Di bawah cahaya bulan, istana di lembah tersembunyi menjadi saksi kelahiran seorang bayi istimewa. Erydan dan Lyanna, pengemban Segel Cahaya, menyambut putri mereka dengan perasaan haru dan cemas.
"Dia adalah harapan terakhir kita," ujar Erydan, matanya menatap tanda bercahaya di punggung kecil bayi itu.
Lyanna menggenggam tangannya. "Tapi dia masih bayi. Bagaimana jika dunia ini terlalu berat untuknya?"
Erydan menjawab lirih, "Kita akan melindunginya."
Namun di kejauhan, dalam bayang-bayang malam, sesuatu yang gelap telah bangkit, siap mengincar pewaris Segel Cahaya: Elarya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon monoxs TM7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30: Cahaya di Tengah Kegelapan
Hari baru di desa yang sepi dimulai dengan ketenangan yang palsu. Burung-burung tidak lagi berkicau seperti biasanya, dan langit tampak kelabu meski tidak ada tanda hujan. Elarya berdiri di tepi jendela rumahnya, memandangi bayi kecilnya yang tertidur pulas di dalam buaian. Tatapan matanya menyiratkan campuran cinta mendalam dan kecemasan yang terus membayangi.
Kael masuk ke ruangan dengan langkah hati-hati, membawa semangkuk sup hangat. "Kau harus makan sesuatu. Tubuhmu membutuhkan kekuatan," ujarnya lembut, menaruh mangkuk itu di meja kecil di dekat Elarya.
Elarya menghela napas panjang. "Kael, aku bisa merasakannya. Ancaman itu belum benar-benar hilang. Segel ini… semakin kuat, tapi juga semakin sulit aku kendalikan."
Kael menggenggam tangannya dengan lembut, menatap matanya penuh keyakinan. "Kita akan menghadapi ini bersama, Elarya. Kau tidak perlu memikulnya sendirian."
Namun, sebelum Elarya bisa membalas, suara gaduh dari luar rumah memecah keheningan. Kael segera bangkit, meraih pedangnya yang tergantung di dinding. "Tinggal di sini," katanya tegas, lalu bergegas keluar.
Di luar, para penduduk desa berkumpul di lapangan, memandang dengan ketakutan ke arah hutan. Asap hitam tipis terlihat naik dari kejauhan, menandakan sesuatu yang tidak biasa sedang terjadi.
"Apa yang terjadi?" tanya Kael kepada salah satu penduduk.
"Makhluk-makhluk itu kembali," jawab lelaki tua dengan suara gemetar. "Tapi mereka tidak menyerang. Mereka hanya... berdiri di sana, menunggu."
Kael mengerutkan dahi. Serangan sebelumnya selalu brutal dan langsung. Namun kali ini, strategi mereka berbeda. Ia tahu ini bukan pertanda baik.
Ketika ia berbalik untuk kembali ke rumah, Elarya sudah berdiri di ambang pintu, bayinya dalam pelukan. "Aku tidak bisa tinggal diam, Kael. Jika mereka datang untuk segel ini, maka aku harus menghadapi mereka."
Kael mendekatinya dengan wajah tegang. "Kau baru saja melahirkan, Elarya. Tubuhmu belum pulih sepenuhnya. Ini terlalu berbahaya."
"Aku tahu risikonya," jawab Elarya, suaranya tegas. "Tapi aku tidak akan membiarkan anak kita tumbuh di dunia yang penuh ancaman. Jika aku harus mengorbankan segalanya untuk melindunginya, maka aku akan melakukannya."
Kael terdiam sesaat, lalu mengangguk dengan enggan. "Kalau begitu, kita hadapi ini bersama."
Langkah-langkah mereka membawanya ke pinggir desa, di mana batas antara tanah aman dan hutan gelap terbentang seperti garis tak terlihat. Dari balik bayangan pepohonan, puluhan makhluk gelap berdiri diam, mata mereka yang merah menyala mengamati dengan penuh perhatian.
Tiba-tiba, seorang pria berjubah hitam muncul dari antara mereka, wajahnya terlihat lebih jelas kali ini. Ia tersenyum dingin saat matanya bertemu dengan Elarya.
"Jadi, inilah cahaya yang mereka bicarakan," ujarnya, suaranya bergema. "Sebuah kekuatan luar biasa yang bahkan melampaui legenda. Kau menyimpan sesuatu yang bukan milikmu, Elarya."
Elarya maju selangkah, memeluk bayinya erat-erat. "Segel ini bukan milik siapa pun kecuali aku. Dan kau tidak akan pernah menyentuhnya."
Pria itu tertawa kecil, lalu mengangkat tangannya. Kabut gelap mulai merayap ke arah mereka, namun Kael dengan cepat melangkah maju, menghunus pedangnya.
"Kau harus melewati aku dulu," katanya dengan nada rendah.
Namun pria berjubah itu tidak tampak terancam. "Dengan senang hati," jawabnya.
Pertarungan pecah di pinggir desa. Kael melawan makhluk-makhluk gelap dengan kekuatan dan keberanian yang luar biasa, sementara Elarya memusatkan energinya untuk membentuk perisai cahaya di sekeliling mereka. Namun, jumlah musuh terlalu banyak, dan kekuatan Elarya mulai melemah.
Kael terpukul mundur, tubuhnya terluka, tetapi ia tetap berdiri tegak. "Elarya, kau harus pergi! Lindungi anak kita!" teriaknya.
Elarya menggeleng, air mata mengalir di pipinya. "Aku tidak akan meninggalkanmu!"
Namun, ketika pria berjubah itu mendekat dengan tangan terangkat, sesuatu yang luar biasa terjadi. Bayi di pelukan Elarya mulai bersinar, cahaya yang bahkan lebih terang dari segel Elarya.
Pria berjubah itu mundur, tampak terkejut. "Apa...?"
Elarya merasakan kekuatan baru mengalir dari bayinya, menyatu dengan segelnya. Cahaya itu menyelimuti seluruh desa, melenyapkan makhluk-makhluk gelap dalam sekejap.
Kael jatuh berlutut, matanya tertuju pada Elarya dan bayinya. "Apa yang terjadi?"
Elarya hanya bisa memandang anaknya dengan takjub. "Dia... dia adalah harapan. Lebih dari apa yang aku bayangkan."
Pria berjubah itu tersenyum tipis, meskipun jelas ia terkejut. "Menarik," katanya, sebelum menghilang ke dalam kegelapan.
Ketika malam tiba, desa kembali tenang. Elarya dan Kael duduk di dalam rumah mereka, memandangi bayi kecil yang kini tidur dengan damai.
"Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi," kata Elarya pelan. "Tapi aku tahu satu hal: dia adalah kunci untuk masa depan."
Kael menggenggam tangannya erat. "Dan kita akan melindunginya. Apa pun yang terjadi."
Di luar, bintang-bintang mulai bermunculan, seolah memberikan harapan baru bagi mereka yang berjuang melawan kegelapan. Tetapi Elarya tahu, ini hanyalah awal dari perjalanan panjang yang penuh ujian.
Malam semakin larut, dan suasana desa yang sebelumnya tenang mulai dipenuhi dengan bisikan-bisikan gelisah. Elarya menatap Kael, yang sedang duduk di sudut ruangan dengan wajah lelah tetapi tetap penuh kewaspadaan. Bayi mereka yang tadi bersinar terang kini tertidur lelap, wajahnya begitu damai seolah tak menyadari bahaya yang baru saja mereka lalui.
"Kael," bisik Elarya, memecah keheningan di antara mereka. "Apa yang terjadi tadi... aku tidak mengerti. Bayi ini, dia seperti membawa sesuatu yang lebih besar dari segelku."
Kael mendekat, menatap anak mereka dengan campuran keheranan dan rasa bangga. "Aku pikir ini adalah keajaiban. Dia tidak hanya anak kita, Elarya. Dia mungkin... jawaban untuk mengakhiri semua kekacauan ini."
Elarya mengangguk pelan, tetapi ada ketegangan di wajahnya. "Tapi jika mereka tahu kekuatan seperti apa yang ada padanya, mereka tidak akan berhenti mengejar kita. Kita harus melindunginya, Kael. Apa pun yang terjadi."
Kael menggenggam tangannya dengan lembut. "Dan kita akan melakukannya bersama. Sama seperti yang selalu kita lakukan."
Namun, sebelum percakapan mereka berlanjut, suara gedoran keras di pintu rumah mereka membuat keduanya tertegun. Kael langsung meraih pedangnya dan berdiri di depan pintu, bersiap menghadapi apa pun yang ada di baliknya.
"Siapa di sana?" tanya Kael dengan nada tegas.
Tidak ada jawaban, hanya suara gedoran lagi. Dengan hati-hati, Kael membuka pintu sedikit, dan sosok perempuan tua berjubah lusuh muncul di baliknya. Wajahnya penuh kerutan, tetapi matanya bersinar dengan ketenangan yang aneh.
"Namaku Marena," katanya pelan, suaranya serak tetapi jelas. "Aku datang untuk membantu kalian."
Marena duduk di ruang tengah, tangan tuanya memegang secangkir teh hangat yang Elarya berikan. "Aku sudah lama memperhatikan kekacauan ini," katanya. "Dan aku tahu, bayi itu adalah cahaya yang kita butuhkan untuk mengusir kegelapan selamanya."
Elarya dan Kael saling berpandangan. "Bagaimana kau tahu tentang bayi kami?" tanya Elarya, nada curiga terdengar dalam suaranya.
Marena mengangguk pelan. "Segel itu bukan hanya kekuatan yang diwariskan kepadamu, Elarya. Itu adalah penanda. Cahaya dan kegelapan selalu berada dalam keseimbangan, tetapi sesuatu telah memecah harmoni itu. Anakmu... dia adalah titisan cahaya itu, sumber keseimbangan yang hilang."
Kael mengerutkan dahi. "Tapi jika itu benar, kenapa kegelapan terus memburu kami?"
Marena menatap mereka dengan serius. "Karena mereka tahu bahwa jika bayi ini tumbuh kuat, kekuatan mereka akan lenyap selamanya. Mereka takut."
Elarya memandang bayinya dengan penuh kasih, tetapi juga ketakutan. "Lalu apa yang harus kami lakukan?"
Marena meletakkan cangkirnya dan menatap langsung ke arah mereka. "Kalian harus pergi ke tempat di mana cahaya itu berasal. Hanya di sana kekuatannya bisa sepenuhnya terbangun, dan hanya di sana kalian bisa menemukan cara untuk melindunginya."
"Ke mana itu?" tanya Kael.
"Ke Puncak Solis," jawab Marena. "Tempat di mana segel itu pertama kali diciptakan."
Perjalanan mereka dimulai pada fajar. Kael mempersiapkan persediaan dengan teliti, sementara Elarya menggendong bayi mereka dengan penuh hati-hati. Marena, meski usianya sudah lanjut, berjalan dengan langkah yang mantap, seolah ia tahu setiap rintangan yang akan mereka hadapi.
Jalan menuju Puncak Solis tidaklah mudah. Mereka harus melewati lembah yang penuh dengan kabut tebal, di mana suara-suara aneh terdengar dari kejauhan. Kael berjalan di depan, pedangnya siap di tangan, sementara Elarya dan Marena mengikuti dengan hati-hati.
"Kita harus cepat," ujar Marena saat mereka tiba di sebuah jembatan kayu yang rapuh. "Makhluk-makhluk itu pasti sudah tahu tujuan kalian."
Benar saja, tak lama setelah mereka menyeberangi jembatan, suara derap langkah berat terdengar dari belakang mereka. Dari balik kabut, sosok-sosok hitam mulai muncul, jumlahnya lebih banyak dari sebelumnya.
Kael segera mengambil posisi, pedangnya bersinar dalam cahaya redup. "Aku akan menahan mereka. Kalian teruskan perjalanan."
"Tidak!" Elarya berseru. "Aku tidak akan meninggalkanmu."
Kael menoleh, memberikan senyum yang penuh keyakinan. "Aku akan menyusul. Aku janji."
Marena menyentuh lengan Elarya. "Percayalah padanya. Kita harus melindungi anak ini."
Dengan berat hati, Elarya mengikuti Marena, berlari menembus kabut sambil memeluk bayinya erat-erat.
Di belakang, Kael bertarung mati-matian melawan makhluk-makhluk gelap itu. Setiap tebasan pedangnya menghasilkan kilatan cahaya yang menyilaukan, tetapi jumlah musuh terlalu banyak.
Sementara itu, Elarya dan Marena tiba di sebuah dataran tinggi, di mana cahaya matahari mulai menembus kabut. Di kejauhan, Puncak Solis menjulang dengan megah, seolah memanggil mereka.
Namun, saat mereka hampir tiba, suara gemuruh besar terdengar dari belakang. Elarya menoleh dan melihat makhluk besar dengan tubuh seperti asap hitam dan mata merah menyala mendekat dengan cepat.
Marena berdiri di depan Elarya, mengangkat tongkatnya yang bersinar samar. "Lari, Elarya. Aku akan menghalangi mereka."
"Tidak! Kau tidak bisa melakukannya sendirian!"
"Ini adalah tugasku," jawab Marena tegas. "Kau harus sampai di sana. Demi anakmu, demi dunia ini."
Dengan air mata yang mengalir, Elarya akhirnya berlari menuju Puncak Solis, sementara Marena berdiri menghadapi makhluk besar itu sendirian.
Ketika Elarya akhirnya tiba di kaki puncak, tubuhnya terasa lelah, tetapi ia tahu ia tidak bisa berhenti. Di depan, jalan menuju harapan terhampar, tetapi juga penuh dengan bahaya yang belum ia ketahui.
Puncak Solis berdiri megah di depan Elarya, memancarkan aura kuno yang memanggilnya. Udara di sana lebih dingin, dengan angin yang membawa bisikan seolah membisikkan cerita masa lalu. Namun, langkah-langkah Elarya terasa berat, baik oleh rasa lelah maupun kekhawatiran akan Kael dan Marena yang tertinggal. Bayi di pelukannya bergerak gelisah, membuatnya berhenti sejenak untuk menenangkan anaknya.
"Kita akan baik-baik saja," bisik Elarya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri lebih dari siapa pun.
Namun, suara jeritan dari kejauhan membuatnya tersentak. Suara itu berasal dari arah di mana Marena melawan makhluk gelap yang besar. Jeritan itu tidak terdengar seperti suara manusia, tetapi lebih seperti makhluk itu sedang terluka parah.
Elarya menggigit bibirnya, hatinya ingin kembali, tetapi jalan di depannya tak lagi memberi ruang untuk ragu. Ia melanjutkan langkahnya menuju puncak, tempat ia berharap semua jawaban menanti.
Langit mulai berubah warna saat Elarya mendekati pintu masuk gua di kaki Puncak Solis. Gua itu dihiasi ukiran-ukiran kuno yang bersinar samar dalam warna emas. Segel di dadanya bereaksi, memancarkan cahaya lembut yang selaras dengan sinar dari ukiran tersebut.
"Tampaknya ini tempat yang tepat," gumam Elarya.
Saat ia melangkah masuk, suasana di dalam gua begitu sunyi, seolah-olah waktu berhenti di tempat itu. Bayi dalam pelukannya berhenti gelisah, tertidur dengan tenang. Elarya memandangi wajah anaknya, hatinya dipenuhi rasa haru sekaligus rasa tanggung jawab yang semakin besar.
Di tengah gua, terdapat altar besar dengan sebuah kristal bercahaya di atasnya. Cahaya dari kristal itu memancar lembut, menyelimuti seluruh ruangan dengan aura damai. Elarya mendekati altar itu, dan segel di dadanya semakin bersinar terang.
Saat ia menyentuh altar, suara lembut namun kuat bergema di dalam pikirannya. "Selamat datang, Pemegang Segel Cahaya. Keturunanmu adalah harapan terakhir dunia ini. Namun, untuk memanfaatkan kekuatannya, kau harus membuat pilihan besar."
Elarya terdiam, mencoba memahami pesan itu. "Pilihan apa? Apa yang harus aku lakukan?"
"Kekuatan cahaya dan kegelapan selalu ada dalam keseimbangan. Namun, untuk menghentikan kegelapan yang kini melanda, kau harus menyerahkan sesuatu yang paling berharga bagimu."
Napas Elarya tertahan. "Apa maksudnya? Apakah aku harus menyerahkan anakku?"
"Tidak," jawab suara itu. "Tapi kau harus siap untuk mengorbankan bagian dari dirimu sendiri agar kekuatannya dapat terbangun sepenuhnya."
Elarya memandang bayi dalam pelukannya. Air mata mengalir di pipinya, tetapi tekad dalam hatinya tetap tak tergoyahkan. "Jika itu yang harus aku lakukan, aku akan melakukannya. Asal anakku selamat dan dunia ini bisa damai."
Di luar gua, Kael tiba dengan tubuh penuh luka, tetapi matanya memancarkan keteguhan hati. Ia berhasil melewati makhluk-makhluk gelap yang terus memburu mereka, tetapi kekuatannya hampir habis.
"Elarya!" panggilnya, suaranya menggema di gua.
Elarya berbalik, terkejut melihat Kael. "Kael! Kau selamat!"
Kael menghampirinya dengan napas tersengal, tetapi wajahnya penuh kelegaan melihat istri dan anaknya aman. "Aku tidak akan membiarkanmu melakukannya sendirian."
Elarya tersenyum, air matanya mengalir. "Kael, ada sesuatu yang harus aku lakukan di sini. Tapi aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelahnya."
Kael meraih tangannya, menggenggamnya erat. "Apa pun itu, kita akan melakukannya bersama. Seperti biasa."
Suara lembut itu kembali bergema di sekitar mereka. "Keputusan telah dibuat. Kekuatan akan bangkit, tetapi perjalanan kalian belum selesai. Bersiaplah, karena setelah ini, dunia tidak akan sama lagi."
Kristal di altar itu mulai bersinar lebih terang, dan cahaya itu menyelimuti Elarya, Kael, dan bayi mereka. Sensasi hangat memenuhi tubuh Elarya, seolah-olah semua beban di hatinya perlahan menghilang.
Namun, saat cahaya itu memudar, Elarya merasa tubuhnya melemah. Kael menangkapnya sebelum ia jatuh sepenuhnya. "Elarya! Apa yang terjadi?"
"Aku... aku baik-baik saja," bisik Elarya, meskipun tubuhnya terasa sangat lemah. "Kekuatan itu telah terbangun. Anak kita... dia akan menjadi cahaya baru dunia ini."
Kael memeluknya erat, menahan air mata. "Kau adalah cahaya bagi kami semua, Elarya. Jangan menyerah sekarang."
Bayi mereka mulai bersinar lembut, cahaya yang tidak menyilaukan tetapi membawa kedamaian. Di kejauhan, makhluk-makhluk gelap mulai memudar, seolah kekuatan baru ini menolak keberadaan mereka.
Perjalanan ke Puncak Solis telah selesai, tetapi Elarya dan Kael tahu bahwa perjuangan mereka belum berakhir. Dunia mungkin telah mendapatkan harapan baru, tetapi ancaman lain masih menunggu di balik bayangan.
Namun, untuk saat ini, mereka memiliki satu sama lain, dan itu cukup untuk membuat mereka terus bertahan.