Siapa yang ingin rumah tangganya hancur? Siapa yang ingin menikah lebih dari satu kali? Semua orang pastilah berharap menikah satu kali untuk seumur hidup.
Begitu pun denganku. Meski pernikahan yang kujalani terjadi secara paksaan, tapi aku bisa menerimanya. Menjalani peran sebagai istri dengan sebaik mungkin, berbakti kepada dia yang bergelar suami.
Namun, bakti dan pengabdianku rasanya tidak cukup untuk membina rumah tangga dadakan yang kami jalani. Dia kembali kepada kekasihnya setelah aku mengandung. Kesempatan demi kesempatan aku berikan, tapi tak digunakannya dengan baik.
Bercerai? Rasanya tidak semudah itu. Aku ingin merebut kembali apa yang menjadi milikku. Termasuk modal usaha yang aku berikan dulu kepadanya. Inilah kisahku, Shanum Haniyah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 2
"Sha, kamu nggak bikin sarapan?" Sebuah tanya terlempar dari ambang pintu dapur. Aku yang baru saja selesai membuat nasi goreng meletakkan sepiring untuk sang pemilik tanya tanpa menjawabnya.
Langkah yang mendekat berderap di telinga, kubawa sepiring yang lain ke halaman belakang. Makan dalam kesendirian lebih berselera bagiku daripada harus berhadapan dengannya yang akan membuat perutku bergejolak.
Bayangan kemesraan di bawah guyuran hujan, selalu berhasil membuatku muak. Shila yang tidak tahu diri itu harus mendapatkan ganjaran. Sudah kering rasanya air mataku, niat kembali untuk memperbaiki semua. Nyatanya, bertambah perih luka yang selama ini aku pendam.
"Sha, kamu kenapa makan di sini?" Tanya kembali kudengar setelah tiga suapan nasi goreng berhasil lolos melewati tenggorokan dengan berat.
"Nggak selera makan di dalam," sahutku ketus tanpa melihat ke arahnya.
Samar telingaku mendengar helaan napas darinya. Selera makanku menguap begitu saja. Kuputuskan beranjak dan masuk melewati dirinya yang berdiri di ambang pintu.
"Sha!" Kuhempas tangan yang lancang menggenggam pergelangan, berbalik sambil melayangkan tatapan tajam padanya.
"Jangan sentuh aku sebelum kamu memperbaiki semuanya!" Ultimatum itu menguar begitu saja dari mulutku.
"Kenapa kamu kayak gini, Sha? Bukannya semalam aku udah jelasin sama kamu? Ingat, Sha. Kamu itu masih istri aku," balasnya dengan raut bingung yang kentara. Mungkin karena selama ini aku selalu bersikap lembut padanya.
Aku bergeming, mematri tatapan pada wajah yang akhir-akhir ini terlihat memuakkan di mataku.
"Aku nggak lupa kalo aku ini istri kamu. Yang lupa itu kamu, Raka. Kamu lupa kalo udah nikah sama aku, kamu lupa kalo kamu itu suami aku. Udahlah, aku nggak mau berdebat!" Kulambaikan tangan menolak berbicara.
Kenapa dia tidak mau mengerti juga apa yang aku mau? Apa susahnya menyelesaikan urusan dengan mantan pacarnya itu? Kubalikkan tubuh pergi meninggalkannya setelah meletakkan piring nasi goreng yang masih terisi di atas meja.
"Kalo tahu begini akhirnya, mending aku tolak pernikahan ini dari awal. Ya Allah, apa memang kayak gini jalan takdir yang harus aku jalani?" Kuhela napas menahan sesak yang merebak. Air yang nyaris jatuh dari pelupuk kutahan dan kuhapus dengan cepat.
Kuputuskan pergi ke toko, memeriksa keadaan. Namun, teringat pada rencana awal. Aku akan memulai semuanya. Kukirim pesan pada Irwan yang berjaga di toko Raka.
Ir, mulai bulan ini kirim laporan keuangan sama aku, ya.
Kuhempas tubuh di tepi ranjang, menunggu jawaban. Notifikasi balasan masuk, dari Irwan.
Siap!
Aku tersenyum, samar kudengar suara motor Raka pergi meninggalkan rumah. Ke mana dia pergi? Ke toko atau ke rumah Shila? Terburu-buru kusambar kunci mobil, pergi menyusul. Kuikuti diam-diam ke mana laki-laki itu pergi. Dari jalan yang diambilnya dia menuju ke rumah mamah. Ya Allah, apa kabar mamah mertuaku? Apa dia baik-baik saja?
Kuputuskan berbelok menuju toko, enggan mengikuti Raka lagi. Rasanya kurang pantas berkunjung ke rumah mertua secara terpisah seperti ini. Mobil berhenti di depan toko yang dulu hanya satu ruko dan kosong, kini menjadi besar seperti sekarang.
Bukan tanpa alasan kumodali Raka mengembangkan usahanya, aku hanya ingin dia merasa menjadi kepala keluarga seutuhnya meski kenyataan pahit yang aku terima. Irwan tersenyum melihat kedatanganku, di tangannya sudah ada berkas laporan yang aku pinta meski hanya berupa sebuah buku.
"Gimana, Ir? Ke mana Doni?" Kuedarkan pandangan menatap sekeliling, toko ini nyaris kosong. Hanya ada sedikit barang yang terpajang, itupun keluaran lama. Apa Raka tak pernah memesan barang-barang lagi?
"Yah, beginilah, Sha. Kamu lihat sendiri ajalah," jawab Irwan ambigu. Kulirik sekilas, dia mendesah.
"Apa kalian nggak pernah pesan barang lagi? Kenapa toko jadi begini kosong?" tanyaku sambil memeriksa barang-barang yang ada.
Helaan napas Irwan menyapa telinga, kulihat laki-laki beranak satu itu menunduk menatap buku di tangan.
"Kamu bisa lihat di buku ini laporannya, Sha. Kalo dari mulut aku, takutnya nggak bikin kamu percaya," ujarnya sembari menggeser buku di tangan ke samping tepat di hadapanku.
Kutatap wajah gelisah Irwan, ada rahasia yang tersembunyi di sana.
"Ada apa?" Aku memilih bertanya daripada melihat buku ketika netranya terus terpaku padaku.
"Raka bilang kamu pergi dari rumah?"
Kusunggingkan senyum mendengar pertanyaan itu.
"Ya, aku pergi ke Jawa Timur mengunjungi si Mbah."
Bibirnya membentuk bulatan, tak ada lagi tanya.
"Emang kenapa?" Kuajukan tanya menelisiknya.
"Nggak apa-apa, sih. Cuma si Raka jarang ke toko, alasannya katanya nyariin kamu."
Aku mengernyit, menelisik wajah Irwan yang tampak gelisah. Ada apa di sorot matanya itu?
"Kita juga pernah disuruh datangin hotel-hotel di Jakarta. Katanya siapa tahu kamu nginap di sana," lanjut Irwan sambil menggaruk pelipisnya. Salah tingkah.
Aku mengernyit mendengar penuturan Irwan. Kenapa Raka sampai berpikir aku ada di hotel?
"Apa yang dia cari di hotel? Aku atau mantannya itu?" Sengit, kulempar tanya itu kepada Irwan.
Mata laki-laki itu menjegil lebar, kedua bibirnya bahkan terpisah meski hanya sedikit. Jelas dia terkejut dengan apa yang aku tanyakan. Apa yang diketahui Irwan soal perselingkuhan mereka?
"Ka-kamu ...." Irwan tak melanjutkan ucapan, telunjuk yang mengarah kepadaku terlihat bergetar. Ia kepalkan kemudian.
"Apa? Kenapa kamu diam? Apa yang kamu tahu dan aku nggak tahu, Ir? Kalian menutupi semua ini dari aku?" cecarku semakin mengintimidasi Irwan lewat tatapan mata.
Dia membuang muka, menghindari tatapanku. Kutunggu beberapa saat, peluh bermunculan di pori-pori wajah laki-laki beranak satu itu.
"Jadi, kamu udah tahu soal Raka?" sambar sebuah suara lain yang baru saja tiba.
Kulempar pandangan pada Doni yang berjalan memasuki toko. Diberikannya tas juga sebuah catatan kepada Irwan, setelahnya dia menatapku dengan serius.
"Emang apa yang aku nggak tahu? Apa selama ini Raka berhubungan sama mantannya tanpa sepengetahuan aku?" Kulayangkan tanya pada sepupu suamiku itu.
Mereka saling melirik satu sama lain, aku yakin kedua laki-laki di hadapan menyimpan rahasia tentang Raka.
"Kamu udah tanya sama dia?" tanya Doni jelas terlihat dia sangat berhati-hati dalam membahas tentang Raka.
"Udah, tapi nggak ada jawaban. Aku cuma mau tahu, takutnya salah faham," terangku.
Aku takut semua yang aku lihat, aku dengar, dan aku rasa hanyalah kesalahpahaman semata. Raka tidak sedang melakukan itu di belakangku, aku tidak ingin berakhir dengan penyesalan.
"Selama kamu pergi dia terus cariin kamu, tapi nggak sendiri. Mantannya itu juga ikut nyari kamu. Aku nggak tahu apa tujuannya, tapi setiap hari mereka selalu berdua. Alasannya, karena Shila mau minta maaf sama kamu," jelas Doni. Sama sekali tidak menjawab kegelisahan hatiku, tapi dari keterangannya aku tahu bahwa Raka dan Shila selalu bersama-sama.
Shila bukan ingin meminta maaf padaku, tapi dia sengaja ingin berdekatan dengan Raka. Licik! Awas kamu, Shila!