Demi menjaga kehormatan keluarga, Chandra terpaksa mengambil keputusan yang tidak pernah terbayangkan: menikahi Shabiya, wanita yang seharusnya dijodohkan dengan kakaknya, Awan.
Perjodohan ini terpaksa batal setelah Awan ketahuan berselingkuh dengan Erika, kekasih Chandra sendiri, dan menghamili wanita itu.
Kehancuran hati Chandra membuatnya menerima pernikahan dengan Shabiya, meski awalnya ia tidak memiliki perasaan apapun padanya.
Namun, perlahan-lahan, di balik keheningan dan ketenangan Shabiya, Chandra menemukan pesona yang berbeda. Shabiya bukan hanya wanita cantik, tetapi juga mandiri dan tenang, kualitas yang membuat Chandra semakin jatuh cinta.
Saat perasaan itu tumbuh, Chandra berubah—ia menjadi pria yang protektif dan posesif, bertekad untuk tidak kehilangan wanita yang kini menguasai hatinya.
Namun, di antara cinta yang mulai bersemi, bayang-bayang masa lalu masih menghantui. Bisakah Chandra benar-benar melindungi cintanya kali ini, atau akankah luka-luka lama kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyurincho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Games and Truth Behind the Smiles
"Apa kalian sedang membicarakan aku?" Shabiya berhenti di depan mereka, tangannya menyentuh meja kecil di samping. Ia menatap keduanya dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Jika iya, jangan ragu untuk melanjutkan. Aku selalu suka mendengar bagaimana orang lain mencoba menilai hidupku."
"Ah, Shabiya," ujar Awan dengan senyum ramah palsu, "kau akhirnya bergabung dengan kami. Kupikir kau terlalu sibuk menikmati perhatian semua orang sebagai pengantin baru."
Shabiya tersenyum kecil, tetapi ada ketajaman dalam matanya. "Tentu saja aku sibuk, Awan. Tapi aku juga ingin memastikan tamu-tamu kita, terutama keluarga, merasa nyaman."
Awan tertawa kecil, tetapi ada nada dingin di balik tawanya. "Oh, kami nyaman. Apalagi melihat Chandra di pelaminan. Tak kusangka dia akan menikah begitu cepat. Bahkan lebih cepat dariku."
Shabiya mendekat, berdiri di samping Chandra, yang kini menatapnya dengan sedikit rasa ingin tahu. Ia melingkarkan tangannya di lengan suaminya dengan santai, tetapi gerakan itu penuh klaim. "Tentu saja dia menikah cepat," katanya dengan nada manis yang terdengar hampir terlalu sempurna. "Ketika aku bertemu Chandra, aku tahu sejak awal bahwa dia adalah satu-satunya pria yang kuinginkan. Berbeda ketika aku bertemu denganmu, dulu."
Awan tersenyum tipis, tetapi ada ketegangan di wajahnya. "Oh? Cinta pada pandangan pertama? Itu terdengar seperti cerita dongeng."
Shabiya tertawa kecil, nada tawanya terdengar ringan tetapi penuh percaya diri. "Dongeng? Mungkin. Tapi aku percaya pada instingku. Ketika aku melihat Chandra pertama kali, aku tahu dia adalah pria yang tepat. Cara dia bicara, cara dia membawa dirinya—aku tidak bisa tidak jatuh cinta."
Chandra mengangkat alis, nyaris tak percaya pada drama yang baru saja diciptakan istrinya. Tapi ia tahu, ini adalah permainan. Permainan yang sebelumnya sempart ditolak oleh Shabiya. Dan kini, alih-alih menolaknya, Shabiya justru memainkan perannya dengan sangat baik. Dan jika ada satu hal yang ia kuasai, itu adalah permainan ini. Ia menoleh ke arah Shabiya, menyentuh tangan yang melingkar di lengannya, dan menatapnya dengan pandangan lembut yang terlihat sangat alami.
"Tentu saja, Chandra selalu memiliki cara untuk memikat orang," ujar Awan dengan nada tajam, mencoba memecahkan suasana romantis di antara mereka.
Shabiya menatap Awan dengan senyum yang tenang tetapi penuh makna. "Dan itulah mengapa aku bersyukur aku menikah dengannya, bukan orang lain. Terkadang, kita hanya butuh satu orang yang tepat untuk mengubah segalanya."
Chandra memiringkan kepalanya sedikit, menatap Shabiya seolah sedang menilai kata-katanya. Sementara itu, Awan memalingkan wajah, mungkin untuk menyembunyikan ekspresi kesalnya.
Tiba-tiba, suara langkah-langkah halus terdengar dari pintu balkon. Ketiganya menoleh bersamaan, dan saat itu Erika muncul. Ia mengenakan gaun yang memeluk tubuhnya dengan sempurna, seolah dirancang untuk menarik perhatian. Dan perhatian itu berhasil ia dapatkan.
“Chandra,” sapanya lembut, hampir manis, tetapi ada sesuatu di balik suaranya—sesuatu yang membuat Shabiya langsung waspada. “Awan, dan Shabiya. Kalian semua di sini rupanya.”
Chandra tidak merespons langsung. Ia hanya menatap Erika dengan mata dingin, bibirnya membentuk garis lurus yang nyaris tidak menunjukkan emosi. Tapi Shabiya menangkap ketegangan kecil di rahang suaminya, dan itu cukup untuk memberinya petunjuk bahwa pria itu sedang menahan sesuatu.
Erika melangkah lebih dekat, terlalu dekat, dan berhenti tepat di hadapan Chandra. Matanya yang berkilauan mencoba mencari sesuatu di wajah pria itu, mungkin rasa rindu, atau setidaknya perhatian. Tapi yang ia temukan hanyalah tembok es yang tidak bisa ditembus.
“Kau tampak luar biasa malam ini,” ucap Erika dengan nada pelan, seolah hanya untuk didengar Chandra.
Shabiya mendengus pelan, cukup keras untuk menarik perhatian Erika. “Dia selalu tampak luar biasa,” kata Shabiya tajam, suaranya menembus udara malam yang dingin. “Kau tahu itu, kan?”
Erika tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan rasa tidak nyamannya. “Tentu saja. Tidak ada yang meragukan itu.”
Awan, yang sejak tadi mencoba menjaga ketenangan, akhirnya berbicara dengan nada yang lebih keras. "Kalian berdua benar-benar tahu bagaimana membuat orang lain merasa seperti penonton dalam drama." Ia menatap Chandra dan Shabiya bergantian.
Chandra menoleh ke arah kakaknya, wajahnya tetap tenang tetapi matanya berkilat tajam. "Bukan drama, Awan. Ini kenyataan. Mungkin hal ini akan sulit dimengerti oleh orang yang lebih suka melarikan diri seperti pengecut dan hidup dalam kebohongan."
Kalimat itu menghantam Awan dengan tepat, membuatnya kehilangan kata-kata sejenak. Chandra tersenyum tipis, lalu menarik Shabiya pergi, meninggalkan Awan dan Erika yang kini tampak semakin kesal.
Saat mereka berjalan menjauh, Chandra menundukkan kepalanya sedikit, berbicara dengan suara rendah hanya untuk Shabiya. "Kau benar-benar menikmatinya, ya?"
Shabiya tersenyum kecil, matanya masih penuh dengan kilatan tajam. "Tentu saja. Aku tidak suka ketika orang meremehkanku."
Chandra berhenti sejenak, menatapnya dengan intensitas yang berbeda dari biasanya. "Kau mungkin baru saja memenangkan babak ini. Tapi kau tidak harus berpura-pura seperti itu hanya untukku. Bukankah kau bilang kalau kau tidak ingin ikut ke dalam permainanku?"
Shabiya mendongak, menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Siapa bilang aku berpura-pura?" katanya. "Aku hanya mulai menyukai permainan ini." ia lalu berjalan lebih cepat, meninggalkan Chandra yang kini berdiri mematung, mencoba memahami makna di balik kata-kata itu.
***