Berawal dari kematian tragis sang kekasih.
Kehidupan seorang gadis berparas cantik bernama Annalese kembali diselimuti kegelapan dan penyesalan yang teramat sangat.
Jika saja Anna bisa menurunkan ego dan berfikir jernih pada insiden di malam itu, akankah semuanya tetap baik-baik saja?
Yuk simak selengkapnya di novel "Cinta di Musim Semi".
_Cover by Pinterest_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon seoyoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 30
“Kau … “ hanya satu kata yang terucap begitu Anna mengangkat wajahnya dan didapatinya adalah sosok pria yang sama sekali tak pernah ada dalam bayangannya akan muncul di apartemennya.
Bastian memberikan tatapan dingin nya yang tentunya berhasil membekukan tubuh Anna seketika.
“Berani sekali kau bermain-main di belakangku, Annalese!” kecam Bastian.
“Tidak, akan ku jelaskan, tunggu, aku ambil cardigan dulu, kita bicara diluar,” ujar Anna seraya hendak masuk ke dalam, namun lengan Bastian lebih dulu menahannya masih dengan tatapan tajam nya dan amarah yang menggebu-gebu nyaris tak dapat ia kendalikan.
“Apa yang ingin kau jelaskan, ciih! Kau ingin beralasan jika semua ini hanyalah kesalahpahaman huh?!” kecam Bastian yang meninggikan suaranya hingga membuat Anna terhentak dengan aura dingin menusuk yang di pancarkan oleh Bastian.
“Argh! Sakit Bas, “ ringis Anna ketika Bastian semakin mengeratkan cengkramannya di lengan Anna.
“Apa yang kau lakukan?! (pekik Kayle yang baru saja bergabung di tengah perseteruan yang terjadi antara Bastian dan Anna di ambang pintu)
Lepaskan!” perintah Kayle dengan suara bariton khas nya.
“Tidak Kay … “ belum sempat Anna mencoba menengahi perang mata diantara Bastian dan Kayle, kalimat nya terhenti ketika cengkraman Bastian terasa melonggar di lengannya.
Anna mengalihkan kembali atensinya pada Bastian yang kini mulai melepaskan tangannya, disusul dengan memudar nya amarah dalam raut wajah Bastian, dan digantikan oleh ekspresi terkejut yang sama sekali tak pernah Anna lihat sebelumnya dari diri Bastian.
Bastian yang selalu berdiri dengan penuh percaya diri, seolah tak ada siapapun yang dapat mempengaruhi atau mengusik nya, namun kali ini Anna mendapati sosok yang berbeda dari diri Bastian.
Meski pria berdarah dingin itu tampak berusaha mengatur ekspresi wajahnya di depan Anna, kendati demikian Anna masih bisa melihat bola mata Bastian yang bergetar ketika pandangannya bertemu dengan sosok pria yang baru saja bergabung ditengah mereka.
Setelah beberapa menit berlalu dengan aksi saling melempar pandangan, akhirnya Bastian memutuskan pergi tanpa sepatah katapun dengan perasaannya yang campur aduk, amarah, emosional, kekesalan dan kerinduan yang menjadi satu.
Sehingga membungkam mulutnya dan hanya ingin segera pergi sebelum ia menunjukan sisi lemahnya di hadapan Anna. Iya, melihat sosok yang sangat mirip sekali dengan mendiang adik tirinya tentu membuat hatinya terasa terkoyak sampai mengacaukan akal sehatnya.
Untuk beberapa saat, Bastian bahkan sempat berfikir jika adik nya kembali bangkit.
Tak ingin membiarkan calon suaminya pergi begitu saja tanpa penjelasan apapun, Anna pun lantas berlari kecil mengejar Bastian.
“Tidak! Tunggu Bas! Biar ku jelaskan dulu,” panggil Anna yang berusaha mengejar langkah panjang Bastian yang kini telah sampai di lift.
“Kak Anna!” tahan Kayle seraya menggenggam lengan Anna lengkap dengan ekspresi keberatannya jika ia terus mengejar pria asing itu.
“Kayle! (balas Anna dengan meninggikan suaranya) kumohon,” tambah Anna yang akhirnya berhasil membuat Kayle melepaskan genggaman eratnya di lengan Anna, dan membiarkan Anna pergi mengejar pria yang entah siapa.
Sementara itu di dalam lift, meski tampak tidak baik-baik saja, Bastian tetap berusaha mempertahankan raut wajah dingin dan datarnya, ia menahan pintu lift sesaat seraya memandangi Anna seolah tengah memberikan isyarat agar Anna tidak masuk ke dalam lift.
“Ku tunggu kau di kantor besok, jangan sampai terlambat,” ujar Bastian yang terdengar seperti sebuah peringatan yang memiliki konsekuensi jika dilanggar.
Pintu lift pun tertutup usai Bastian menekan tombol yang akan membawanya ke lantai dasar.
“Hmmp … “ Anna hanya bisa menghela nafas pasrah karena percuma jika terus bersikukuh melawan tuan muda keji itu.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di dalam lift.
Kedua kaki Bastian tampak lemas seperti tidak memiliki tenaga untuk menopang berat tubuhnya, sehingga membuatnya berpegangan pada besi lift. Di susul dengan nafasnya yang terasa sesak sampai ia harus menarik simpul dasi secara kasar untuk melonggarkannya.
Belum lagi perkataan karibnya Matthias beberapa hari yang lalu tiba-tiba muncul memenuhi benak nya.
‘Pengacara wanita tadi, mirip sekali dengan adik lu, bahkan gue sempet berpikir mungkin dia adalah reinkarnasi Bennedict,’
‘Gue serius Bas! Namanya KAYLE JOHANSEN, dia bekerja di firma hukum D&E, dia juga cukup populer diantara teman seangkatannya karena tak pernah gagal dalam memenangkan kasus kliennya. Dengan kemampuan nya yang cukup mumpuni, gue rasa dia cocok gabung di tim legal perusahaan elu,’
Kalimat itu terus berputar sampai akhirnya digantikan oleh suara lantang Anna yang menyerukan nama sosok pria yang mirip sekali dengan mendiang adiknya.
‘KAYLE!’
Seketika ia merasakan pusing yang amat sangat sampai membuat ia berulang kali menggeleng kepalanya agar dapat tetap terjaga. Bersamaan dengan bulir keringat dingin yang mulai bercucuran membasahi sudut keningnya.
‘Gue serius Bas! Namanya KAYLE, namanya KAYLE, namanya KAYLE’
‘KAYLE!’
‘KAYLE!’
Karena tak kuasa menahan rasa pusing yang terus menjalar di kepalanya, alhasil tubuhnya pun tumbang dan tak sadarkan diri dengan posisi duduk sembari bersandar di dinding lift.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Keesokan harinya.
Masih di apartemen Glory, namun kali ini di unit yang ditempati oleh Matthias yang berada 1 lantai di atas unit milik Edrea, yakni lantai 5 sedang Edrea berada di lantai 4.
Pagi yang segar memeluk hunian apartemen elite di daerah Jakarta selatan, mentari pagi yang berkilauan menyinari jendela besar dengan cahaya hangatnya. Suasana hening di dalam unit milik Matthias lantaran sang pemilik kini sedang berjogging di luar, sementara Bastian masih tampak terlelap dalam balutan selimut tebal yang bernuansakan abu-abu tua.
Dalam dinding sepi kamar Matthias, cahaya mentari mulai menyelinap masuk melalui celah tirai kamar yang setengah terbuka. Sinar hangat itu dengan perlahan menyentuh wajah Bastian, mengajaknya terbangun dari mimpi indahnya yang selalu di penuhi oleh masa kecil bahagianya bersama dengan adiknya Bennedict, sewaktu mereka berdua masih berada di LA.
Meskipun sebenarnya ia telah terjaga dari tidur panjangnya, pria yang masih mengenakan setelan jas lengkap itu sepertinya enggan membuka kedua matanya, terbukti dengan ia yang kini malah meletakan sikut nya diatas wajahnya untuk memblokir sinar yang terus menusuk indra penglihatannya.
Sampai beberapa menit kemudian …
“YAK!” seru Matthias seraya membuka pintu dengan sedikit bantingan.
“Kau akan tetap berbaring di ranjangku?!” pekik Matthias yang masih mengenakan setelan olahraganya serta headphone yang melilit di belakang tengkuknya.
“Sebenarnya apa yang terjadi tadi malam huh?! Kenapa kau bisa pingsan di dalam lift setelah mengikuti gadis mabuk itu?!” racau Matthias yang lantas menarik langkah menghampiri tepi ranjang tidur miliknya, kemudian berkacak pinggang sembari memandangi wajah Bastian yang masih tertutup oleh sikutnya.
“Bukan urusanmu,” gumam Bastian dengan nada kasar seperti biasanya.
“Astaga! Jangan bilang kau di campakan oleh nya, dan berakhir depresi kemudian pingsan di dalam lift,” Matthias kembali berkicau layaknya burung beo.
Bersambung***