Masih belajar, jangan dibuli 🤌
Kisah ini bermula saat aku mengetahui bahwa kekasihku bukan manusia. Makhluk penghisap darah itu menyeretku ke dalam masalah antara kaumnya dan manusia serigala.
Aku yang tidak tahu apa-apa, terpaksa untuk mempelajari ilmu sihir agar bisa menakhlukkan semua masalah yang ada.
Tapi itu semua tidak segampang yang kutulia saat ini. Karena sekarang para Vampir dan Manusia Serigala mengincarku. Sedangkan aku tidak tahu apa tujuan mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BellaBiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30
Itu hari ulang tahun si kembar, Aiden dan Leo.
Ayah mereka mendandani keduanya dengan sangat elegan. Lucu sekali melihat dua anak kecil berusia delapan tahun itu tampil seperti versi mini dari ayah mereka. Terutama Aiden, yang lebih tua dan sangat mirip secara fisik dengan ayahnya.
Melinda sering mengolok-olok Aiden, menyebutnya "pemimpin mini." Tapi Aiden nggak terlalu suka. Ketika besar nanti, dia lebih memilih pekerjaan yang penuh petualangan. Menurutnya, pekerjaan ayahnya yang sehari-hari di coven itu membosankan. Padahal, kenyataannya justru sebaliknya.
Di meja makan, ketiga temanku—Melinda, Charlotte, dan Gunther—duduk bersama anak-anak dan pasangan mereka masing-masing. Gerda juga hadir, membawa pasangannya serta saudara kembarnya. Para tamu penting bagi si kembar pun berkumpul, masih dengan tekad untuk memenangkan hati si kembar.
Manfaatkan momen, si kembar yang berdandan rapi menyambut tamu mereka, terutama calon pasangan masa depan.
“Halo Astrid, Elim. Senang banget kalian bisa datang ke ulang tahun kami,” sapa Aiden.
“Kalian cantik banget,” tambah Leo.
“Terima kasih, kalian juga tampan. Selamat ulang tahun ya,” balas Astrid, sementara Elim hanya tersenyum melihat mereka.
Fenrir juga hadir bersama rekannya, Pemimpin Brittany, dan Khadija, yang sudah lama nggak kami temui.
Sementara itu, Magnus sibuk melayani Kendra, menyajikan jus dan memberinya permen. Dia melakukan apa saja demi menarik perhatian Kendra. Gadis kecil itu meminta Magnus menceritakan segala hal yang terjadi di negeri Skandinavia. Mereka bisa duduk berjam-jam, mengabaikan keramaian di sekitar mereka.
Di pojok meja, si kembar duduk bersama Magnus, Kendra, Gaspar, Asyer, dan Adal—anak-anak dari temanku. Di sana, mereka semua asyik ngobrol tentang hal-hal anak-anak. Sementara kami, para orang dewasa, duduk di sisi lain.
Pada hari itu, Kalen sudah sembuh dari lukanya, meskipun harga dirinya masih terluka. Dia merasa bodoh setelah menyadari bahwa dia hanya dimanfaatkan untuk sampai ke bangsal. Hubungan itu menjadi salah satu yang paling menyedihkan dalam hidupnya, penuh kebohongan tanpa hasrat yang nyata di antara mereka.
Setelah makan selesai, anak-anak pergi bermain di taman yang dipenuhi berbagai macam permainan seru. Musik pun mulai dimainkan untuk menghibur para tamu dewasa.
“Kalen, aku tahu kamu masih nggak enak hati. Tapi kenapa nggak coba ajak Victoria berdansa? Dia juga lagi ngalamin proses yang menyakitkan. Kamu bisa bersenang-senang sebentar,” kata Zara.
“Nggak apa-apa,” balas Kalen.
Dia pun mendekati Victoria, yang mengenakan gaun merah cantik dan terlihat memukau.
“Mau dansa, Victoria?” tanya Kalen.
“Tentu saja,” jawab Victoria.
Di tengah musik yang mengalun, mereka tiba-tiba saling menatap. Meskipun sudah beberapa hari tinggal di bawah atap yang sama dan tenggelam dalam masalah masing-masing, mereka hampir tidak pernah berbicara. Kini, mereka menyadari betapa menariknya orang di hadapan mereka. Kalen memandangi wajah cantik Victoria, kulitnya yang halus, dan rambut keemasan yang panjang. Sementara Victoria menatap dalam mata Kalen, kulitnya yang putih, serta rambut hitam yang memberinya aura misterius.
Seolah baru pertama kali bertemu, mereka tampak serasi sebagai pasangan. Mereka berdansa bukan hanya satu lagu, tapi beberapa lagu, dan terus berbicara serta mengenal satu sama lain sepanjang malam. Dua jiwa yang terluka karena patah hati akhirnya menemukan kenyamanan bersama. Perasaan kuat pun mulai tumbuh di antara mereka.
"Berita apa yang kamu punya tentang tanahmu, Khadijah?" tanya Zara.
"Mungkin kita sedang mengalami serangan vampir. Kita belum pernah melihat yang seperti ini selama beberapa dekade," jawab Khadijah.
"Menurutmu kenapa?" tanyaku, "Karena tiba-tiba sekarang mereka ada di mana-mana, dan dari yang kulihat, mereka bahkan nggak repot-repot sembunyi."
"Mereka pasti mengubah lebih banyak vampir," kata Khadijah, "Karena nggak ada lagi dewan yang mengawasi, jadi mungkin mereka juga nggak punya rencana yang bagus."
"Dan kamu tinggal sendirian? Nggak berbahaya tuh?" tanyaku lagi.
"Nggak usah khawatir, Zara," jawab Khadijah santai. "Aku udah tinggal di banyak tempat. Kalau mereka sampai masuk ke rumahku, aku bakal bawa beberapa dari mereka sebelum pergi. Tapi bahkan pasukan vampir pun nggak bakal bikin aku meninggalkan rumahku."
*Di kamar Zara dan Aleister*
"Zara, aku lihat kamu kayak jauh banget beberapa hari ini. Kamu masih marah karena aku nggak cerita soal kehidupanmu yang lain?" tanya Aleister.
"Lebih dari marah, aku kecewa, Aleister," jawab Zara. "Setelah semua yang kita lalui, kenyataan bahwa kamu masih menyembunyikan hal sepenting itu dari aku bikin aku merasa kamu nggak sepenuhnya percaya sama aku. Dalam hubungan, nggak boleh ada rahasia atau kurangnya kepercayaan. Kalau nggak, sama siapa lagi kita seharusnya saling mencintai?"
"Aku pikir lebih baik kamu nggak tahu," jawab Aleister.
"Ya, kamu salah lagi," Zara mendesah. "Kamu bikin keputusan sendirian, padahal itu keputusan yang harus kita ambil bersama. Hal-hal seperti ini harusnya kita berdua tahu, terutama aku, karena ini menyangkut hidupku. Setelah tahu yang sebenarnya, aku hampir memutuskan buat mengakhiri pernikahan kita. Rasanya sakit banget. Aku merasa hidup keluarga kita cuma lelucon. Kupikir kamu menikah denganku cuma karena masih cinta sama ingatan Ana. Dan ternyata ada tiga anak yang terlibat. Kamu nggak tahu gimana perasaanku."
"Maafkan aku, Zara," kata Aleister, suaranya pelan. "Aku salah karena nggak cerita padamu. Pada akhirnya, malah jadi lebih buruk. Tapi jangan berpikir aku nggak percaya padamu. Aku sangat mencintaimu."
"Aku nggak tahu, Aleister. Aku benar-benar nggak tahu apa lagi yang bisa kuharapkan darimu. Rahasia apa lagi yang masih kamu simpan dariku? Aku takut suatu saat nanti aku akan menemukan hal buruk lagi di saat yang nggak tepat," kata Zara, suaranya mulai terdengar getir. "Setelah bertahun-tahun kita bersama, rasanya aneh banget kayak aku nggak benar-benar kenal kamu."
"Bagaimana mungkin kamu nggak kenal aku?" Aleister terlihat bingung. "Aku sudah berusaha terbuka sama kamu. Setelah bertahun-tahun hidup dengan rahasia, aku terbiasa hidup dan bertahan dengan cara itu. Aku bilang ke kamu, nggak mudah untuk langsung berubah. Kebiasaan ini sudah kubentuk selama berabad-abad, dan aku nggak bisa berubah dalam semalam, Zara."
"Baiklah, Aleister. Tapi coba lebih keras lagi sebelum pernikahan kita benar-benar sia-sia," jawab Zara dingin.
Aleister, frustrasi, keluar dari kamar dan berjalan menuju taman. Dia merasa marah pada dirinya sendiri, karena selalu ingin menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri. Dia mulai paham bahwa sikapnya yang seperti ini juga jadi sumber masalah, terutama dengan Kalen.
Sepanjang hidupnya, sejak usia lima belas tahun, dia terbiasa membuat keputusan demi melindungi orang lain. Pertama untuk saudaranya, lalu untuk dirinya sendiri, kelompoknya, dan sekarang keluarganya. Tapi sekarang dia menyadari, menyembunyikan sesuatu demi melindungi orang lain dengan berlebihan bisa sama bahayanya dengan ceroboh.
awak yang sudah seru bagi ku yang membaca kak