Di sebuah SMA ternama di kota kecil, siswa-siswi kelas 12 tengah bersiap menghadapi ujian akhir. Namun, rencana mereka terganggu ketika sekolah mengumumkan program perjodohan untuk menciptakan ikatan antar siswa. Setiap siswa akan dipasangkan dengan teman sekelasnya berdasarkan kesamaan minat dan nilai akademis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AYANOKOUJI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 5
Putri mengangguk pelan, "Aku mengerti, Andi. Mungkin kita bisa mulai pelan-pelan?"
Aku tersenyum dan menggenggam tangannya, "Ya, itu ide yang bagus. Kita bisa mengenal satu sama lain lagi, melihat apakah kita masih cocok."
Malam itu menjadi awal dari babak baru dalam hubungan kami. Selama sisa liburan Putri, kami menghabiskan lebih banyak waktu bersama, kali ini dengan perspektif yang berbeda. Kami berbagi cerita tentang pengalaman kami selama berpisah, impian-impian kami, dan harapan untuk masa depan.
Namun, waktu berlalu begitu cepat. Tiba-tiba saja, hari keberangkatan Putri kembali ke Jerman sudah di depan mata. Malam sebelum keberangkatannya, kami duduk di taman kota, tempat favorit kami dulu.
"Andi," Putri memulai, suaranya lembut, "Terima kasih untuk beberapa minggu terakhir ini. Aku benar-benar bahagia."
Aku mengangguk, "Aku juga, Put. Tapi besok..."
"Ya, besok aku harus kembali," Putri melanjutkan kalimatku. "Tapi kali ini berbeda, kan?"
Aku menatap matanya, melihat harapan dan keraguan yang bercampur di sana. "Ya, berbeda. Kita akan mencoba, kan?"
Putri tersenyum dan mengangguk, "Ya, kita akan mencoba."
Keesokan harinya, aku mengantar Putri ke bandara. Saat kami berpelukan untuk terakhir kalinya sebelum dia masuk ke area keberangkatan, aku berbisik, "Aku akan menunggumu, Put."
Putri membalas dengan senyuman dan anggukan, air mata menggenang di matanya. "Aku akan kembali, Andi. Tunggu aku."
Setelah kepergian Putri, hari-hariku kembali dipenuhi dengan kuliah dan magang. Namun kali ini, ada semangat baru yang menyala dalam diriku. Kami tetap berkomunikasi secara rutin, berbagi cerita tentang keseharian kami, dan perlahan-lahan membangun kembali hubungan kami.
Bulan demi bulan berlalu. Putri semakin sibuk dengan kuliahnya dan pekerjaannya paruh waktu, sementara aku juga mulai fokus pada skripsi dan persiapan kelulusan. Meskipun jadwal kami semakin padat, kami selalu berusaha menyisihkan waktu untuk berbicara, bahkan jika hanya sebentar.
Suatu malam, saat kami sedang video call, Putri tiba-tiba berkata, "Andi, aku punya kabar."
"Kabar apa, Put?" tanyaku, penasaran dengan nada suaranya yang terdengar serius.
Putri menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Aku... aku ditawari posisi tetap di perusahaan tempatku magang. Mereka ingin aku bergabung setelah lulus nanti."
Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi ini. "Wow, Put. Itu... itu kabar yang luar biasa! Selamat ya!"
Putri tersenyum, tapi aku bisa melihat ada keraguan di matanya. "Terima kasih, Andi. Tapi..."
"Tapi apa, Put?"
"Tapi itu arti
"Tapi itu artinya aku akan tinggal lebih lama di Jerman," Putri melanjutkan dengan suara pelan. "Mungkin beberapa tahun."
Kata-kata itu menghantamku seperti ombak yang tak terduga. Aku terdiam sejenak, mencoba menenangkan pikiranku yang mulai berkecamuk.
"Andi?" Putri memanggilku, suaranya penuh kekhawatiran. "Kamu baik-baik saja?"
Aku menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Ya, Put. Aku... aku hanya sedikit terkejut. Tapi ini kesempatan bagus untukmu, kan?"
Putri mengangguk pelan. "Iya, ini kesempatan yang sangat baik untuk karirku. Tapi..."
"Tapi apa, Put?"
"Tapi aku memikirkan kita, Andi. Hubungan kita. Apa kamu... apa kamu masih mau menungguku?"
Pertanyaan itu menggantung di udara, berat dengan implikasi dan kemungkinan. Aku menatap wajah Putri di layar, melihat keraguan dan harapan yang terpancar dari matanya.
"Put," aku memulai, suaraku lebih mantap dari yang aku duga, "Aku sudah bilang aku akan menunggumu, kan? Itu tidak berubah."
Aku melihat kelegaan di wajah Putri, tapi aku tahu ada lebih banyak yang harus dibicarakan.
"Tapi Put, kita harus realistis," aku melanjutkan. "Ini bukan akan jadi mudah. Kita akan terpisah jarak dan waktu untuk waktu yang lama. Kita harus siap menghadapi tantangan itu."
Putri mengangguk, "Aku tahu, Andi. Aku juga sudah memikirkan itu. Tapi... aku rasa kita bisa melewatinya. Kita sudah berjauh-jauhan selama ini dan kita masih bisa mempertahankan hubungan kita, kan?"
Aku tersenyum, merasa tersentuh oleh keyakinan dalam suaranya. "Ya, kita memang sudah melewati banyak hal. Tapi ini akan jadi perjalanan yang panjang, Put. Kita harus siap untuk itu."
"Aku siap, Andi," Putri menjawab dengan mantap. "Aku tahu ini tidak akan mudah, tapi aku yakin kita bisa melewatinya bersama. Bagaimana denganmu?"
Aku terdiam sejenak, memikirkan semua kemungkinan yang ada. Ini bukan keputusan yang bisa diambil dengan mudah. Tapi ketika aku melihat wajah Putri, penuh harapan dan keyakinan, aku tahu jawabanku.
"Aku juga siap, Put," aku akhirnya menjawab. "Kita akan melewati ini bersama."
Senyum Putri melebar, dan aku bisa melihat air mata kebahagiaan di sudut matanya. "Terima kasih, Andi. Aku janji akan berusaha sekuat tenaga untuk hubungan kita."
"Aku juga, Put. Kita akan melalui ini bersama-sama."
Setelah pembicaraan itu, kami mulai membuat rencana untuk masa depan kami. Kami sepakat untuk tetap berkomunikasi secara rutin, meluangkan waktu untuk video call setidaknya sekali seminggu, dan berjanji untuk saling jujur tentang perasaan dan kekhawatiran