**Prolog**
Di bawah langit yang kelabu, sebuah kerajaan berdiri megah dengan istana yang menjulang di tengahnya. Kilian, pangeran kedua yang lahir dengan kutukan di wajahnya, adalah sosok yang menjadi bisik-bisik di balik tirai-tirai istana. Wajahnya yang tertutup oleh topeng tidak hanya menyembunyikan luka fisik, tetapi juga perasaan yang terkunci di dalam hatinya—sebuah hati yang rapuh, terbungkus oleh dinginnya dinding kebencian dan kesepian.
Di sisi lain, ada Rosalin, seorang wanita yang tidak berasal dari dunia ini. Takdir membawanya ke kehidupan istana, menggantikan sosok Rosalin yang asli. Ia menikah dengan Kilian, seorang pria yang wajahnya mengingatkannya pada masa lalunya yang penuh luka dan pengkhianatan. Namun, di balik ketakutannya, Rosalin menemukan dirinya perlahan-lahan tertarik pada pangeran yang memikul beban dunia di pundaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon d06, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 30
Rosalin berjalan perlahan di taman istana yang gelap, diterangi hanya oleh cahaya bulan. Udara dingin malam menyentuh kulitnya, membuatnya sedikit menggigil. Ia merapatkan selendang tipis di bahunya, mencoba mengatur napasnya yang berat.
Ia ingin mencari ketenangan, menghindari pikirannya yang berputar tentang hasil debat tadi. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat sosok lain di dekat air mancur.
“Rosalin?”
Suara lembut namun akrab itu membuatnya menoleh. Di sana, Wiliam berdiri dengan senyum kecil yang menghiasi wajahnya.
“Pangeran Wiliam?” Rosalin mengerutkan kening. “Apa yang Anda lakukan di sini malam-malam begini?”
Wiliam mendekatinya, tangannya terselip di balik jubahnya. “Mungkin alasan yang sama denganmu. Mencari udara segar. Tapi aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini.”
Rosalin menghela napas. “Saya juga tidak menyangka.”
Wiliam menatapnya sejenak, lalu bertanya, “Kenapa kau terlihat gelisah? Kau berjalan sendirian di malam hari. Ada apa, Rosalin?”
Rosalin menggigit bibirnya, ragu untuk menjawab. Tapi akhirnya ia berkata, “Saya hanya ingin memastikan bunga mawar di taman baik-baik saja. Kilian sangat menyukainya. Saya... ingin memastikan mereka tetap indah.”
bohong. Nyatanya Rosalin hanya merasa bersalah kepada Kilian, atas kekalah yang kilian dapatkan karena dirinya, walupun Kilian sudah mengatakan bahwa memang Wiliam dan Elena lebih unggul dalam hal ini di bandingkan dengan mereka, tetap saja Rosalin merasa bersalah.
Wiliam tertawa kecil, nada bicaranya hangat. “Kau benar-benar perhatian pada hal-hal kecil seperti itu. Tapi, Rosalin...”
Rosalin menatapnya, bingung. “Ada apa?”
Wiliam berhenti sejenak, matanya menatap langsung ke arahnya. “Kenapa kau berubah? Dulu kita bisa berbicara seperti teman, tanpa ada jarak. Sekarang, kau menjauhiku seolah aku ini... orang lain.”
Rosalin menghela napas panjang, menundukkan kepalanya sejenak. “Pangeran, saya tidak bermaksud menjauh. Saya hanya... menjaga batasan”
“batasan?” ulang Wiliam, nada suaranya kebingungan.
Rosalin mengangkat tatapannya, mencoba terlihat tegas meski hatinya sedikit bergetar. “Anda adalah pangeran, dan saya... istri kakak Anda. Saya merasa harus ada batasan di antara kita. Saya tidak ingin memberikan alasan bagi siapa pun untuk salah paham.”
Wiliam tampak terluka mendengar itu, meski ia berusaha menyembunyikannya dengan senyum tipis. “Jadi, status kita sekarang menjadi penghalang? Rosalin, aku tidak pernah melihatmu seperti itu sebelumnya.”
“Saya tidak bisa mengabaikannya,” jawab Rosalin tegas. “Anda dan Kilian adalah pangeran. Segala sesuatu yang kita lakukan akan diperhatikan banyak orang. Saya tidak ingin menimbulkan masalah bagi Anda atau Kilian.”
Wiliam terdiam, tatapannya berubah menjadi lembut namun sedih. “Aku mengerti. Tapi aku hanya berharap, kau tetap menganggapku sebagai teman, meskipun semuanya kini berbeda.”
Rosalin mengangguk pelan. “Saya tidak pernah melupakan itu. Tapi, demi semua orang, saya pikir ini yang terbaik.”
...***...
Di sisi lain istana, Elena berjalan melewati lorong menuju kamar Kilian. Ia sudah memperhatikan Rosalin dan Wiliam sejak awal, dan rencananya mulai terbentuk. Dengan senyum tipis penuh rencana, ia mengetuk pintu kamar Kilian.
Ketika pintu terbuka, Kilian muncul dengan wajah lelah. Topengnya sudah dilepas, memperlihatkan guratan kutukan di wajahnya. “Ada apa, Elena?” tanyanya dengan suara datar.
“Aku tidak ingin mencampuri urusanmu, Kilian,” kata Elena dengan nada seolah-olah ia penuh perhatian. “Tapi... aku melihat sesuatu yang mungkin ingin kau ketahui.”
Kilian menatapnya curiga. “Bicara terus terang, Elena.”
Elena berpura-pura ragu sejenak, lalu melanjutkan, “Aku melihat Rosalin di taman... bersama Wiliam. Aku pikir, sebagai suaminya, kau harus tahu.”
Mata Kilian langsung menegang mendengar nama Rosalin dan Wiliam disebut bersamaan. Ia meraih jubah hitamnya dan berjalan melewati Elena tanpa berkata apa-apa.
...***...
"sepertinya ini sudah terlalu larut malam, saya izin untuk kembali ke kamar saya, mari pangeran Wiliam,” ucap Rosalin sambil menundukkan kepala dengan sopan.
Namun, sebelum ia sempat melangkah pergi, suara langkah berat terdengar dari belakang. Rosalin menoleh dan terkejut mendapati Kilian berdiri di sana. Tatapan matanya dingin dan menusuk, membuat Rosalin merasa kecil di hadapannya.
“Kilian!” Rosalin memanggil dengan nada cemas.
Kilian tidak langsung menjawab. Matanya berpindah dari Rosalin ke Wiliam, dan kembali ke Rosalin. “Apa yang sedang kalian lakukan di sini?” tanyanya dengan suara rendah, namun jelas menyimpan kemarahan.
Rosalin segera menjelaskan, “Kami hanya kebetulan bertemu, Kilian. Tidak ada yang—”
Namun, Wiliam memotong. “Aku yang memulai percakapan, Kilian. Rosalin hanya keluar mencari ketenangan. Jika ada yang harus disalahkan, itu aku.”
Kilian melangkah mendekat, menghentikan Wiliam dengan tatapan tajam. “Aku tidak peduli siapa yang memulai. Rosalin adalah istriku, dan kau seharusnya tahu batasan, Wiliam.”
Rosalin merasa semakin tertekan. “Kilian, tolong dengarkan aku. Ini tidak seperti yang kau pikirkan.”
Kilian akhirnya mengalihkan tatapannya ke Rosalin, tetapi ekspresinya tetap dingin. “Kau seharusnya ada di kamarmu, Rosalin. Bukan di sini, berbicara dengan pria lain di tengah malam.”
Sebelum Rosalin sempat menjawab, Kilian berbalik dan berkata dingin, “Ayo pulang.”
Rosalin mengikuti Kilian dengan rasa bersalah yang mendalam, sementara Wiliam hanya menghela napas, menatap Kilian dan Rosalin pergi. Dari sudut taman, Elena mengamati semuanya dengan senyum puas, merasa berhasil menyulut api kecemburuan Kilian.
Elena berpikir bukankah lebih baik jika hubungan mereka merenggang, mereka tidak akan fokus mengikuti kompetisi, itu adalah hal baik untuk dirinya dan Wiliam.
...***...
Terimakasih karena telah menjadi pembaca setia cerita silhoute of love ❤️
Jangan lupa untuk like komen dan vote ❤️
Jika sudah bosan tolong jangan di tinggalkan, mari kita perbaiki bersama-sama
semoga ceritanya sering update