Demi menjaga kehormatan keluarga, Chandra terpaksa mengambil keputusan yang tidak pernah terbayangkan: menikahi Shabiya, wanita yang seharusnya dijodohkan dengan kakaknya, Awan.
Perjodohan ini terpaksa batal setelah Awan ketahuan berselingkuh dengan Erika, kekasih Chandra sendiri, dan menghamili wanita itu.
Kehancuran hati Chandra membuatnya menerima pernikahan dengan Shabiya, meski awalnya ia tidak memiliki perasaan apapun padanya.
Namun, perlahan-lahan, di balik keheningan dan ketenangan Shabiya, Chandra menemukan pesona yang berbeda. Shabiya bukan hanya wanita cantik, tetapi juga mandiri dan tenang, kualitas yang membuat Chandra semakin jatuh cinta.
Saat perasaan itu tumbuh, Chandra berubah—ia menjadi pria yang protektif dan posesif, bertekad untuk tidak kehilangan wanita yang kini menguasai hatinya.
Namun, di antara cinta yang mulai bersemi, bayang-bayang masa lalu masih menghantui. Bisakah Chandra benar-benar melindungi cintanya kali ini, atau akankah luka-luka lama kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyurincho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Between Control And Protection
Chandra memperhatikan perubahan itu dengan tatapan tajam, matanya menyipit. Wajahnya tetap tenang, tetapi udara di ruangan itu mendadak terasa lebih dingin. Ia mengunci pandangan pada ponsel di tangan istrinya.
“Awan,” gumam Chandra, suaranya rendah namun cukup untuk membuat suasana kamar terasa berat. "Kenapa dia meneleponmu?" tanya Chandra dengan nada rendah yang nyaris tidak terdengar, tetapi ada ancaman tersembunyi di dalamnya.
Shabiya menelan ludah. Dia tahu percakapan ini baru saja berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih rumit daripada sekadar rasa nyeri di tubuhnya.
**Babak Konflik yang Membara**
Shabiya menatap Chandra dengan tatapan tajam yang tidak mampu menutupi rasa frustrasi dan keinginannya untuk mengambil kembali kendali atas situasi. Namun, ia tahu bahwa setiap upayanya untuk membantah hanya akan memperpanjang perselisihan, dan ia terlalu lelah untuk itu sekarang.
“Aku tidak tahu kenapa dia mencoba menghubungiku,” kata Shabiya, suaranya datar tetapi mengandung nada defensif. Ia tahu persis apa yang sedang dipikirkan Chandra—suaminya yang posesif itu tidak membutuhkan alasan untuk menunjukkan dominasi ketika rasa cemburu mulai merayap masuk.
Chandra menatapnya dengan tatapan gelap yang sulit diartikan, seolah sedang menimbang-nimbang setiap kata Shabiya. Dalam satu gerakan cepat, tangannya meraih ponsel dari tangan istrinya sebelum Shabiya sempat memprotes. Dengan ekspresi datar namun berbahaya, ia menolak panggilan itu dengan menekan layar ponsel keras-keras.
“Jangan pernah menjawab panggilan darinya tanpa seizinku,” katanya, dingin dan tegas. Nada suaranya begitu rendah tetapi memiliki kekuatan yang membuat siapa saja sulit untuk membantah, termasuk Shabiya yang mulai merasa kesal dengan sikap otoriter suaminya.
“Chandra—”
Chandra mengangkat tangan untuk menghentikan bantahan yang bahkan belum selesai. Ia sudah meraih ponsel di sakunya, dan sebelum Shabiya sempat melanjutkan protesnya, ia menekan nomor Awan. Tatapan Chandra tetap fokus, suaranya penuh dengan ketenangan berbahaya saat berbicara.
“Chandra, kenapa tiba-tiba menghubungiku?” Nada suara Awan terdengar riang, seolah ingin meredakan ketegangan yang ia tahu pasti akan datang.
“Kau tahu alasannya, Awan.” Jawaban Chandra dingin, hampir menusuk.
Ada jeda singkat di ujung sambungan. Awan, yang tahu betul bagaimana sifat adiknya, mencoba menjaga nada suaranya tetap santai. “Aku hanya ingin mengabari Shabiya. Erika...” Ia berhenti sejenak, mencari kata-kata yang tepat. “Erika tetap ingin mengenakan gaun yang mirip dengan milik Shabiya. Aku sudah mencoba meyakinkannya, tapi kau tahu seperti apa Erika. Jika keinginannya tidak dipenuhi, dia akan membuat masalah.”
Chandra menarik napas panjang, menahan diri untuk tidak meledak. “Itu masalahmu, bukan masalah kami,” jawabnya datar, tetapi penuh dengan penekanan.
“Dengar, Chandra,” suara Awan mulai kehilangan nada riangnya, berubah menjadi nada kesal yang terselubung. “Aku hanya ingin Shabiya berbicara dengan Erika. Mungkin dia bisa...”
“Awan,” potong Chandra, suara rendahnya berubah menjadi lebih tajam. “Jangan pernah melibatkan istriku dalam masalah pribadimu. Kau tahu aku tidak peduli dengan apa yang Erika inginkan.”
“Aku hanya mencoba—”
“Kau mencoba mengganggu kedamaian istriku,” sela Chandra, tegas. “Jangan menghubungi dia lagi untuk hal seperti ini. Jika Erika membutuhkan bantuan, kau yang harus menyelesaikannya. Itu adalah tanggung jawabmu sebagai tunangannya, atau apa pun status kalian sekarang.”
Shabiya mendengarkan percakapan itu dari sisi ranjang dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia kesal karena Chandra terlalu mengontrol, tetapi di sisi lain, ia tidak bisa mengabaikan bagaimana Chandra selalu menempatkan dirinya sebagai prioritas. Ia tahu bahwa apa pun tindakan suaminya, itu didorong oleh keinginannya untuk melindungi, meskipun caranya sering kali terasa menyesakkan.
“Baiklah, kalau itu yang kau inginkan,” jawab Awan akhirnya, suaranya terdengar lebih dingin dari sebelumnya. “Tapi jangan bilang aku tidak mencoba mencari jalan keluar yang damai.”
“Aku tidak peduli dengan kedamaian yang kau maksud, Awan. Pastikan masalah ini tidak sampai ke telinga Shabiya lagi,” balas Chandra sebelum menutup panggilan tanpa menunggu tanggapan.
***
Chandra mengalihkan pandangannya kembali ke Shabiya, yang masih memeluk selimutnya erat-erat sambil menatapnya dengan tatapan marah.
“Kau tahu aku bisa mengurus diriku sendiri,” kata Shabiya akhirnya, nadanya tajam.
“Aku tidak meragukannya, Shabiya.” Chandra melangkah lebih dekat, mendudukkan dirinya di sisi ranjang. “Tapi itu bukan berarti aku akan membiarkan siapa pun—termasuk Awan—menggunakanmu untuk menyelesaikan masalah mereka.”
Shabiya mendengus, tapi kata-kata Chandra membuatnya sedikit goyah. “Aku bisa saja bicara dengan Erika kalau itu akan menyelesaikan masalah.”
“Kau tidak akan melakukannya,” potong Chandra, nada suaranya tegas namun tetap lembut. “Erika bukan tanggung jawabmu. Dia sudah membuat hidup kita cukup sulit. Aku tidak akan membiarkan dia melakukannya lagi.”
Shabiya ingin membalas, tetapi ia tahu tidak ada gunanya. Chandra memiliki cara berbicara yang membuatnya merasa kalah bahkan sebelum argumen dimulai. “Kadang aku merasa seperti tahanan di rumah ini,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.
“Tahanan?” Chandra mengangkat alis. “Kau bebas melakukan apa saja, Shabiya. Tapi aku tidak akan membiarkan siapa pun mengambil keuntungan darimu. Itu berbeda.”
Shabiya menatapnya, matanya berkilat penuh emosi. “Aku tidak suka diatur, Chandra. Kau tahu itu.”
“Dan aku tidak suka mengambil risiko kehilanganmu,” jawab Chandra, suaranya lebih rendah tetapi penuh intensitas. “Jadi, kau harus belajar menerima bahwa aku akan melakukan apa pun yang aku anggap perlu untuk menjagamu.”
Kata-kata itu membuat Shabiya terdiam. Ada ketulusan dalam ucapan Chandra yang membuatnya sulit untuk tetap marah. Tapi, seperti biasanya, ia terlalu keras kepala untuk mengakuinya.
Ponselnya berbunyi lagi, kali ini pesan masuk. Ia melirik layar dan membaca pesan dari Awan, tetapi sebelum ia sempat mengatakan apa-apa, Chandra sudah berdiri.
“Aku akan ke kantor,” kata Chandra sambil mengambil jasnya dari kursi. “Beristirahatlah hari ini.”
“Kau tidak bisa memaksaku untuk istirahat,” jawab Shabiya.
Chandra hanya tersenyum tipis sebelum berjalan menuju pintu. “Cobalah untuk tidak terlalu keras kepala hari ini, istriku. Kau tahu kau akan kalah.”
Dan dengan itu, ia pergi, meninggalkan Shabiya yang masih bingung dengan perasaan yang bergolak di dalam dirinya.
***