Daren begitu tergila-gila dan rela melakukan apa saja demi wanita yang di cintainya, Tapi cintanya tak terbalas, Sarah yang di cintai Daren hanya mempunyai secuil perasaan padanya, Di malam itu semua terjadi sampai Sarah harus menanggung akibat dari cinta satu malam itu, di sisi lain keduanya mau tidak mau harus menikah dan hidup dalam satu atap. Bagaimana kelanjutan kisah Mereka. akankah Daren bisa kembali menumbuhkan rasa cinta di hatinya untuk Sarah? Dan apakah Sarah bisa mengejar cinta Daren?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon II, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lolos Begitu Saja
Sarah membuka mata, berusaha fokus menatap sekitar ruangan bercat putih, matanya yang masih kabur melirik selang infus yang berdiri kokoh di sampingnya.
"Aku di rumah sakit?" Kata Sarah pelan, berusaha bangun dan di sana ada suster.
"Bu, istirahat ya, jangan banyak bergerak, kandungan ibu sangat lemah. Hampir saja ibu keguguran." Kata si suster mengabarkan, menghalangi Sarah yang siap duduk.
Sarah menghela napas berat, Berbaring kembali dengan wajah pucat. Dalam keheningan Sarah bertanya kepada Suster yang sudah selesai memeriksa kondisinya.
"Sus, Suami saya di mana?" Sarah mengingat kembali, Daren tertembak dan entah bagian tubuh mana yang terkena, Yang ia ingat, Daren tersinggung setelah suara tembakan menggema.
"Suami? Anda datang di antar dua laki-laki, Setelah itu mereka kembali pergi." sahut si suster, memang itu yang dirinya ingat, Sarah datang di antar dua pria bertubuh besar, membawanya ke ruang IGD, mengatakan Kalau Sarah harus segera di tangani.
Sarah celingukan mencari seseorang di sana. Ternyata di dalam ruangan dirinya hanya sendirian. Hatinya bertanya. Kemana para pelayan rumah? Tidak adakah yang menemaninya.
"Sus? Sekarang jam berapa?" Tanya Sarah lagi. Melirik jam di dalam ruangan, anehnya tak ada jam di sana. Atau mungkin lupa meletakkan jam di dalamnya.
Suster melirik jam di tangannya. "Sekarang sudah jam 9 malam, anda harus istirahat Bu,"
Sarah menggeleng cepat. "Saya harus menemui suami saya, jangan halangi Saya." tubuhnya yang ringkih berusaha bangkit, selang infus yang mulai mengeluarkan darah di biarkan, bahkan tangan suster yang menarik lengan Sarah tak di hiraukan. Sarah terus berjalan sembari terisak, menatap lesu pintu ruangan yang tertutup rapat.
"Daren, tunggu aku."
"Bu, Bu, anda harus istirahat, Saya mohon pikirkan janin anda." Teriak Suster, berusaha menyadarkan Sarah, tapi Sarah tetap berjalan.
Sampai di ambang pintu Sarah merasakan pusing, perlahan tubuhnya terkulai, berbarengan dengan itu, Satu sosok pria datang dan menangkap tubuh Sarah.
Pria tampan itu berseru sembari menatap Sarah yang kini kembali pingsan. "Kedua kalinya aku menangkap mu."
Si suster menghela napas lega. Melihat Sarah yang tak jadi tergeletak di lantai, ia tersenyum sembari berkata. "Terimakasih, anda datang di waktu yang tepat, Bu Sarah tadi minta ke luar, Bu Sarah menanyakan keberadaan suaminya Pak, Kalau saya boleh tau, di mana suami Bu Sarah." terlihat wajah wanita berpakaian serba biru muda itu begitu penasaran, apalagi Sarah datang tanpa sanak saudara yang menemani. Hanya laki-laki yang ada di depannya ini sedari tadi menemani. Ketika di tanya apakah ia suami Sarah? laki-laki berjas itu menggeleng.
Pria tampan itu bukannya menjawab, dirinya sibuk mengangkat Sarah dan membaringkan tubuh Sarah kembali ke atas ranjang perawatan.
"Suaminya, bersama ayahnya, Sarah adalah anak dari bos besar perusahaan Astraa internasional, di mana saya bekerja," Pria tampan nan tinggi itu melirik si suster membawa senyuman hambar. "Tolong jaga dia, saya akan kembali nanti."
Suster itu mengangguk sopan dan membiarkan pria itu pergi.
"Pak? Kalau boleh tau siapa nama anda? Biar nanti kalau-
"Nama saya Haikal,"
Haikal lantas melenggang pergi sembari menghidupkan ponselnya, ia sibuk di sana.
"Jesica, Sarah tadi sudah sadar, tapi dia kembali pingsan, kalau kamu sudah tiba di Indonesia, segera datang ke rumah sakit, dia sendirian."
"Ok, bagaimana dengan Daren?"
Haikal menggelengkan kepala. "Aku sedang mencari informasi rumah sakit mana dia di rawat, Pak Darwin sepertinya sengaja ingin menjauhkan Sarah dan Daren."
Di sebrang telepon Jesica terisak.
"Haikal, aku mohon bantu Sarah, jangan biarkan Pak Darwin memisahkan mereka."
"Aku tidak bisa berjanji, Jesica, sebenarnya ini bukan tugasku, tapi Pak Fadli memintaku, jadi-
"Aku mengerti, tapi sebelum aku datang aku mohon jangan tinggalkan Sarah,"
"Ok,"
Panggilan terputus, Haikal menghentikan langkah kakinya, ia menatap datar ponsel yang masih menyala. "Di mana Daren aku pun tidak tau, para pelayan kenapa tidak ada yang menemani Sarah?"
Haikal terus menunggu informasi dari orang kepercayaannya, bahkan Pak Dodi sekretaris mendiang Pak Anjas masih belum memberi informasi apapun tentang Daren, Daren seperti di telan bumi. Kemana gerangan Pak Darwin membawa Daren itu menjadi misteri.
Sementara di mansion Pak Anjas, para pelayan tak bisa duduk tenang, mereka hanya bisa diam di mansion setelah anak buah Pak Darwin tidak mengizinkan dari mereka menemani Sarah, karena takut mereka hanya bisa diam, beruntung ada Haikal dan Jesica.
...
Rumah sakit Siloam...
Ruang ICU...
Pak Darwin merenung di samping ranjang perawatan, Matanya terus menitihkan air mata. Meratapi tubuh sang putra yang kini terbaring lemah dengan berbagai selang menjalari tubuhnya.
Tangannya mengepal kuat jika mengingat kejadian tadi pagi. Kejadian di mana Saudara sekaligus rekan kerja yang merangkak menjadi calon besannya dengan sadar melukai sang putra tercinta. "Sungguh Dahlan, aku tidak akan memaafkan kamu atas perbuatanmu pada anakku,"
Daren di bawa ke rumah sakit lain dengan Sarah. Pak Darwin yang tengah kalang kabut masih sempat tidak menyatukan Sarah dan Daren di satu rumah sakit, setelah apa yang terjadi laki-laki bule itu masih kekeh saja, Pukul 9 pagi Daren langsung di bawa ke ruang operasi untuk mengangkat peluru yang bersarang di tubuhnya, Dokter bekerja keras berlomba dengan waktu. Daren yang kehilangan banyak darah hampir saja menemui ajalnya beruntung stok Darah di rumah sakit Siloam melimpah jadi tidak ada drama mencari darah.
Pukul 3 sore Daren keluar dari ruang operasi, karena kondisinya masih kritis Daren di bawa ke ruang ICU, di sana Pak Darwin harus menerima kenyataan pahit bahwa Daren koma.
Pak Darwin menoleh kearah suara, dokter jaga datang menghampiri berserta satu laki-laki yang ia kenal..
"Terimakasih." ucap laki-laki itu kepada dokter jaga.
Dokter jaga undur diri meninggalkan Pak Darwin dan laki-laki itu..
"Daren koma." Satu kata yang terlontar lesu, membuat hati Pak Darwin kembali remuk..
Pria itu mengangguk penuh kesedihan, untuk lebih dekat lagi rasanya sulit, karena ranjang perawatan Daren begitu memilukan jika di perhatikan lebih dekat lagi.
"Saya turut prihatin Pak, Kabar ini mungkin juga tidak terlalu berarti untuk anda, tapi Pak Dahlan juga koma."
Pak Darwin merenung. Beberapa kali asik menghela napas enggan menjawab kabar yang di bawa laki-laki itu.
"Pak, Saya mohon maaf, tapi Nona Sarah juga harus tau tenang kondisi Den Daren, Saya mendapatkan informasi dari Haikal, kalau Nona Sarah sudah sadar, Tapi Nona Sarah kembali pingsan karena mencari keberadaan Den Daren." Papar laki-laki berjas hitam itu.
Pak Darwin masih diam, ia memijat keningnya yang terasa pusing, ini sudah jam 10 malam, ia masih siaga di samping Daren yang lemah, untuk mengisi perut atau sekedar berganti baju pun rasanya enggan di lakukan. Putra semata wayangnya tengah berbaring koma. Sungguh pelik hati Pak Darwin saat ini.
"Dodi?" Panggil Pak Darwin.
Laki-laki yang sedari tadi berdiri itu ternyata pak Dodi sekertaris mendiang Pak Anjas. Ia datang ke rumah sakit setelah mendapatkan informasi dari asisten Pak Darwin. Mengabarkan kalau Daren berada di rumah sakit Siloam, ia di beri tau dengan catatan tidak memberi tau siapapun, di samping itu Pak Darwin juga yang mengijinkan.
Pak Dodi mendekat. "Saya Pak."
"Aku tidak akan meminta saham kepada perusahaan Astraa internasional. Aku tidak akan meminta perusahaan Astraa internasional mengganti uang yang pernah aku pinjamkan tapi dengan catatan."
Pak Dodi semakin mendekat. "Apa itu Pak?"
Pak Darwin menatap lekat wajah Pak Dodi yang senantiasa menunggu. "Beri tau Fadli, agar Sarah mau menandatangani surat perceraian, Aku akan membawa Daren ke luar negeri untuk melanjutkan pengobatan," Pak Darwin kini melirik Daren yang terbaring. "Hatinya terkena peluru, dia koma dan dokter mengatakan tidak bisa menjamin Daren akan selamat, aku sudah mendapatkan informasi rumah sakit di luar negeri yang bisa menangani Daren sampai dia sembuh. Jadi aku minta agar kamu menyampaikan pesanku. Suka tidak suka, Sarah harus bercerai dengan Daren, di samping itu perusahaan Anjas akan selamat. Kalian bisa hidup tenang,"
Mendengar itu Pak Dodi tertunduk lesu, ia tidak mengangguk membenarkan atau mengucapkan terimakasih. Ini tentang perasaan yang secara tidak langsung sudah di libatkan dalam politik antar perusahaan. Bagaimana mengabarkan tentang ini kepada Fadli atau lebih tepatnya bagaimana respon Sarah nanti.
"Pergilah, sampaikan pesanku, sebelum aku membawa Daren, aku akan menemui Sarah. Jangan katakan itu, aku sendiri yang akan menemui Sarah."