Lara telah menghabiskan tiga belas tahun hidupnya sebagai wanita simpanan, terperangkap dalam cinta yang terlarang dengan kekasihnya, seorang pria yang telah menikah dengan wanita lain. Meski hatinya terluka, Lara tetap bertahan dalam hubungan penuh rahasia dan ketidakpastian itu. Namun, segalanya berubah ketika ia bertemu Firman, seorang pria yang berbeda. Di tengah kehampaan dan kerapuhan emosinya, Lara menemukan kenyamanan dalam kebersamaan mereka.
Kisahnya berubah menjadi lebih rumit saat Lara mengandung anak Firman, tanpa ada ikatan pernikahan yang mengesahkan hubungan mereka. Dalam pergolakan batin, Lara harus menghadapi keputusan-keputusan berat, tentang masa depannya, anaknya, dan cinta yang selama ini ia perjuangkan. Apakah ia akan terus terperangkap dalam bayang-bayang masa lalunya, atau memilih lembaran baru bersama Firman dan anak mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Syah🖤, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 21
Jangan lupa like komen dan votenya yah
Terimakasih
_
Lara duduk di taman dekat apartemennya, menikmati udara pagi yang segar. Pikirannya masih dipenuhi dengan momen-momen indah yang ia habiskan bersama Firman di danau beberapa hari yang lalu. Perasaan nyaman dan tenang yang ia rasakan saat bersama Firman membuat hatinya semakin yakin bahwa ia sedang berada di titik perubahan besar dalam hidupnya.
Tiba-tiba, ponselnya berdering. Nama Firman muncul di layar.
🗨️ Firman: “Hai, Lara. Apa kamu sedang sibuk? Aku ingin mengajakmu bertemu hari ini. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu.”
Lara membaca pesan itu dengan senyum kecil di wajahnya. Sejak pertemuan mereka di danau, hubungan mereka semakin dekat, dan Lara merasa ada sesuatu yang lebih dalam yang mulai tumbuh di antara mereka. Dengan hati-hati, ia membalas.
🗨️ Lara: “Tentu, Firman. Aku juga ingin bertemu. Kapan dan di mana?”
🗨️ Firman: “Bagaimana kalau di kafe yang biasa kita kunjungi?.”
Lara setuju dan segera bersiap. Dalam hatinya, ia merasa bahwa pertemuan ini akan menjadi sesuatu yang penting. Meskipun ia belum tahu pasti apa yang ingin Firman bicarakan, ada firasat bahwa mungkin ini adalah saat di mana Firman akan mengungkapkan perasaannya.
***
Di kafe yang tenang itu, Firman sudah menunggu Lara. Ia duduk di meja sudut, tampak sedikit gelisah namun tetap tersenyum ketika melihat Lara masuk. Lara menghampirinya, dan mereka saling menyapa dengan hangat.
“Apa kabar?” tanya Firman, mencoba untuk tidak menunjukkan kegugupannya.
“Aku baik. Kamu sendiri?” jawab Lara dengan senyum lembut.
“Aku... baik juga. Hanya saja, ada sesuatu yang sudah lama ingin aku sampaikan, tapi aku belum menemukan waktu yang tepat,” kata Firman sambil memainkan cangkir kopinya. Matanya sesekali menatap Lara, namun segera beralih ke meja, seolah mencari keberanian untuk melanjutkan.
Lara menyadari ketegangan itu. Ia menatap Firman dengan penuh perhatian, memberikan ruang bagi Firman untuk mengutarakan apa pun yang ingin ia sampaikan.
“Lara,” Firman mulai, suaranya lebih pelan namun terdengar serius, “sejak pertama kali kita bertemu di rumah sakit, aku selalu merasa ada sesuatu yang berbeda denganmu. Awalnya, aku hanya berpikir bahwa aku ingin membantumu pulih, seperti pasien lainnya. Tapi seiring berjalannya waktu, aku menyadari bahwa perasaanku padamu tumbuh lebih dari itu.”
Lara terdiam, menatap Firman dengan hati-hati. Ia bisa merasakan bahwa apa yang akan dikatakan Firman adalah sesuatu yang sangat penting.
Firman melanjutkan, matanya kini menatap langsung ke mata Lara. “Aku jatuh cinta padamu, Lara. Bukan hanya sebagai seorang dokter yang peduli pada pasiennya, tapi sebagai seorang pria yang melihat betapa kuatnya kamu, meskipun kamu sudah melalui begitu banyak hal. Aku tahu mungkin ini terlalu cepat, dan aku tidak ingin membuatmu merasa tertekan. Tapi aku harus jujur tentang perasaanku.”
Suasana di antara mereka terasa sangat sunyi, seolah waktu berhenti untuk sejenak. Lara merasa hatinya berdebar lebih kencang. Ia tahu bahwa Firman adalah orang yang tulus dan selalu ada untuknya selama masa sulit, tapi mendengar pengakuan cintanya membuat perasaan Lara campur aduk.
“Firman,” jawab Lara pelan, mencoba merangkai kata-kata, “aku... aku tidak tahu harus berkata apa. Kamu telah menjadi bagian penting dalam hidupku, dan aku sangat menghargai semua yang telah kamu lakukan untukku. Tapi perasaanku masih... rumit. Aku baru saja mulai sembuh dari luka masa laluku, dan aku belum yakin apakah aku siap untuk membuka hati sepenuhnya.”
Firman mengangguk, memahami. “Aku mengerti, Lara. Aku tidak akan memaksamu untuk merasa sesuatu yang kamu belum siap rasakan. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa perasaanku tulus, dan aku akan berada di sini kapan pun kamu siap. Aku ingin kita melangkah perlahan, tanpa tekanan.”
Lara tersenyum tipis, merasa lega mendengar pengertian Firman. “Terima kasih, Firman. Aku butuh waktu, tapi aku senang kamu bisa jujur padaku. Mungkin dengan waktu, aku juga bisa memahami perasaanku sendiri.”
Firman merasakan beban di dadanya sedikit terangkat. Meski Lara belum memberikan jawaban pasti, ia merasa bahwa kejujurannya telah membuka jalan bagi mereka berdua untuk melanjutkan hubungan ini dengan cara yang lebih baik. Ia tidak terburu-buru, karena yang ia inginkan adalah memberikan ruang bagi Lara untuk tumbuh dan menemukan kebahagiaannya sendiri.
Mereka berbincang lagi, kali ini lebih santai, seolah tidak ada ketegangan yang tersisa. Mereka tahu bahwa mereka saling memahami dan menghargai perasaan satu sama lain. Malam itu berakhir dengan penuh harapan, meskipun mereka masih di awal perjalanan yang panjang.
Lara pulang dengan perasaan campur aduk—di satu sisi, ia merasa bersyukur atas Firman yang begitu tulus, namun di sisi lain, ia masih perlu menyelami perasaannya sendiri. Namun, satu hal yang pasti: Firman bukan hanya sekadar dokter atau teman baginya, ia adalah seseorang yang telah memberikan warna baru dalam hidupnya.
Dan kini, Lara merasa siap untuk melihat ke depan, perlahan-lahan membuka hati untuk cinta yang mungkin datang dari arah yang tak terduga.
***
Setelah pertemuan di kafe,Lara yang berdiri di balkon apartemennya, menatap langit malam yang cerah. Ia merenungkan semua yang telah terjadi, dan meskipun perasaannya masih belum sepenuhnya terungkap, ada kehangatan baru yang tumbuh di dalam hatinya, kehangatan yang membuatnya merasa tidak lagi sendirian, memikirkan hal membuat Lara merasakan dorongan untuk lebih memahami dirinya dan perasaannya. Ia memutuskan untuk menghabiskan lebih banyak waktu bersama Firman, tidak hanya sebagai dokter dan pasien, tetapi juga sebagai teman. Setiap hari, mereka bertemu, baik di kafe maupun di taman, dan berbagi cerita tentang kehidupan masing-masing.
Suatu sore, saat mereka berjalan-jalan di taman, Lara melihat Firman sedang memperhatikan bunga-bunga yang sedang bermekaran. “Kamu tahu, aku selalu merasa bahwa bunga-bunga ini bisa menjadi simbol kehidupan baru,” kata Lara, menghampiri Firman.
Firma tersenyum, menoleh ke arahnya. “Ya, mereka tumbuh meski menghadapi banyak tantangan. Begitu juga dengan kita, bukan?”
Lara mengangguk, merasakan kedalaman makna yang disampaikan Firman. “Aku merasa seperti bunga ini. Baru mulai tumbuh kembali setelah lama terpendam. Dan meskipun masih ada rasa sakit, aku ingin memberi kesempatan pada diriku untuk berkembang.”
Firman menghampiri Lara, menatapnya dengan lembut. “Aku di sini untuk mendukungmu, Lara. Tidak peduli seberapa lama perjalanan ini, aku akan ada di sampingmu.”
Mendengar kata-kata Firman membuat Lara merasa nyaman. Ia merasa semakin terhubung dengan pria ini, yang selalu sabar dan memahami. Hatinya mulai terbuka, meski ia masih takut untuk sepenuhnya mencintai karena trauma masa lalu yang begitu membuat dadanya sesak jika di ingat-ingat
~
Salam Author;)
Katanya perlu bicara ujung2nya perlu waktu lagi dan lagi baik sama lara juga sama arini beberapa bab muter itu2 aja, Maaf ya Thor kayak ceritanya hanya jalan di tempat aja 🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻