Vincent tanpa sengaja bertemu dengan Valeska di sebuah bar. Niat awalnya hanya untuk menyelamatkan Val yang diganggu laki-laki, namun akhirnya malah mereka melakukan 'one night stand'.
Dan ketika paginya, Vincent baru sadar kalau gadis yang dia ambil keperawanannya tadi malam adalah seorang siswi SMA!
***
IG: @Ontelicious
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon agen neptunus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30: Semesta Jahat
Vincent hanya menatap kosong ke piring steak di depannya. Potongan daging itu sama sekali tidak menggugah selera. Megan di seberangnya sudah dua kali mengingatkan, tapi dia cuma menghela napas. Bahkan, tangannya enggan sekadar menggeser garpu.
“Kamu nggak makan?” Megan akhirnya bertanya lagi. Kali ini nada suaranya sedikit lebih lembut, mencoba menutupi rasa penasaran.
“Aku nggak lapar,” jawab Vincent pendek, tanpa menoleh. Jelas-jelas nada suaranya penuh kelelahan.
Megan melirik ke Melani, meminta bantuan lewat tatapan. Tapi wanita itu tetap fokus pada steak di piringnya. Dia memotongnya dengan anggun, seolah drama besar yang baru saja terjadi bukan urusannya.
“Vincent, Mama sudah memutuskan,” suara Melani akhirnya terdengar. Dia meletakkan pisau dengan hati-hati sebelum mendongak.
Vincent mengangkat wajahnya perlahan, memandang ibunya dengan ekspresi kosong.
“Pernikahan kalian akan dilangsungkan bulan depan,” ucap Melani, seolah itu adalah hal yang sangat biasa saja untuk diumumkan di tengah makan malam yang dingin.
“SERIOUSLY?!” Megan membelalak. Tangannya langsung menutup mulut, mencoba menahan teriakannya agar tidak memecahkan suasana formal. “Tante, ini beneran? Bulan depan? Secepat itu?”
Melani hanya mengangguk. “Persiapkan semuanya dengan baik. Megan, kamu tahu Tante nggak suka kecerobohan.”
Megan tersenyum lebar, matanya berkaca-kaca. Dia langsung menoleh ke Vincent. “Vincent, bulan depan kita nikah! Oh my God, aku nggak percaya ini bakal terjadi secepat ini!”
“Hm.” Vincent hanya menggumam tanpa antusiasme. Tatapannya beralih ke Melani yang tersenyum tipis—senyum kemenangan.
Baik, Ma. Kalau ini permainanmu, aku akan mainkan juga. Tapi satu hal, jangan pernah sentuh Valeska lagi.
......................
Sementara itu, Valeska terduduk di halte bus yang sepi, menunduk memandangi ujung sepatunya. Matanya sembab, dan wajahnya masih terlihat kusut meski sudah mencoba mengusapnya berkali-kali. Dia terlalu lelah untuk menangis lebih lama lagi.
Pak Vincent … kenapa kamu nggak bilang dari awal? Kenapa semuanya harus aku tahu dengan cara seperti ini?
Pikiran-pikiran itu terus menghantui. Kepalanya terasa penuh. Dia menunduk, mencoba mengatur napas, tapi rasa kecewa tak mau hilang begitu saja.
HP-nya, yang sejak tadi mati di dalam tas, akhirnya menyala setelah dia menekan tombol power. Notifikasi langsung membanjiri layar. Ada chat dari Keenan, Sam, dan Vidya. Baru saja dia ingin membalas pesan Keenan, panggilan masuk dari Sam memotong konsentrasinya.
Dengan enggan, Valeska mengangkat panggilan itu.
“Halo,” sapanya pelan, suaranya serak.
“VAL!” suara Sam langsung melengking, penuh kekhawatiran. “Astaga, akhirnya kamu bisa dihubungi! Kamu di mana sekarang?!”
Valeska menarik napas panjang sebelum menjawab. “Aku … di halte,” jawabnya singkat.
“Seharian kamu ke mana aja? Aku panik banget tahu nggak!”
“Aku main. Sendirian.” Kali ini, dia berbohong.
Sam menghela napas panjang. “Ya udah, sekarang kamu di halte mana?”
“Jalan Patimura.”
“Tunggu di sana! Aku jemput sekarang juga!”
“Nggak usah. Aku pulang sendiri aja.”
“Nggak bisa! Kamu tunggu aku, paham? Pokoknya tunggu!” Sam tak memberikan ruang untuk penolakan sebelum memutus panggilan.
Valeska menurunkan ponselnya dan menghela napas berat. Dia menatap layar yang kini mati, lalu mulai mengusap matanya yang masih bengkak. Ditariknya kacamata dari tas, mengenakannya untuk menyamarkan wajah kusutnya.
Senyum, Valeska. Jangan sampai Sam curiga, katanya pada dirinya sendiri sambil memaksakan senyuman kecil di sudut bibirnya.
......................
Vincent baru saja keluar dari pintu rumah dengan langkah panjang dan terburu-buru. Wajahnya datar, tapi siapa pun yang kenal dekat dengannya bisa membaca bahwa dia sedang memendam marah. Saat dia hampir sampai ke mobil, suara Megan memanggilnya.
“Vin, bisa anterin aku pulang?” pinta Megan yang menyusul dengan langkah tergesa-gesa.
Vincent menghentikan langkahnya, tapi tidak menoleh. “Gak bisa. Gue ada urusan,” jawabnya singkat tanpa basa-basi.
Megan tidak menyerah. “Cuma sebentar, kok."
“Gue bilang gak bisa!” Vincent memotong dengan nada dingin sebelum membuka pintu mobilnya dan masuk tanpa menunggu reaksi Megan. Pintu mobil tertutup dengan bunyi keras, seakan menggambarkan perasaannya yang campur aduk.
Vincent menyalakan mesin dan melajukan mobilnya, meninggalkan Megan berdiri terpaku di depan rumah Melani. Tapi bukannya kesal, Megan malah tersenyum tipis. Matanya berbinar saat pikirannya melayang ke pernikahan yang tinggal satu bulan lagi. “Sabar, Megan. Sebentar lagi semua akan jadi milik lo,” gumamnya, membayangkan dirinya sebagai istri CEO muda yang kaya raya.
Di dalam mobil Vincent
Tangannya meraih ponsel yang tergeletak di jok samping, lalu menekan nomor Desta.
“Halo?” suara Desta terdengar santai di ujung sana.
“Lo lagi di mana?” tanya Vincent langsung, tanpa basa-basi.
“Di rumah. Kenapa? Mau ke bar bentar lagi, sih.”
“Gue ikut,” kata Vincent tegas sambil menyalakan lampu sein untuk menyalip.
“Bukannya lagi makan malam di rumah nyokap?” Desta terdengar heran.
“Jangan banyak tanya. Ketemuan di bar aja, oke?” jawab Vincent ketus.
Desta tertawa kecil, sudah terbiasa dengan mood Vincent yang bisa berubah seperti cuaca. “Oke. Ada apa, sih? Masalah apa lagi?”
Vincent menghela napas panjang. “Valeska.”
Nada Desta langsung berubah serius. “Kenapa sama dia?”
“Dia tahu gue yang tidur sama dia waktu itu,” jawab Vincent, suaranya rendah dan penuh penyesalan.
“What? Seriusan lo?” Desta terdengar kaget.
“Ini semua gara-gara nenek sihir itu!” geram Vincent sambil menggertakkan giginya.
“Tante Melani?” tebak Desta, nada suaranya berubah menjadi prihatin.
Vincent tidak menjawab. Sebagai gantinya, dia menekan tombol merah di layar ponsel, mengakhiri pembicaraan. Dengan emosi yang masih menguasai, dia menginjak pedal gas lebih dalam, ingin segera sampai di bar untuk melampiaskan semua kekesalannya.
......................
Di halte jalan Patimura.
Mobil hitam berhenti di depan halte tempat Valeska duduk. Gadis itu mendongak, mengenali pemilik mobil tersebut sebelum pintunya terbuka.
“Sam,” sapa Valeska lemah, berdiri dengan langkah pelan mendekati Sam yang baru keluar dari mobil.
Sam langsung memperhatikan wajahnya. “Val, apa yang udah terjadi? Bibir kamu samp berdarah, itu—” Sam mendekat dengan ekspresi panik, ingin memastikan keadaannya.
Valeska tersentak. Baru sekarang dia sadar kalau sudut bibirnya masih perih. Ah, pasti ini bekas tamparan dari salah satu lelaki yang menculiknya. Dia segera mencoba memberi alasan. “Aku jatuh,” katanya sambil memalingkan wajah.
“Lo bohong,” potong Sam tajam, matanya menatap penuh rasa khawatir.
“Sam, aku beneran jatuh. Jangan pikir yang aneh-aneh.”
Sam menghela napas, menekan rasa kesalnya. “Lo di mana aja seharian? Gue nyariin lo ke mana-mana!”
Valeska tidak ingin memperpanjang kebohongan. “Aku cuma lagi jalan-jalan sendiri. Cari udara segar.”
“Jalan-jalan sampe matiin HP? Serius, Val?” Nada suara Sam jelas-jelas penuh rasa kesal bercampur khawatir.
Valeska hanya bisa diam. Dia tidak punya energi untuk membela diri lebih jauh. “Aku udah bilang tadi, aku lagi pengen sendiri.”
Sam memandangnya lama, seolah mencoba membaca pikiran Valeska. “Ya sudah, gue anter pulang.”
“Nggak usah, Sam. Aku bisa pulang sendiri,” tolak Valeska dengan nada memohon.
“Val. Jangan ngeyel!” Suara Sam tegas, mengunci setiap kemungkinan untukValeska berdebat.
Valeska tidak punya pilihan. Dia mengangguk kecil, membiarkan Sam mengambil alih keputusan. Namun, sebelum dia sempat mengucapkan terima kasih, pintu mobil Sam tiba-tiba terbuka dari sisi penumpang depan.
Valeska menoleh dengan rasa penasaran bercampur gugup. Seorang perempuan turun dari mobil. Tingginya semampai, rambut panjangnya diikat rapi. Wajahnya cantik, dengan senyum ramah yang terasa menusuk hati Valeska.
"I–itu siapa, Sam?" tanya Valeska dengan suara gagap.
“Ini Yura,” jawab Sam santai, tanpa sadar menghancurkan hati Valeska lebih jauh.
...****************...
inget,Val!! jngan mudah melunaak 😎
udah lah Val emang paling bener tuh mnyendiri dulu,sembuhin dulu semuanya smpe bner" bs brdamai dg keadaan tp engga dg manusianya😊💪
bpak mau daftar??🙂