Marriage Is Scary...
Bayangkan menikah dengan pria yang sempurna di mata orang lain, terlihat begitu penyayang dan peduli. Tapi di balik senyum hangat dan kata-kata manisnya, tersimpan rahasia kelam yang perlahan-lahan mengikis kebahagiaan pernikahan. Manipulasi, pengkhianatan, kebohongan dan masa lalu yang gelap menghancurkan pernikahan dalam sekejap mata.
____
"Oh, jadi ini camilan suami orang!" ujar Lily dengan tatapan merendahkan. Kesuksesan adalah balas dendam yang Lily janjikan untuk dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahma Syndrome, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kalimat Omong Kosong
Pagi itu, Isaac sudah mengenakan kemeja putih berlengan panjang berbahan linen tipis yang terasa ringan dan nyaman. Kemeja itu digulung hingga siku, memberi tampilan santai namun tetap rapi.
Potongannya pas di tubuh, menonjolkan dadanya yang bidang tanpa terlalu ketat, memberikan kesan elegan. Di bagian bawah, dia memilih celana chino berwarna khaki, panjangnya jatuh sempurna di atas mata kaki, memberi sentuhan kasual namun tetap sopan.
Sepatu loafers berwarna coklat tua melengkapi tampilan, cocok dengan kulitnya yang eksotis, memberi kesan modern dan elegan.
Sebagai aksesoris, sebuah jam tangan berbahan kulit coklat melingkar di pergelangan tangannya, menambahkan kesan stylish. Rambutnya ditata rapi dengan gaya yang natural, seolah effortless tapi tetap berkelas.
Tak lama setelah Isaac selesai menata dirinya, Lily pulang dari jalan pagi bersama Martha. Dengan pipi yang masih bersemu kemerahan dan napas yang sedikit tersengal, dia menatap Isaac dengan heran.
“Sayang? Kok pagi-pagi udah rapi?” tanyanya, sambil mengernyit heran.
“Bukannya nanti siang kita mau nonton film? Kamu kan janji mau beliin aku novel juga.”
Isaac berhenti sejenak, mencari cara untuk menjawab dengan hati-hati. Namun, tanpa terlalu banyak berpikir, dia memutuskan berbohong.
“Maaf, sayang. Ada kerjaan mendadak. Aku harus meeting sama klien penting di hotel. Aku nggak bisa ninggalin meeting ini.”
Lily terdiam, lalu tatapannya berubah kecewa. “Jadi, kamu batalin janji kita?”
Isaac berusaha mempertahankan nada tenang. “Aku nggak punya pilihan, Lily. Ini urusan penting. Kalau aku nggak hadir, bisa jadi proyeknya batal.”
Lily menyilangkan tangan di dada, menggeleng tak percaya. “Jadi, janji kita nggak lebih penting daripada pekerjaan ini? Kamu tahu kan, aku udah nunggu hari ini. Kenapa, sih, tiba-tiba ada kerjaan mendadak?”
Isaac menatap Lily dengan sedikit frustasi. “Ini bukan pilihan aku, Lily. Aku harus profesional, aku harus memenuhi tanggung jawabku.”
“Profesional?” suara Lily meninggi. “Kamu lebih memilih tanggung jawab pekerjaan daripada tanggung jawab kamu sebagai suamiku?”
“Aku usahain sebelum jam dua siang aku udah pulang ke rumah.”
“Percuma kalo kamu selalu janji, tapi selalu nggak ditepati. Aku capek berharap, Isaac.”
“Atau, jangan-jangan kamu bohong,” selidik Lily.
“Masa hari libur harus meeting sama klien,” tambahnya. Rasa penasaran membuat Lily lagi-lagi banyak tanya.
“Kamu nuduh aku selingkuh?” tanya Isaac sambil menatap Lily tidak percaya.
“Aku nggak bilang kamu selingkuh! Aku cuma bilang kalo kamu bisa aja bohong soal kerjaan ini.”
“Lily, stop! Aku sibuk kerja buat kamu, buat bayi kita! Tapi apa? Kamu malah nuduh aku yang nggak-nggak!”
Mendengar kegaduhan itu, Martha tidak bisa ikut campur. Dia terus melanjutkan memasak tanpa menghiraukan pertengkaran antara Isaac dan Lily. Sebenarnya dia ingin menengahi, tapi takut dianggap terlalu ikut campur.
Isaac menghela napas panjang, mulai kehilangan kesabaran. “Ya udah, kalo kamu nggak percaya! Aku pergi sekarang.”
Tanpa menunggu jawaban, Isaac berbalik, meninggalkan Lily di belakangnya, masih dengan wajah terluka. Dia berjalan menuju pintu, menutupnya dengan sedikit terlalu keras, seakan ingin menandai kepergiannya dengan akhir yang tegas.
Lily ingin berteriak dan mencegah Isaac pergi, namun tak bisa. Dia justru hanya diam dengan mata yang mulai panas. Dia menyentuh dadanya yang begitu nyeri.
“Isaac, kenapa sikap kamu gini, sih? Sabar ya, sayang,” kata Lily sambil mengelus perutnya yang masih tampak rata.
Dia benar-benar tidak mengerti mengapa sikap Isaac mudah sekali berubah-ubah, membuat dirinya bingung.
***
Isaac berdiri di depan pintu bernomor 088, mengambil napas panjang sejenak sebelum memencet bel. Tak lama, suara langkah kaki terdengar, dan pintu terbuka dengan cepat, menampilkan Lisa yang langsung menyambutnya dengan senyum lebar.
“Isaac!” Lisa menarik tangannya tanpa ragu, membuat Isaac terpaksa masuk ke dalam.
Apartemen Lisa berukuran sedang, namun cukup sempit dengan tata ruang yang terasa penuh. Segera, Isaac menangkap deretan sepatu hak tinggi berbaris tak beraturan di tepi dinding dekat pintu, warnanya beragam mulai dari hitam klasik hingga merah mencolok.
Meja di tengah ruang tamu penuh dengan botol-botol parfum berbagai ukuran, entah berapa banyak aroma yang terkumpul di sana. Di samping meja itu, ada sofa yang terlihat nyaman meski terselimuti dengan beberapa bantal dan selimut yang tampak tidak tertata.
Di sudut lain, pantry kecil terlihat penuh dengan tumpukan gelas, cangkir, dan alat masak yang tidak pada tempatnya.
Isaac tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Apartemen ini sangat kontras dengan rumahnya yang selalu rapi karena Lily telaten menjaga kebersihan dan kerapihan. Namun, dia hanya diam, berusaha tak menunjukkan rasa herannya.
“Maaf, agak berantakan. Aku memang belum sempat beres-beres,” ujar Lisa seolah membaca pikiran Isaac. Dia bergegas ke kamar tidur, berdiri di depan cermin dan mulai menata rambutnya dengan rapi.
“Kenapa kamu mau ke kos adikmu, Lisa?” tanya Isaac dengan nada datar.
“Mario sakit, demam tinggi. Kasihan, sendirian di kosnya,” jawab Lisa cepat, tanpa mengalihkan perhatiannya dari cermin.
Isaac hanya mengangguk, mencoba menahan rasa malas yang mulai menyelinap. Beberapa menit kemudian, Lisa sudah siap dan menutup pintu apartemennya. Bersama-sama, mereka menuju kos Mario yang berjarak cukup jauh.
Begitu sampai di kos sederhana yang ditempati Mario, Isaac kembali dibuat terkejut. Kamar kosnya lebih berantakan dari apartemen Lisa, barang-barang berserakan di setiap sudut ruang.
Baju-baju tergeletak di kursi dan lantai, buku pelajaran berserakan di atas meja belajar yang sempit, dan beberapa bungkus camilan kosong menumpuk di samping ranjang. Kamarnya sempit, hanya ada satu ranjang kecil di sudut, meja belajar dengan satu kursi kayu, dan lemari kecil yang terlihat penuh sesak.
Di atas ranjang, Mario terbaring lemah, wajahnya pucat dan tampak kelelahan. Keringat dingin terlihat mengalir di pelipisnya, dan sesekali dia menggigil meski berselimut tebal.
Isaac memperhatikan Mario yang memiliki wajah tirus dengan garis rahang tegas, sedangkan kulitnya sedikit kecoklatan.
Lisa segera mendekat, menyentuh dahi adiknya dan menghela napas prihatin. “Mario, kamu masih demam, ya? Apa tadi sudah minum obat?” tanyanya lembut.
Mario mengangguk lemah. “Iya, tapi masih belum turun. Kayaknya tambah parah,” suaranya lirih, mata setengah tertutup.
Sementara Lisa sibuk menyiapkan air hangat dan menata bantal agar Mario lebih nyaman, Isaac hanya duduk di kursi meja belajar, memperhatikan mereka. Dia tidak tahu harus melakukan apa di tempat sempit dan berantakan ini.
Isaac memandangi Mario yang masih terlihat lemah. Dia memang masih remaja, terlihat jelas dari wajahnya yang polos dan tubuhnya yang kurus, namun tampak sangat kesepian di kamar kos yang kumuh ini.
Dengan alis mengernyit, Isaac bertanya, “Kenapa nggak tinggal sama kamu atau orang tua kamu?”
Lisa melirik Isaac, lalu menjawab pelan, “Orang tua kita udah meninggal. Kalo tinggal bareng aku, sekolah Mario terlalu jauh,” ujarnya.
Isaac merasa tak enak dan hanya mengangguk. Meski tetap merasa canggung, dia mencoba menahan diri untuk tidak menanyakan lebih lanjut. Lisa terus merawat adiknya dengan penuh perhatian, membasuh wajahnya dengan kain hangat dan menata ulang selimutnya.
Isaac, di sisi lain, hanya bisa menyaksikan dalam diam. Tempat ini terlalu kecil dan penuh sesak, tak menyisakan banyak ruang bagi Isaac untuk merasa nyaman atau berguna.
Namun, saat melihat Lisa yang begitu telaten merawat adiknya, ada sedikit simpati yang terselip di hati Isaac.
biar semangat up aku kasih vote utkmu thor