat sesuatu dalam sorot mata lelaki itu.
Namun, momen itu cepat berlalu. Kahfi menarik napas dalam. “Jangan mengungkit hal yang nggak perlu.”
Tatapan Khairah menajam. Namun, ia tak lagi membantah.
Dewi yang sejak tadi hanya menjadi penonton setia, akhirnya bersuara dengan nada ceria, seolah ingin mengusir ketegangan di ruangan.
“Y-yaudah deh, kalau Gus belum setuju sekarang, kita siapkan dulu aja ya?”
Kahfi hanya mengangguk. Tetapi sorot matanya tetap bertahan pada wajah Khairah, seakan memberi peringatan yang tak terucap.
Syanas menekan senyum miring. Ada sesuatu di antara mereka. Itu jelas. Dan meskipun ia tidak peduli, bukan berarti ia tidak bisa menikmati momen ini.
Melihat seorang perempuan yang tampaknya memiliki andil besar dalam hidup Kahfi harus menahan diri di hadapan lelaki itu. Rasanya cukup menghibur.
Karena bagi Syanas, ia dan Kahfi hanya terikat satu tahun. Jadi kalau lelaki itu punya masa lalu dengan perempuan lain? Bukan urusannya.
Syanas melirik sekilas ke arah Khairah yang masih berdiri di tempatnya, tak banyak bergerak, tapi jelas ada sesuatu yang berkecamuk dalam pikirannya.
Sorot matanya masih terpaku pada Kahfi, seolah berharap lelaki itu akan mengubah keputusannya dalam hitungan detik.
Tapi tidak. Kahfi sudah mengambil keputusan, dan ia bukan tipe orang yang mudah digoyahkan.
Bahkan saat suasana di ruangan mulai mencair dan orang-orang kembali fokus pada pekerjaan masing-masing, Khairah masih diam di tempatnya, hanya menutup buku catatannya pelan sebelum akhirnya kembali menatap Kahfi dengan ekspresi yang sulit ditebak.
"Kalau begitu, saya anggap keputusan Gus sudah final?" tanyanya dengan nada netral, tetapi ada ketegangan samar di sana.
Kahfi hanya mengangguk singkat. “Kalian bisa lanjutkan pekerjaan kalian.”
Dewi yang masih berusaha mencairkan suasana tersenyum kecil. “Baik Gus! Kalau ada perubahan pikiran, kami siap kok.”
Syanas memperhatikan interaksi itu tanpa bersuara. Namun, di dalam kepalanya, ia bertanya-tanya. Seberapa dalam sebenarnya hubungan antara Kahfi dan Khairah?
Ada sesuatu di sana, sesuatu yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Namun sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, Kahfi menoleh pada Syanas. “Ayo.”
Tanpa menunggu jawaban, lelaki itu melangkah pergi dengan tenang.
Syanas menghela napas pelan sebelum menyusulnya. Langkahnya sedikit ragu, tetapi ia tetap mengikuti Kahfi keluar dari ruangan itu.
hidup ini indah le
🧕: ubur-ubur ikan lele
iya..kalo ada kamu le
othor : ubur-ubur ikan lele
kagak jelas le..