realita kehidupan seorang gadis yang dari kecil cacat akan kasih sayang yang sebenarnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uppa24, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
anakku yang malang!!
Perlahan, Elvanzo mulai mengerti. Aluna bukan hanya gadis yang memilih untuk mandiri, tapi juga yang selalu merasa terikat pada masa lalu yang kelam. Bahkan setelah ia menempuh kuliah dan mendirikan bisnisnya, luka-luka itu masih mengikutinya, dan sangat wajar jika dia lebih memilih untuk menjadi sosok yang terpisah dari orang lain.
Ketika perbincangan itu berakhir, Elvanzo hanya bisa menghela napas dalam-dalam. Tentu saja ia merasa sangat bersalah karena tidak pernah melihat semuanya lebih dalam. Tidak pernah berpikir tentang betapa besar beban yang Aluna pikul.
Malam itu, tak lupa Elvanzo berjanji kepada dirinya sendiri. Jika nanti Aluna mau berbicara dengan dia, ia akan berusaha mendengarkan, tidak hanya sebagai seorang teman, tetapi sebagai seseorang yang siap membantunya mengatasi semuanya—segala kesulitan dan rasa sakit yang selama ini dia sembunyikan.
...~||~...
Keesokan harinya di hotel tempat elvanzo menginap ia berniat pulang. namun, terbesik di pikiranya untuk mampir ke rumah aluna lalu kembali jadi iyapun kesana dan ia tiba di sore harinya .
Suasana sore itu semakin terasa hening dan penuh dengan perasaan yang mengendap dalam hati Elvanzo. Rumah Aluna yang sederhana itu tampak sepi dan jauh dari kemewahan yang ada di kota. Di ruang tamu, Elvanzo duduk dengan tenang sambil menunggu Aluna. Namun, yang menyambutnya justru ibu Aluna, wanita yang wajahnya memancarkan keletihan, namun juga kekuatan yang tak terlihat.
Ketika ibu Aluna berbicara, Elvanzo merasa hatinya semakin dipenuhi rasa pilu yang sulit dijelaskan. Sepertinya, di balik kesederhanaan ibu Aluna, ada segudang kisah yang tersembunyi, sesuatu yang tak pernah ia ketahui.
“Ibu, kenapa Aluna tidak pernah bercerita tentang masa lalunya?” Elvanzo akhirnya memberanikan diri bertanya, meskipun ia tahu ini akan menjadi perbincangan yang berat.
Ibu Aluna menghela napas panjang dan tersenyum memaksa, mencoba menahan rasa sakit yang pastinya sangat dalam. “Anakku itu… dia tidak pernah mengeluh tentang semuanya. Bahkan waktu kecil, dia yang harus bekerja keras untuk membantu keluarga. Ayahnya… Ayahmu tak pernah menjadi orang yang baik baginya.”
Elvanzo terdiam, hatinya bergetar mendengar kalimat ibu Aluna. Ternyata, di balik sosok gadis yang keras dan tegar itu, ada seorang anak perempuan yang merasa begitu kesepian dan terpinggirkan oleh seorang ayah yang harusnya melindunginya. Tanpa sadar, Elvanzo menggelengkan kepala, merasa begitu bodoh karena tak pernah menanyakan lebih dalam tentang kehidupan Aluna.
“Ia tak pernah mengeluh, Elvanzo. Bahkan ketika ia mendapat kekerasan di rumah—dipukuli oleh ayahnya—dia selalu berusaha bangkit. Dia hanya fokus untuk bertahan hidup. Aku yang akhirnya memutuskan untuk meninggalkan suamiku dan melanjutkan hidup tanpa dia… Tapi Aluna tetap tegar, memikul segalanya.”
Ibu Aluna menundukkan kepalanya, suaranya tercekat karena kenangan-kenangan itu. Sejenak, Elvanzo merasa seperti terhimpit beban yang luar biasa berat. Di matanya, ia melihat betapa besar perjuangan yang Aluna hadapi tanpa ada orang lain yang tahu. Sebelumnya, ia hanya melihat Aluna sebagai sosok yang keras, tanpa tahu seberapa rapuh sebenarnya gadis itu.
“Dia tidak pernah membicarakan ayahnya, tidak pernah membiarkan orang lain tahu. Bahkan setelah kami bercerai, dia tetap menjaga semangatnya agar kami bisa hidup lebih baik. Sementara dia, sepanjang waktu, berjuang seorang diri, tanpa ada yang tahu betapa menderitanya dia,” ucap ibu Aluna dengan suara serak, seperti menahan air matanya.
Elvanzo menundukkan kepala, perasaan bersalah menyelimutinya dengan cepat. Seperti mimpi buruk yang tak bisa dibuang dari pikiran, ia menyadari bahwa ia begitu ceroboh. Selama ini ia hanya memperhatikan permukaan, tanpa memahami beban yang terpendam dalam diri Aluna.
“Ibu…” kata Elvanzo pelan, suaranya hampir tak terdengar. “Kenapa tidak ada yang memberitahuku… kenapa Aluna tidak pernah bercerita padaku tentang ini?”
“Aluna, dia hanya ingin menjadi sosok yang bisa diandalkan. Anak itu takut menunjukkan kelemahannya kepada siapa pun, terutama orang yang dia sayang. Kamu tahu, Elvanzo, dia selalu takut… takut kehilangan. Jadi, dia memilih untuk sembunyikan semua itu jauh dalam hatinya,” jawab ibu Aluna dengan hati yang penuh kepedihan.
Elvanzo menahan napasnya. Sesuatu yang tiba-tiba meremas hatinya begitu kuat—sesuatu yang lebih besar daripada sekedar penyesalan. Ia merasa tak berdaya, merasa tak tahu bagaimana cara untuk bisa memperbaiki semua ini, jika memang hal itu mungkin. Aluna sudah lama membawa beban itu sendiri, dan ia tak pernah tahu.
Sebenarnya, ia ingin menyatakan semuanya pada ibu Aluna. Ingin berkata bahwa ia menyesal karena tidak pernah mengerti apa yang sebenarnya terjadi, dan ia ingin membantu Aluna melewati ini semua. Tapi kata-kata itu terasa tertahan di tenggorokannya, buntu.
Akhirnya, setelah beberapa saat yang sangat lama dalam kesunyian, ibu Aluna berbicara lagi, tetapi kali ini suaranya lebih lembut dan lebih penuh harapan. “Aluna sudah cukup banyak berkorban untuk orang lain, Elvanzo. Jika ada satu hal yang bisa kamu lakukan untuknya… biarkan dia tahu bahwa dia tidak sendiri. Bantu dia, temani dia. Kadang, dia butuh seseorang yang bisa dipercaya, yang bisa melindunginya.”
Elvanzo terdiam. Kata-kata itu menggetarkan hatinya. Apa yang bisa dia lakukan? Bagaimana cara mendekatkan diri lagi pada Aluna, yang sekarang seolah berada di dunia yang berbeda—sosok yang bahkan tak bisa ia kenali sepenuhnya?
Namun, satu hal yang pasti, hari itu sesuatu dalam dirinya telah berubah. Ia harus lebih memahami Aluna, bukan hanya sebagai teman kampusnya, tetapi sebagai seseorang yang memiliki perjuangan hidup yang luar biasa.
Ketika malam tiba, Elvanzo tahu apa yang harus dia lakukan. Mungkin, ini adalah kesempatan pertama yang ia miliki untuk benar-benar berjuang untuk Aluna. Untuk menjadi seseorang yang bisa memberikan dukungan, bukan sekadar menjadi bayangan dalam hidupnya.
Ia mengucapkan terima kasih pada ibu Aluna dan bergegas meninggalkan rumah itu dengan perasaan berat di dada. Namun, ia merasa ada harapan yang baru. Di saat yang sangat sunyi itu, Elvanzo membuat janji pada dirinya sendiri untuk tetap berada di sana untuk Aluna. Bahkan jika harus berjuang sekeras mungkin untuk menembus tembok yang begitu tinggi yang sudah dibangun dalam dirinya.Pembicaraan antara Elvanzo dan ibu Aluna hampir berakhir, dan suasana sepertinya mulai mereda ketika tiba-tiba ibu Aluna menggumamkan sesuatu yang membuat Elvanzo terdiam sejenak. Tanpa sadar, kalimat itu keluar begitu saja, seperti kebiasaan seorang ibu yang berbicara dalam aliran pikirannya.
"Navin... Iya, Navin," gumam ibu Aluna perlahan, tanpa menatap Elvanzo, seolah merenung, "Dia adalah pria yang dikenalkan Aluna kepada kami dua tahun lalu. Waktu itu, saya sempat berpikir dia bisa menjadi pilihan yang baik... untuk Aluna. Tapi..." Suara ibu Aluna perlahan terhenti, seperti menyembunyikan sesuatu yang belum selesai.
Elvanzo terkejut mendengar nama itu. Navin? Nama yang tidak pernah ia dengar sebelumnya. Mata Elvanzo terfokus pada ibu Aluna, berusaha mencari penjelasan lebih lanjut, namun sebelum ia bisa melontarkan pertanyaan apapun, tiba-tiba terdengar ketukan keras di pintu.
"Tok! Tok! Tok!"
Suara itu mengagetkan keduanya. Ibu Aluna menoleh cepat, lalu menghela napas, seolah tahu siapa yang berada di balik pintu.
Elvanzo berdiri terkejut, tak sempat menanyakan lebih banyak tentang Navin, tetapi sebelum dia bisa berkata apapun, ibu Aluna hanya tersenyum tipis, namun dengan tatapan yang mengandung banyak arti.
"Sepertinya Aluna sudah kembali," ujar ibu Aluna dengan senyum tipis. "Dia pasti tidak akan suka jika kita membahas hal ini lebih lanjut."
Elvanzo masih berdiri di sana, bingung. Di satu sisi, dia merasa ada banyak hal yang belum ia ketahui tentang Aluna, termasuk sosok pria bernama Navin itu. Tapi di sisi lain, ia juga menyadari bahwa ini adalah saat yang sangat tidak tepat untuk bertanya lebih lanjut, terutama dengan kehadiran Aluna yang semakin dekat.
Dengan keraguan yang tersisa, Elvanzo berjalan menuju pintu dan membukanya perlahan. Dan di sana, berdiri Aluna, dengan wajah yang sangat sulit dibaca. Tanpa sepatah kata, Aluna memandang Elvanzo dengan mata yang penuh ketegasan, namun tidak ada emosi yang jelas terlihat.
Keduanya terdiam sejenak, sementara ibu Aluna kembali ke dalam rumah, meninggalkan mereka berdua dengan suasana yang semakin tegang.
"Ada yang ingin kau bicarakan?" tanya Aluna dengan nada datar, seolah menghindari topik pembicaraan yang sebelumnya hampir terungkap.
Elvanzo mengangguk pelan, tetapi tak tahu harus berkata apa. Keberadaan Navin dalam pembicaraan tadi masih menghantui pikirannya, namun ia tahu, tidak ada tempat lebih baik selain saat ini untuk mencoba mendekati Aluna dengan cara yang benar.