Tiara, seorang gadis muda berusia 22 tahun, anak pertama dari lima bersaudara. Ia dibesarkan di keluarga yang hidup serba kekurangan, dimana ayahnya bekerja sebagai tukang parkir di sebuah minimarket, dan ibunya sebagai buruh cuci pakaian.
Sebagai anak sulung, Tiara merasa bertanggung jawab untuk membantu keluarganya. Berbekal info yang ia dapat dari salah seorang tetangga bernama pa samsul seorang satpam yang bekerja di club malam , tiara akhirnya mencoba mencari penghasilan di tempat tersebut . Akhirnya tiara diterima kerja sebagai pemandu karaoke di klub malam teraebut . Setiap malam, ia bernyanyi untuk menghibur tamu-tamu yang datang, namun jauh di lubuk hatinya, Tiara memiliki impian besar untuk menjadi seorang penyanyi terkenal yang bisa membanggakan keluarga dan keluar dari lingkaran kemiskinan.
Akankah Tiara mampu menggapai impiannya menjadi penyanyi terkenal ? Mampukah ia membuktikan bahwa mimpi-mimpi besar bisa lahir dari tempat yang paling sederhana ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 30 : ketakutan tiara & hendra yang meninggal
Di pagi yang tenang itu, usai sarapan, Tiara, Putri, dan Raka mulai membantu Bu Ami membersihkan rumah. Walau ada rasa cemas yang tersembunyi di hati mereka, senyum dan tawa terus mengiringi setiap pekerjaan yang mereka lakukan. Tiga sekawan itu tampak bersemangat, bahkan seolah-olah mereka tak sedang berada dalam bahaya. Namun, mereka tak bisa menepis kenyataan bahwa Pak Mike dan anak buahnya telah mengoyak perasaan mereka, menimbulkan trauma dan frustrasi yang mendalam. Mimpi Tiara dan Putri untuk menjadi penyanyi terkenal terasa semakin jauh, seolah tertutup oleh bayangan gelap masa lalu yang mereka khawatirkan akan kembali menghantui.
Melihat mereka tampak ceria, Raka tak hentinya berusaha menanamkan harapan pada mereka berdua. “Kalian tahu, mimpi itu tetap bisa kalian capai, kan? Jangan biarkan orang-orang seperti Pak Mike menghalangi kalian,” ujarnya dengan suara penuh keteguhan.
Putri tersenyum tipis mendengar kata-kata Raka, sementara Tiara menghela napas panjang. “Kadang, mimpi itu terasa mustahil, Raka. Tapi… entah kenapa, kata-kata kamu bikin aku sedikit tenang.”
Hari terus berlalu. Setelah selesai beres-beres, Tiara akhirnya masuk ke kamar untuk beristirahat, sementara Putri dan Raka duduk di ruang tamu menonton televisi, membiarkan suasana yang nyaman dan tenang menyelimuti mereka. Meski hanya sahabat, kedekatan Putri dan Raka terlihat lebih dari sekadar teman. Ada kehangatan di antara mereka, yang membuat Tiara, sebagai kakak, ikut merasa bahagia melihat adiknya mungkin sudah menemukan seseorang yang benar-benar peduli padanya.
Ketika langit mulai gelap dan suara guntur menggelegar dari kejauhan, Putri terkejut dan spontan merapatkan tubuhnya pada Raka. “Aku nggak suka suara guntur…” gumamnya, sedikit gemetar.
Raka mengusap lembut bahu Putri, tersenyum menenangkan. “Nggak apa-apa. Ayo, masuk ke kamar. Biar kita nggak kedinginan di sini,” ucap Raka lembut, menariknya dengan lembut ke kamar.
Sesampainya di kamar, mereka mendapati Tiara sudah terlelap. Putri berbaring di samping Tiara, dan Raka duduk di sudut ruangan, tetap waspada dan berjaga demi keselamatan mereka. Dalam keheningan malam, pikirannya melayang, memikirkan ancaman yang masih mungkin datang dari Pak Mike.
“Seminggu lagi, ya? Aku harus bisa bertahan,” gumam Raka pelan pada dirinya sendiri. "Aku nggak akan biarkan Pak Mike atau siapa pun lagi mengganggu kalian.” Raka mengalihkan pandangannya ke langit-langit kamar, mencoba menenangkan hatinya yang penuh kegelisahan.
Di tengah malam yang senyap itu, Raka dikejutkan oleh suara Tiara yang mulai mengigau di sampingnya. “Enggak… jangan… tolong…,” suara Tiara penuh ketakutan, hingga tiba-tiba ia terbangun dengan wajah pucat, keringat dingin membasahi dahinya.
“Kakak?” Raka langsung mendekatinya dan menggenggam tangannya. “Kakak nggak apa-apa, kan? Itu cuma mimpi. Kita semua baik-baik saja di sini.”
Tiara menarik napas panjang, berusaha mengontrol detak jantungnya yang masih berdetak kencang. “Aku mimpi buruk lagi, Raka. Pak Mike… dia datang lagi. Dia nggak terima gudangnya dibakar dan bisnisnya terbongkar oleh polisi. Aku takut…”
Raka memeluknya erat, menenangkan sang kakak yang masih terlihat begitu terguncang. “Kak, aku di sini. Kamu aman, Putri juga aman. Nggak akan ada yang bisa menyakiti kalian lagi,” bisik Raka dengan lembut. Tiara perlahan tenang dalam pelukan Raka, akhirnya kembali tertidur, kali ini lebih damai.
Setelah memastikan Tiara tidur nyenyak, Raka keluar dari kamar menuju ruang tamu, menyalakan televisi untuk mencari berita terbaru. Dalam kegelapan malam itu, stasiun berita melaporkan penangkapan dua kapal kargo yang mencoba menyelundupkan narkoba di perairan pantai utara. Polisi menduga kapal-kapal itu terkait dengan jaringan Pak Mike yang sekarang tengah diburu besar-besaran. Laporan lain juga mengabarkan tentang penangkapan anggota jaringan Pak Mike di beberapa tempat di kota.
Raka menghela napas lega dan penuh harap. “Mudah-mudahan ini jadi akhir dari semua mimpi buruk kita,” ucapnya pada dirinya sendiri, meski dalam hatinya ia tetap khawatir kalau Pak Mike belum benar-benar tertangkap.
Saat pagi menjelang, Raka kembali masuk ke kamar dan menemukan Tiara dan Putri masih terlelap dengan wajah damai. Hatinya tersentuh melihat ketenangan mereka, seakan tak ada beban yang menggantung. Dalam hatinya, Raka berjanji akan terus menjaga mereka, memastikan mereka bisa menjalani kehidupan yang damai dan bahagia, tanpa dihantui oleh masa lalu yang kelam.
Di tempat lain sebuah Kapal kargo yang dinaiki Tama bersama timnya akhirnya merapat di Pelabuhan Uwakeka saat senja mulai turun. Setelah perjalanan yang panjang dan melelahkan, wajah-wajah lelah mereka berubah sedikit lega ketika melihat Pak Riko dan anggota tim lainnya menanti di dermaga. Angin laut menerpa wajah mereka, membawa kesan dingin yang terasa menenangkan setelah hari-hari penuh ketegangan. Tama melangkah turun dari kapal, sedikit terseok, namun ia tersenyum melihat wajah Pak Riko yang sudah menunggu.
Pak Riko menyambut mereka dengan anggukan mantap. “Kalian berhasil sampai dengan selamat. Itu yang paling penting,” ucapnya, namun ada sorot kekhawatiran di matanya yang tak bisa disembunyikan. Sembari melirik ke arah Tama, ia melanjutkan dengan nada yang perlahan meredup, “Tapi ada kabar buruk, Tama… Hendra, anak yang menyelamatkan kalian di sungai itu… dia…”
Tama terdiam seketika, menahan napas. “Apa yang terjadi, Pak?” tanya Tama dengan nada pelan, nyaris berbisik.
Pak Riko menghela napas berat. “Hendra… dia terbawa arus saat mencoba meloloskan diri. Dia tak berhasil, sepertinya anak buah pak mike sengaja menenggelamkannya .”
Wajah Tama memucat. Bayangan Hendra muncul di pikirannya, bocah 15 tahun yang tak gentar melawan ancaman untuk menyelamatkan mereka. “Pak… Hendra… Aaaarrggh ” Tama berteriak, menatap ke arah laut, seakan berharap angin bisa membawa kembali sahabat barunya yang pergi terlalu cepat. Hati Tama terasa berat, di dalam dadanya tergores rasa kehilangan dan kemarahan yang membara.
Pak Riko menepuk pundak Tama. “Jangan biarkan pengorbanannya sia-sia. Kita akan teruskan perjuangan ini dan pastikan mereka membayar atas semua ini.”
Mereka semua kemudian menuju sebuah rumah kecil milik warga untuk beristirahat. Pak Arif, sabahat karib nya pak riko yang sudah tampak kelelahan, mencoba memecah keheningan selama perjalanan. “ Riko,” tanyanya pelan, “Setelah ini, apa langkah kita selanjutnya? Hendra… dia mengorbankan nyawanya untuk kita, kita tidak bisa tinggal diam.”
Pak Riko menatap lurus ke depan, matanya penuh tekad. “Istirahatkan tubuh kalian malam ini. Regu lain sudah bergerak untuk mengambil alih tugas kalian. Ini belum berakhir, tapi setelah ini, akan ada pertempuran besar-besaran. Pak Mike tidak bisa dianggap remeh; dia licik, terampil dalam strategi, dan memiliki koneksi kuat. Selain itu, semua tangan kanannya adalah petarung terlatih. Kita harus waspada. Dia punya banyak kaki tangan yang rela mengorbankan diri untuknya.”
Tama menggigit bibirnya, mencoba menahan amarah yang mulai berkecamuk. “Pak, saya tidak akan biarkan pengorbanan Hendra berlalu begitu saja. Saya siap melakukan apa pun,” gumamnya pelan.
Sesampainya di rumah yang menjadi tempat mereka beristirahat, Pak Riko menerima pesan dari rekan regu lainnya, Tri. Wajahnya berubah serius ketika membaca pesan tersebut, lalu menunjukkan beberapa foto dan koordinat yang baru diterimanya. “Pak Mike sedang berada di pulau kecil di utara Maluku. Ini kesempatan kita,” jelasnya sambil memperlihatkan gambar yang menunjukkan beberapa orang, termasuk Pak Mike, sedang berada di tempat terpencil dengan koordinat yang dicantumkan.
Tama dan yang lain memperhatikan dengan saksama, tak ingin melewatkan satu detail pun. Pak Riko menatap Tama dengan sorot penuh keyakinan. “Kita akan bergerak besok pagi, tepat setelah matahari terbit. Semua persiapan harus disiapkan dengan matang. Tama, kau dan tim ini harus siap dengan apa pun yang terjadi.”
Tama mengangguk. “Saya akan lakukan apa pun, Pak. Demi Hendra, demi keadilan untuk semua korban yang telah jadi korban Pak Mike. Kami siap.”
Suasana menjadi hening sejenak, dengan hanya desah angin malam yang terdengar, dan pandangan mereka semua tertuju pada arah laut, seakan menanti hari baru yang akan membawa mereka pada babak terakhir perjuangan panjang ini. Perjuangan yang bukan hanya tentang balas dendam, namun juga sebuah harapan untuk keadilan dan kemerdekaan dari bayang-bayang Pak Mike.