Fitri terpaksa bersedia ikut tuan Tama sebagai jaminan hutang kedua orang tuanya yang tak mampu mwmbayar 100 juta. Dia rela meski bandit tua itu membawanya ke kota asalkan kedua orang tuanya terbebas dari jeratan hutang, dan bahkan pak Hasan di berikan uang lebih dari nominal hutang yang di pinjam, jika mereka bersedia menyerahkan Fitri kepada sang tuan tanah, si bandit tua yang beristri tiga. apakah Fitri di bawa ke kota untuk di jadikan istri yang ke 4 atau justru ada motif lain yang di inginkan oleh tuan Tama? yuk kepoin...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arish_girl, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kecemasan Arumi
"nenek, dimana Fitri? kenapa dari kemarin Devan tak melihat Fitri. Apa dia sakit?" tanya Devan begitu Arumi datang berkunjung ke kamar cucunya.
"apa? dari kemarin Fitri tidak ke sini?" Arumi terkejut.
"iya nek. Devan sama sekali tak melihatnya." sahut Devan.
"Baiklah, kamu tenang saja dulu. Biar nenek akan ke belakang untuk mencari tau. Kamu kangen ya sama gadis itu?" Arumi mengalihkan ketegangan Devan dengan menggodanya.
"apaan sih, Nek. Bukan begitu. Devan hanya merasa cemas saja. Kan biasanya Fitri selalu ke kamar ini buat nganter makanan." kata Fahri.
"terus, siapa yang antar makanan ke kamar ini?" tanya Arumi.
"kemarin Susan, trus malamnya Intan."
"kira kira kemana ya Fitri?" gumam Arumi. "ya sudah, biar nanti nenek akan panggil dia. oh ya gimana perkembangan kaki kamu?" tanya Arumi.
"Alhamdulillah, nek. lumayan. Sekarang aku sudah bisa berdiri, meski masih belum bisa melangkah." Devan tersenyum, ia sangat bahagia dengan perkembangan kakinya yang lumpuh.
"nenek ikut senang. Fitri memang hebat, ya? Padahal dia kan bukan dokter ataupun tenaga ahli kesehatan." gumam Arumi.
"iya, nek. Sejak ada Fitri, lumayan lah. Dia selalu menyemangati aku. Fitri juga seakan menyembuhkan rasa percaya diri aku yang telah lama mati." Devan menatap ke arah sang nenek, ada rasa binar bahagia di saat ia mulai menceritakan tentang sosok Fitri.
"coba cerita, bagaimana Fitri bisa melakukan semua ini pada kamu?" Arumi ingin tau bagaimana cara Fitri memperlakukan Devan cucunya sehingga Devan bisa kembali bersemangat untuk bisa sembuh.
"Gak banyak sih, nek. Fitri setiap hari hanya memberikan Devan kompres air hangat di kaki, kemudian memijat nya dengan perlahan. Kemudian Fitri meminta Devan untuk berdiri dan meminta Devan melakukan pergerakan pergerakan senam pagi dan peregangan sebelum tidur." Devan menceritakan bagaimana cara Fitri selama ini merawatnya.
"Sepertinya gadis itu akan membawa perubahan besar dalam hidup kamu, nak. Nenek berharap kau bisa sembuh dengan keajaiban tangannya." Arumi mengelus lembut pundak Devan. Ada binar harapan besar di mata tua Arumi akan kesembuhan penerusnya ini.
"Nek, maukah nenek memegang suatu rahasia?"
Dahi Arumi tampak berkerut, suatu rahasia yang ingin di sampaikan oleh cucunya.
"apa itu sayang?"
"obat yang selama ini nenek berikan pada Devan itu obat apa?" tanya Devan sebelum memulai ceritanya.
"obat? ya tentu itu obat dari dokter yang selama ini merawat kamu, lah. Memangnya obat apaan?" Arumi terkekeh, merasa pertanyaan itu konyol.
"Nenek tau gak, kenapa aku bisa cepat sembuh?"
"lah kok masih bertanya. Kan tadi kamu bilang karena terapi dari Fitri, bukan?" Arumi semakin bingung, kemana arah pembicaraan dari cucunya.
"itu memang benar, nek. Tapi, ini semua karena Devan tidak lagi mengkonsumsi obat dari dokter itu. Ini bukan obat, nek. Tapi, obat itulah yang justru telah menghambat kesembuhan dari Devan." tutur Devan. Di setiap kata kata Devan ada nada serius yang tak main main.
"apa? bagaimana bisa? itu adalah dokter kepercayaan kakekmu. Dia sendiri yang mencarikan dokter terbaik untuk kesembuhan kamu. Bagaimana kamu bisa tau semua itu?" Arumi semakin heran dan tak mengerti. Bagaimana bisa kinerja dokter terbaik yang di bawa suaminya untuk merawat sang cucu malah di ragukan.
"Fitri lah yang menyadarkan aku semuanya, nek. Biar Devan buktikan." Devan mengambil beberapa butir obat yang sengaja tak ia konsumsi dan di simpan. Ia genggam semua jenis obat obatan itu, kemudian tangannya mengetik nama obat, ia pun mulai mencari kegunaan dari obat obatan itu di google. Semua hasil penelusuran itupun keluar, Devan memberikan ponsel itu agar sang nenek membacanya.
"apa? ini tidak mungkin?!!" bila mata Arumi membesar, ia tak percaya tapi memang kenyataannya seperti itu.
"bagaimana menurut nenek?" tanya Devan.
"bagaimana gadis desa itu bisa tau semuanya? apakah dia juga pernah belajar sebagai tenaga medis di kampungnya?"
"entahlah, nek. itu tidak penting. Yang terpenting sekarang, kita sudah tau. Tapi, nenek harus berjanji, nenek tidak akan menceritakan semua ini kepada siapapun, termasuk pada kakek. Cukup aku nenek dan Fitri yang tau." kata Devan.
"Tapi kenapa kakekmu tidak boleh tau? Seharusnya dia harus tau, karena dialah yang mencarikan dokter itu untukmu." kata Arumi.
"tidak, nek. Untuk saat ini, aku tidak bisa percaya pada siapapun. Aku hanya mau fokus pada kesembuhan ku dulu, baru setelah itu aku akan mencari tau, siapa sebenarnya penghianat yang berada di rumah ini." keinginan Devan mantap.
"baiklah, nak. Nenek janji tidak akan menceritakan apapun kepada kakekmu. Nenek percaya sama kamu. Tapi, kamu harus janji untuk selalu berhati-hati, ya nak. Jaga dirimu untuk nenek. Kamu adalah satu satunya harapan nenek. Nenek di sini bertahan itu semua karena kamu." kata Arumi dengan lembut. Banyak harapan yang ia gantungkan pada sosok Devan sang penerus.
"tentu, nek. Do'akan selalu Devan, nek."
"iya, nak. Doa nenek selalu untuk kamu. oh Iya, nenek keluar dulu, nenek mau cari Fitri. Kira-kira kemana gadis itu."
"baik, nek. Dan ingat untuk selalu menjaga rahasia kita." Devan mengingatkan.
Detik berikutnya, Arumi pun keluar dari kamar Devan, ia berniat ke belakang untuk mencari Fitri. Saat hendak masuk ke dapur, Arumi ketemu Lastri, asisten paling tua di rumah itu.
"Lastri, dimana Fitri?"
"Fitri?" dahi Lastri tampak berkerut. Bahkan Lastri sendiri juga sampai tak menyadari bahwa ia juga tidak melihat Fitri. Di rumah besar itu ada lima pekerja wanita dan lima pekerja laki-laki.
"iya, Fitri. Kamu tidak melihatnya?" tanya arumi.
"iya, nyonya. Mungkin di kamarnya. Dari kemarin saya juga tidak melihatnya, nyonya. Coba tanya sama susan atau sama Intan. Kamar mereka kan berdekatan, nyonya. Barangkali Fitri sakit." sahut Lastri dengan ramah.
Arumi terus melangkah masuk ke area belakang yang memang di khususkan untuk kamar pembantu. Arumi langsung masuk dan menuju ke tiga kamar yang memang berdampingan. Itu adalah kamar Susan, Intan dan juga Fitri. Masing-masing kamar di huni oleh satu orang pembantu. "Intan, kamu lihat Fitri?" tanya Arumi begitu ia berpapasan dengan Intan.
"Fitri pembantu baru itu ya nya?" tanya Intan.
"iya, apa kamu melihatnya?" tanya Arumi.
"itu kamarnya, nyonya. barangkali dia di dalam." sahut Intan.
"coba bantu saya, periksa ke dalam kamarnya. Siapa tau dia di dalam." suruh Arumi.
"Baik nyonya." Intan pun langsung melangkah menuju ke kamar yang bersebelahan dengan kamarnya.
tok.. tok... tok...
"Fitri...! apa kau di dalam?" tanya Intan.
Sepi, tidak ada sahutan dari dalam kamar itu,
"Coba di buka saja, Tan. kok aku cemas. Aku khawatir terjadi sesuatu pad Fitri." suruh Arumi, ia tak bisa menyembunyikan kecemasannya.
"baik, nyonya!" Intan pun akhirnya mendorong daun pintu kamar itu untuk melihat Fitri di dalam.