Iva merupakan anak dari pengusaha yang kaya raya. Dia justru rela hidup susah demi bisa menikah dengan lelaki yang di cintainya. Bahkan menyembunyikan identitasnya sebagai anak dari turunan terkaya di kota sebelah.
Pengorbanannya sia-sia karena ia di perlakukan buruk bukan hanya oleh suami tapi juga oleh ibu mertuanya.
Di jadikan sebagai asisten rumah tangga bahkan suami selingkuh di depan mata.
Iva tidak terima dan ia membuka identitas aslinya di depan orang-orang yang menyakitinya untuk balas dendam.
Lantas bagaimana selanjutnya?
Yuk simak kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nonny, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 30
Amarah Bela sudah tidak dapat di kendalikan, dengan gerak cepat ia menghampiri Bibi dan melayangkan tangannya tapi di cekal oleh Ben. Napas Bela semakin memburu, dadanya naik turun tidak beraturan, matanya melotot ke arah Bibi kemudian beralih menatap ke arah Ben. "Mas, kenapa membelanya sih? Dia itu cuma b@bu sedangkan aku sudah menjadi adikmu. Dia itu...
"Cukup, Bela!"
Ben menepis cekalan tangannya.
"Kamu pikir di rumah ini tidak ada CCTV? Setiap sudut ruangan aku pasang CCTV. Bahkan setiap kamar, aku lengkapi dengan CCTV termasuk kamar tamu yang kamu tempati saat ini. Benar atau tidaknya apa yang dikatakan oleh Bibi, bisa kita cek di ponselku yang terhubung dengan rekanan video CCTV. Tapi aku yakin Bibi tidak berbohong karena dia bekerja denganku dari aku masih bayi. Beda denganmu, aku bertemu denganmu belum lama itu pun karena kebaikan Mamah mengangkatmu menjadi anak."
Ben segera meraih ponsel yang ada di dalam saku bajunya untuk mengetahui kebenaran yang sedang di permasalahkan oleh Bela.
"Kamu lihat, apa yang Bibi katakan benar! Disini justru kamu yang berbohong. Benar juga yang dikatakan oleh Bibi, kamu itu seperti maling. Untuk apa ingin masuk ke kamarku, hah? Cepat katakan! Mengenai percakapanmu di telepon, aku tidak peduli. Tapi tindakanmu yang diam-diam mau masuk ke kamarku, ini tidak bisa di tolerir sama sekali. Jangan diam saja, katakan apa yang kamu cari di dalam kamarku, hah?" bentak Ben lantang sembari menatap tajam ke arah Bela sembari mendengus kesal dan terdengar suara gemertak giginya yang menandakan dia begitu murka.
Lidah Bela terasa tercekat, bibirnya bungkam, tubuhnya mendadak gemetar. Keringat dingin mengucur deras dari tubuhnya. Ia sama sekali tidak menyangka jika di rumah tersebut begitu banyak terpasang CCTV. "Tidak mungkin, padahal setahuku rumah Tante tidak ada CCTV. Aduh, gawat jika sudah seperti ini aku harus beralasan apa ya?" batin Bela sembari berusaha menyembunyikan kepanikannya supaya Ben tidak curiga.
"Kenapa, takut? Wajahmu memerah gemetaran seperti melihat hantu setelah aku perlihatkan rekaman video CCTV. Apa yang ingin kamu cari di dalam kamarku, Bela? Oh aku tahu, kamu mengecek keadaan dengan berpura-pura meneleponku. Setelah tahu aku tidak akan pulang, kamu ingin menyelinap masuk ke dalam kamarku? Katakan apa yang sebenarnya ingin kamu cari di dalam kamarku!" bentak Ben seraya menatap tajam ke arah Bela.
Terlihat jelas amarah Ben yang begitu membuncah. Ia mendekati Bela hingga kini tidak ada jarak yang mengikis diantara keduanya. Bela kini benar-benar tidak bisa mengendalikan diri, hingga tanpa sadar ia memundurkan tubuhnya. Tatapan ketakutan terpancar jelas dari pelupuk wajah Bela. Bibirnya masih saja bungkam tak bisa membalas perkataan Ben. Ia hanya bisa menelan salivanya begitu kasar.
------------
POV BELA
Aku berencana untuk masuk ke kamar Mas Ben lagi karena aku sangat yakin dia tidak akan pulang lagi. Ya untuk mengurus jenazah Tante Diajeng. Satu masalah telah aku selesaikan dengan cepat. Ternyata pemulung itu benar-benar bergerak cepat. Aku sudah cek rumah sakit dimana jenazah Tante Diajeng berada. Ya kasihan sekali sih, wajahnya sampai tidak dapat dikenali tapi aku sangat yakin jika mayat itu benar-benar mayat Tante Diajeng karena pihak rumah sakit juga membenarkannya.
Satu langkah lagi, yakni aku tinggal menyingkirkan wanita yang dicintai oleh Mas Ben. Hanya langkah itu yang bisa membuat Mas Ben benar-benar luluh padaku. Jika wanita yang dicintai Mas Ben lenyap dari muka bumi ini, secara dia tidak akan menolakku lagi.
Rasa bahagia sudah terpancar jelas dalam hatiku. Akupun melangkah dengan pasti menuju ke rumah Tante Diajeng. Ya rumah yang sekarang menjadi tempat tinggalku sementara dan akan menjadi tempat tinggalku selamanya.
Tapi langkah kaki ini sempat terhenti tatkala aku mendengar percakapan antara Bibi dan lelaki yang tidak asing bagiku. Aku sama sekali tidak menyangka jika Mas Ben akan kembali ke rumah secepat ini.
Bahkan aku juga tidak habis pikir dengan tabiat Bibi yang tidak ada rasa gentar sama sekali padaku. Dia terang-terangan menantangku dengan mengadu pada Mas Ben.
Jujur, aku sempat panik tapi berusaha untuk bersikap tenang dan ku hampiri saja mereka dan ku bantah perkataan Bibi jika aku tidak melakukan apa yang dia katakan barusan pada Mas Ben.
Aku pikir akan selesai permasalahan ini, ternyata tidak. Karena tanpa ku tahu, di dalam rumah Mas Ben terpasang CCTV di setiap sudut ruangan bahkan di kamar tamu yang saat ini aku tempati.
Tamatlah riwayatku saat Mas Ben terus memojokkanku dengan pertanyaan yang membuat lidahku seolah tercekat dan bibir ini bungkam dengan sendirinya.
Di saat genting seperti ini justru otakku sama sekali tidak bisa di ajak kompromi. Aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih untuk bisa beralasan yang masuk akal di depan Mas Ben.
Sorot mata penuh kemarahan terlihat jelas dari wajah tampan lelaki pujaanku. Bagaimana ini? Aku bahkan sempat membayangkan hal yang tidak terduga yakni kebencian Mas Ben jika tahu akulah penyebab kematian Tante Diajeng.
Saat ini, aku benar-benar terpojok tidak bisa berkutik sama sekali. Aku harus bagaimana dan berkata apa ya? Duh tidak adakah orang yang menolongku? Aku benar-benar sudah..ah...bisa gila jika seperti ini.
------------
Bela terus saja bungkam membuat Ben hilang kesabaran, ia men dorong tubuh Bela hingga terduduk karena kebetulan di belakang Bela berdiri ada sebuah sofa.
Pada saat Ben akan berkata, ponsel yang tersimpan di dalam kantung bajunya berdering. "Ok, saya segera kesana."
Sejenak Ben menatap ke arah Bela. "Awas saja jika kamu berulah lagi! Aku tidak akan segan-segan untuk berbuat lebih kasar dari ini. Bahkan aku bisa mengusirmu meskipun Mamah selalu membelamu tapi aku yakin kali ini tidak! Untuk kali ini kamu ku lepaskan tapi tidak untuk lain kali." Bentak Ben masih saja napasnya begitu memburu, telunjuk terus saja mengarah ke arah Bela.
Ben berpamitan pada Bibi, ia segera pergi dengan terburu-buru. Ada rasa lega dalam hati Bela, tapi juga ada rasa penasaran. "Siapa yang menelepon Mas Ben ya? Kok aku jadi ingin tahu? Lega rasanya, semoga saja esok hari tidak akan terjadi hal seperti ini lagi. Semua gara-gara b@bu si@l@n itu!" batin Bela, kini tatapan mengarah pada Bibi.
Sejenak mereka bertemu pandang dan satu sama lain tidak berkedip. Bibi membalas tatapan Bela sejenak, selepas itu dia melangkah pergi begitu saja. Hati Bela semakin kesal. "Kurang @j@r! Aku kok kalah sama b@bu. Lihat saja, jika aku sudah menjadi Nyonya di rumah ini, kamu akan aku usir!" batin Bela.
Ia memutuskan untuk mengikuti kepergian Ben karena rasa penasarannya tersebut. "Aku tidak ingin kehilangan jejak Mas Ben. Aku harus segera mengetahui kemana perginya Mas Ben. Apakah ke rumah sakit atau ke rumah wanita yang dicintainya itu?
Lantas apakah Bela berhasil mengikuti kemana perginya Ben?
lanjut