Jangan lupa mampir di Fb otor (Mima Rahyudi)
**
**
**
“Dad! Aku ingin kita akhiri hubungan kita!” seru Renaya tiba-tiba.
“Kenapa, baby?” tanya Mario.
“Aku nggak nyaman sama semua sikap Daddy,” jawab Renaya
“Kita tidak akan pernah berpisah, baby. Karena aku tidak akan melepaskan kamu.”
Hidup Renaya seketika berubah sejak menjalin hubungan dengan Mario, pria matang berusia 35 tahun, sementara usia Renaya sendiri baru 20 tahun. Renaya begitu terkekang sejak menjadi kekasih Mario, meski mungkin selama menjadi kekasihnya, Mario selalu memenuhi keinginan gadis cantik itu, namun rupanya Mario terlalu posesif selama ini. Renaya dilarang ini dan itu, bahkan jika ada teman pria Renaya yang dekat dengan sang kekasih akan langsung di habisi, dan yang paling membuat Renaya jengkel adalah Mario melarang Renaya untuk bertemu keluarganya sendiri. Sanggupkan Renaya menjalani hidup bersama Mario? Kenapa Mario begitu posesif pada Renaya? Ada rahasia apa di balik sikap posesif Mario?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mima Rahyudi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Setelah letusan tembakan yang menggema, Mario berdiri sejenak, menatap tubuh Edwin yang kini tergeletak kaku di lantai. Tidak ada penyesalan, hanya sebuah perasaan lega bahwa satu ancaman telah tersingkirkan. Dengan tatapan tajam, ia mengalihkan pandangannya ke arah Devon, yang berdiri di dekat pintu dengan ekspresi yang sudah tak lagi terkejut melihat darah.
"Devon," ujar Mario dengan suara datar, "bersihkan ini. Aku tidak ingin ada jejak yang tertinggal."
Devon mengangguk, sudah tahu betul apa yang harus dilakukan. Tanpa kata-kata lagi, ia melangkah ke arah mayat Edwin dengan langkah mantap, siap menyelesaikan tugas yang diberikan oleh tuannya. Markas ini memang tempat yang jauh dari perhatian, namun bagi orang-orang yang tahu bagaimana cara mengatur kekuasaan dan menyembunyikan kebenaran, ini adalah tempat yang sempurna untuk menghabisi musuh tanpa meninggalkan jejak.
Sementara itu, di apartemen yang sunyi, Renaya tengah duduk di sofa, menikmati suasana santai. Matanya fokus pada layar televisi yang menampilkan berbagai berita terkini. Saat dia menggeser saluran, sebuah laporan mengejutkan menarik perhatiannya.
"Kecelakaan tragis terjadi pagi ini di daerah pinggiran kota. Sebuah mobil terbakar setelah terguling di jalan raya. Polisi menyatakan bahwa mayat yang ditemukan hampir tidak bisa dikenali karena luka parah yang diderita. Dugaan sementara adalah kecelakaan tersebut melibatkan seorang pria bernama Edwin, yang dikenal sebagai mahasiswa tingkat pertengahan di kampus xxx."
Renaya terkejut, matanya membelalak lebar mendengar nama yang disebutkan. "Edwin?" gumamnya. "Dia... mati?"
Ponsel Renaya berdering, memecah keheningan sejenak. Nama Ivanka muncul di layar, dan tanpa ragu, Renaya segera mengangkatnya.
“Halo, Van,” sapa Renaya dengan suara sedikit terkejut, masih merasa cemas dengan berita yang baru saja ia dengar.
“Renaya, kamu sudah dengar berita di TV?” suara Ivanka terdengar terburu-buru, seakan dia juga tak bisa menahan rasa penasaran yang menggerogoti. "Tentang Edwin?"
Renaya menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri sebelum menjawab. “Sudah, Van. Aku nggak nyangka kalau Edwin... ah,” suaranya meredup, seolah mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Padahal kemarin aku baru saja ngobrol sama dia. Rasanya nggak percaya.”
Suasana di antara mereka sejenak terdiam. Renaya bisa merasakan kecanggungan yang datang dari kedua belah pihak. Ivanka tentu saja juga terkejut, tapi lebih dari itu, ia bisa mendengar ketidakpercayaan di suara Renaya.
“Aku juga nggak nyangka, Renaya,” jawab Ivanka dengan nada yang lebih rendah, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Tapi kamu tahu nggak, ada yang aneh dengan kejadian ini. Aku merasa... ada yang nggak beres. Kecelakaan yang melibatkan Edwin? Tiba-tiba saja, tanpa alasan yang jelas.”
Renaya terdiam sejenak, mencerna perkataan Ivanka. “Kamu juga merasa begitu, ya?” tanyanya pelan. “Tapi, kenapa ya? Aku... aku masih bingung. Semua terjadi begitu cepat.”
Ivanka menghela napas panjang sebelum melanjutkan, “Aku nggak tahu pasti, Renaya. Tapi ada sesuatu yang aku rasakan. Aku nggak bisa bilang apa-apa, tapi ada banyak hal yang sepertinya sengaja ditutup-tutupi. Kamu nggak merasa, kan, kalau ada yang nggak jelas di balik kematian itu?”
Renaya merasakan gelombang kekhawatiran di dalam dirinya. Entah kenapa, perasaan tak nyaman itu makin kuat. Seolah ada sesuatu yang bersembunyi di balik berita kecelakaan itu, yang seharusnya tak bisa diselesaikan dengan penjelasan yang begitu sederhana.
“Entahlah, Van,” Renaya akhirnya berkata. “Aku baru saja dengar berita ini, jadi aku masih belum bisa mikir jernih. Tapi... sepertinya ada sesuatu yang lebih besar di balik ini semua.”
"Ya, aku juga merasa begitu," jawab Ivanka cepat. "Tapi yang jelas, kamu harus hati-hati, Renaya. Entah kenapa, aku punya firasat kalau ini belum berakhir. Banyak orang yang bisa jadi terlibat, dan kita belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya."
**
**
**
Saat Mario melangkah masuk ke apartemen, suasana yang semula hening terasa langsung berbeda. Dengan langkah tenang, dia mendekati Renaya yang sedang duduk di sofa, masih tampak resah setelah percakapan dengan Ivanka. Tanpa berkata-kata, Mario mendekatkan wajahnya, mencium pipi Renaya dengan lembut, sebuah kebiasaan yang sudah menjadi rutinitas mereka.
“Kenapa wajahnya tegang gitu?” tanya Mario, merasakan ketegangan yang jelas terpancar di wajah Renaya. Ada sesuatu yang berbeda dari biasanya, dan Mario bisa merasakannya.
Renaya menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri sebelum akhirnya membuka suara dengan perlahan, “Daddy, tolong jawab jujur, apa yang Daddy lakukan pada Edwin?”
Pertanyaan itu mengalir begitu saja, tapi terasa seperti beban besar yang tak bisa lagi dipendam. Renaya menatap Mario dengan penuh harapan, ingin mendengar jawaban yang dapat meyakinkan dirinya. Namun, di balik tatapan lembut Mario yang selalu bisa membuatnya merasa aman, ada keraguan yang mengganggu.
Mario terdiam sejenak. Seseorang yang selalu mampu menjaga keseimbangan di antara dunia yang penuh intrik dan kegelapan, kini menghadapi pertanyaan yang sulit dijawab. Ada rasa khawatir dalam dirinya, namun dia tahu bahwa Renaya, yang biasanya penuh kepercayaan padanya, mulai merasakan adanya sesuatu yang tak beres.
“Kenapa kamu tanya itu, sayang?” Mario akhirnya bertanya balik, suaranya tetap lembut, tapi ada ketegangan yang mulai terasa di ujung kalimatnya.
Renaya tak menjawab langsung, melainkan menatap Mario dalam-dalam, mencoba mencari jawaban yang tersembunyi di balik sikap tenangnya. “Aku dengar berita di TV, Daddy. Tentang Edwin. Dia... dia mati dalam kecelakaan mobil, katanya mayatnya hampir nggak bisa dikenali. Tapi aku tahu, ada yang aneh dari cerita itu. Daddy tahu kan, itu bukan kecelakaan biasa?”
Wajah Mario tampak sedikit berubah, meskipun dia berusaha keras untuk tetap tenang. Tangan yang sebelumnya menyentuh pipi Renaya kini terdiam di udara, seolah tak tahu harus diletakkan di mana. Dia tahu bahwa setiap jawaban yang keluar dari mulutnya sekarang akan sangat menentukan bagaimana hubungan mereka ke depan.
“Edwin... dia hampir menjebakmu, Renaya,” Mario akhirnya berkata, suaranya sedikit lebih rendah. “Tapi kamu harus percaya padaku, aku nggak ingin itu terjadi. Kadang, dalam dunia yang seperti ini, kita nggak punya pilihan.”
Renaya merasa tubuhnya menjadi kaku, kepalanya mulai terasa pusing. Dunia yang seperti ini? Pilihan seperti apa yang dimaksud Mario? Dia berusaha keras untuk tidak panik, meskipun setiap kata Mario semakin memperburuk kebingungannya.
"Apa maksud Daddy? Kenapa Edwin ingin menjebakku? Apa yang dia tahu tentang aku?" tanya Renaya, suaranya bergetar karena kecemasan yang menguasai dirinya.
“Renaya, dengarkan Daddy kali ini saja. Edwin mendekatimu karena perintah seseorang untuk menghancurkan kamu dan yang jelas menjauhkan kamu dari Daddy,” jawab Mario.
“Tapi, haruskah dengan cara melenyapkannya juga, Dad?” tanya Renaya masih tidak percaya, laki-laki yang selama ini selalu bersikap lembut padanya, ternyata dibalik kelembutannya ada jiwa mengerikan.
“Karena Daddy tidak suka dia menyentuhmu,” jawab Mario dengan tegas, “Kamu hanya milik Daddy! Selamanya milik Daddy!”