Jangan lupa mampir di Fb otor (Mima Rahyudi)
**
**
**
“Dad! Aku ingin kita akhiri hubungan kita!” seru Renaya tiba-tiba.
“Kenapa, baby?” tanya Mario.
“Aku nggak nyaman sama semua sikap Daddy,” jawab Renaya
“Kita tidak akan pernah berpisah, baby. Karena aku tidak akan melepaskan kamu.”
Hidup Renaya seketika berubah sejak menjalin hubungan dengan Mario, pria matang berusia 35 tahun, sementara usia Renaya sendiri baru 20 tahun. Renaya begitu terkekang sejak menjadi kekasih Mario, meski mungkin selama menjadi kekasihnya, Mario selalu memenuhi keinginan gadis cantik itu, namun rupanya Mario terlalu posesif selama ini. Renaya dilarang ini dan itu, bahkan jika ada teman pria Renaya yang dekat dengan sang kekasih akan langsung di habisi, dan yang paling membuat Renaya jengkel adalah Mario melarang Renaya untuk bertemu keluarganya sendiri. Sanggupkan Renaya menjalani hidup bersama Mario? Kenapa Mario begitu posesif pada Renaya? Ada rahasia apa di balik sikap posesif Mario?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mima Rahyudi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Malam itu, Renaya bersandar santai di dada Mario. Mereka berdua tiduran di sofa besar di ruang keluarga apartemen mereka. Televisi menyala menampilkan film romantis, tapi perhatian Renaya sepenuhnya pada Mario. Dia menggeliat manja, memeluk pinggang pria itu erat sambil memainkan ujung kemejanya.
“Daddy...” panggilnya lembut.
“Hm?” Mario menoleh sedikit, matanya separuh tertutup karena lelah, tapi tangannya tetap mengelus punggung Renaya dengan lembut.
“Tadi aku lihat Tante Bella,” kata Renaya tiba-tiba.
Mario yang tadinya tampak santai langsung terjaga sepenuhnya. “Dimana?” tanyanya cepat, nada suaranya berubah serius.
“Di mall. Tapi dia nggak sendiri, Daddy,” jawab Renaya, menaikkan kepalanya sedikit untuk melihat reaksi Mario.
“Dengan siapa?” tanya Mario lagi, rahangnya mengeras.
“Cowok. Mereka kelihatan mesra,” ungkap Renaya dengan polos, lalu menambahkan dengan sedikit kerutan di dahinya. “Apa Tante Bella selingkuh dari Papi ya?”
Mario menarik napas panjang, mencoba meredam emosinya. “Soal itu Daddy tidak tahu, Ren. Tapi kalaupun iya, ya itu salah Papimu sendiri. Dia bodoh mau percaya dengan wanita seperti Bella.”
Renaya memiringkan kepalanya, menatap Mario dengan penasaran. “Kalau begitu, kenapa dulu Daddy juga jadi kekasih Tante Bella?”
Pertanyaan itu menghentak Mario. Dia menoleh cepat, menatap Renaya dengan mata sedikit melebar. “Dari mana kamu tahu soal itu, sayang?” tanyanya, suaranya terdengar sedikit gugup.
Renaya tersenyum kecil, seperti merasa puas karena berhasil membuat Mario terkejut. “Kak Anne yang cerita,” jawabnya santai. “Rupanya Kak Anne sudah ikut sama Daddy sejak beberapa tahun lalu, ya?”
Mario menghembuskan napas kasar, jelas terganggu dengan arah pembicaraan ini. “Anne memang suka bicara lebih dari yang diperlukan,” gumamnya sambil mengusap wajahnya dengan tangan.
“Tapi benar kan, Daddy?” Renaya mendesak, memandang Mario dengan mata berbinar penuh rasa ingin tahu.
Mario terdiam sejenak, lalu mengangguk perlahan. “Anggap saja Daddy dulu bodoh karena mencintai Bella,” katanya akhirnya.
“Kenapa Daddy bilang begitu? Apa Bella pernah menyakiti Daddy juga?” Renaya bertanya, suaranya lebih lembut sekarang.
Mario menatap Renaya dengan tatapan campur aduk antara rasa penyesalan dan kekesalan. “Bella itu manipulatif, sayang. Dia hanya peduli pada dirinya sendiri. Daddy baru sadar itu setelah semuanya terlambat.”
Renaya mengangguk pelan, mencoba mencerna apa yang baru saja dia dengar. “Kalau begitu, kenapa Papi Arnold malah menikahinya?”
Mario tersenyum tipis, tapi senyumnya tidak sampai ke matanya. “Papimu selalu berpikir dia bisa memiliki segalanya, termasuk wanita seperti Bella. Tapi dia lupa, apa yang terlihat berkilau belum tentu emas, Ren.”
Renaya memiringkan kepalanya lagi, menyentuh wajah Mario dengan lembut. “Tapi Daddy nggak perlu khawatir. Aku tahu Daddy lebih baik dari Papi. Daddy itu hebat,” katanya dengan senyum hangat.
Mario memeluk Renaya lebih erat, mengecup keningnya dengan lembut. “Terima kasih, sayang. Daddy cuma ingin kamu tahu, Daddy akan selalu ada buat kamu. Itu yang terpenting.”
Meskipun obrolan tentang Bella berakhir di situ, bayangan wanita itu masih terlintas di benak Mario.
Renaya mengangkat kepalanya, menatap Mario dengan mata penuh rasa ingin tahu. “Dad,” panggilnya pelan.
“Hm?” sahut Mario sambil mengelus punggungnya.
“Apa jangan-jangan Tante Bella masih berharap bisa sama Daddy lagi?” Renaya bertanya dengan nada serius, meskipun wajahnya menyiratkan sedikit rasa geli.
Mario terdiam sesaat, lalu mengerutkan alis. “Kenapa kamu berpikir begitu, Ren?” tanyanya, mencoba memahami jalan pikir anak angkatnya itu.
“Soalnya tadi waktu aku ketemu dia di mall, dia kayak… iri gitu,” jawab Renaya sambil mengingat kejadian siang tadi. “Dia lihat aku belanja pakai kartu Daddy. Rasanya dia nggak suka lihat aku hidup enak.”
Mario tertawa kecil, meski nada tawanya terdengar sarkastis. “Iri? Tentu saja dia iri,” katanya sambil menggelengkan kepala. “Dia tahu Daddy lebih sukses dari Papi Arnold. Dan dia tahu Daddy nggak pernah benar-benar peduli lagi sama dia.”
Renaya memiringkan kepalanya, menatap Mario dengan lebih tajam. “Tapi kenapa Tante Bella sampai segitunya? Dia kan sudah punya Papi Arnold. Harusnya puas dong, kan Papi juga kaya.”
Mario tersenyum sinis. “Masalahnya, Ren, Bella bukan tipe wanita yang pernah merasa cukup. Dia selalu ingin lebih. Dan saat dia sadar dia kehilangan Daddy, dia mencoba mencari cara untuk menunjukkan kalau dia masih bisa mengganggu hidup Daddy. Itu sifat aslinya.”
Renaya mengangguk pelan, merenung sejenak. “Kalau dia masih berharap sama Daddy, terus Daddy gimana? Apa Daddy nggak terganggu?” tanyanya, nada suaranya terdengar khawatir.
Mario menatapnya dengan penuh keyakinan. “Tentu saja tidak, sayang. Daddy tidak peduli lagi sama Bella. Fokus Daddy sekarang hanya kamu. Kamu adalah segalanya buat Daddy.”
Wajah Renaya langsung cerah mendengar jawaban itu. “Baiklah, kalau Daddy bilang begitu, aku percaya. Tapi kalau Tante Bella ganggu lagi, aku bakal kasih tahu Kak Anne biar dia yang urus,” katanya dengan nada penuh semangat.
Mario tertawa, lalu mencium keningnya. “Kamu memang pintar, Ren. Jangan khawatir, Daddy nggak akan biarkan siapa pun, termasuk Bella, mengganggu hidup kita.”
Renaya tersenyum puas, kembali menyandarkan kepalanya di dada Mario. “Daddy memang yang terbaik,” katanya pelan, merasa lebih tenang sekarang.
**
**
**
Pagi itu, suasana di apartemen terasa tenang saat Mario dan Renaya duduk di meja makan. Mereka tengah menikmati sarapan pagi bersama, sesekali Renaya melirik ke arah Mario dengan ekspresi manja.
“Daddy, kenapa sih aku nggak boleh ketemu papiku?” tanya Renaya dengan nada menggoda. “Kan aku kangen banget sama dia, pasti dia kangen juga kan sama aku?” Renaya melanjutkan, berusaha merayu agar Mario melunak.
Mario hanya tersenyum tipis, namun raut wajahnya tetap tegas. “Sayang, Daddy nggak ingin kamu menemui Arnold. Ada banyak hal yang perlu kamu pahami dulu sebelum itu terjadi,” jawab Mario dengan lembut, meski penuh penekanan.
Renaya tampak kecewa, namun dia memilih untuk tidak membantah, meskipun sedikit kesal. Mereka melanjutkan sarapan dengan keheningan yang agak canggung, hingga bel apartemen tiba-tiba berbunyi, memecah keheningan itu.
Mario bangkit dari kursinya dengan senyum yang terlihat berbeda. “Sebentar, sayang,” kata Mario sambil melangkah menuju pintu.
Renaya yang penasaran ikut menoleh saat Mario membuka pintu. Ternyata, di depan pintu ada Anne, yang tiba-tiba datang dengan wajah serius.
“Renaya, Daddy ingin kamu ketemu seseorang,” kata Mario sambil tersenyum pada Renaya.
Renaya terkejut, namun langsung menatap Mario dengan pandangan penuh pertanyaan. “Siapa, Daddy?” tanyanya penasaran.
Mario hanya mengangguk sedikit, memberi isyarat agar Renaya mengikuti keinginannya, meskipun ada sedikit kebingungannya. “Ayo, sayang. Ikuti Daddy, dan lihat siapa yang ingin bertemu denganmu,” ujar Mario dengan nada yang lebih serius.
Renaya menatap Mario sejenak, kemudian berdiri dan mengikuti langkahnya, dengan perasaan campur aduk tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.
Mario tersenyum melihat reaksi Renaya yang terlihat terkejut. Dengan langkah tenang, dia mendekati pria yang berdiri di ruang tamu, memberikan isyarat agar Renaya juga mendekat.
“Renaya, ini seseorang yang ingin kamu temui,” kata Mario, matanya tetap fokus pada pria itu.
Renaya melangkah maju dengan sedikit kebingungan. Pria itu tampak biasa saja, mengenakan pakaian yang sangat sederhana, namun senyum ramah di wajahnya membuat Renaya merasa sedikit lebih tenang.
Siapa dia? Kenapa Daddy tidak memberitahuku sebelumnya? tanya Renaya dalam hati.
Pria itu melihat ke arahnya dan tersenyum lebih lebar. “Halo, Renaya. Nama saya Daniel,” kata pria itu, dengan nada lembut namun penuh kehangatan.
Renaya tampak bingung dan menatap Mario, kemudian kembali ke pria itu. "Si-siapa, Dad?" tanya Renaya, suaranya terdengar ragu.