Gracella Eirene, gadis pendiam yang lebih suka bersembunyi di dunia imajinasi, Ia sering berfantasi tentang kehidupan baru, tentang cinta dan persahabatan yang tak pernah ia rasakan. Suatu hari, ia terpesona oleh novel berjudul 'Perjalanan cinta Laura si gadis polos', khususnya setelah menemukan tokoh bernama Gracella Eirene Valdore. Namun, tanpa ia sadari, sebuah kecelakaan mengubah hidupnya selamanya. Ia terbangun dalam dunia novel tersebut, di mana mimpinya untuk bertransmigrasi menjadi kenyataan.
Di dunia baru ini, Gracella Eirene Valdore bertemu dengan Genta, saudara kembarnya yang merupakan tokoh antagonis utama dalam cerita. Genta adalah musuh tokoh utama, penjahat yang ditakdirkan untuk berakhir tragis. Gracella menyadari bahwa ia telah mengambil alih tubuh Grace Valdore, gadis yang ditakdirkan untuk mengalami nasib yang mengerikan.
- Bisakah Gracella Eirene Valdore mengubah takdirnya dan menghindari nasib tragis yang menanti Grace Valdore?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Afizah C_Rmd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 30
Pak Hendra menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Udara di ruangan terasa berat, dipenuhi ketegangan yang mencekik. "Grace," ujarnya, suaranya sedikit gemetar, "bisakah kamu jelaskan apa yang terjadi di lapangan voli kemarin? Apakah kamu sengaja melukai Laura?" Jam dinding berdetak nyaring, seakan ikut memperbesar ketegangan.
Rene, yang masih mengendalikan tubuh Grace, menjawab dengan dingin, "Saya tidak sengaja. Itu hanya kecelakaan." Suaranya terdengar datar, tanpa sedikitpun penyesalan.
Grace, menyadari kontrol Rene atas tubuhnya, memilih diam. Ia tak peduli dengan pembelaan Rene. Lagipula, Rene yang mengendalikan tubuhnya saat itu, bukan dirinya. Ia hanya bisa pasrah, menunggu Rene menyelesaikan semuanya.
Bapak Laura, wajahnya memerah, berkata, "Kecelakaan? Laura sampai pingsan karena kepalanya terbentur bola! Ini bukan kecelakaan biasa!"
Rene menatap Bapak Laura dengan tatapan menantang. Ia menyilangkan tangannya di dada, sikap yang semakin memperlihatkan arogansi. "Ia hanya pingsan, sekarang pasti sudah sadar. Yang pasti, saya tidak sengaja." Suaranya menusuk.
Suasana semakin tegang. Abran, dengan wajah dingin, bersuara, suaranya pelan tapi berat, "Pak Hendra, Bapak harus tahu, saya donatur terbesar di sekolah ini. Saya harap Bapak membuat keputusan yang bijak." Ia menatap Pak Hendra dengan tajam, menciptakan tekanan yang tak terlihat namun terasa.
Sahila menambahkan dengan nada tinggi, "Meskipun hanya pingsan, itu tetap karena kelalaian Grace! Laura sampai masuk rumah sakit, merasa pusing dan sakit kepala! Ini bukan hal sepele!" Ia mengepalkan tangannya, jari-jarinya tampak putih karena tekanan.
Pak Hendra mengusap wajahnya, dilema terlihat jelas dari kerutan di dahinya. Ia menatap Grace dan Genta, lalu Abran dan Sahila. Keheningan mencengkeram ruangan, hanya diselingi suara detak jam yang semakin keras.
Setelah beberapa saat hening, Pak Hendra memutuskan, "Grace, saya minta maaf jika keputusan ini terasa tidak adil. Karena kamu telah menyebabkan Laura pingsan, sengaja atau tidak, kamu tetap harus menerima hukuman. Kamu diskors dari sekolah selama tiga hari."
Genta, kakak Grace, langsung membantah, suaranya bergetar, "Tiga hari? Tetap terlalu berat, Pak! Grace sudah bilang itu tidak sengaja!" Sahila masih terlihat tidak puas, "Tiga hari cih? harusnya seminggu!"
"Maaf Bu Sahila, Nak Genta, ini sudah keputusan saya," jawab Pak Hendra tegas.
Rene, yang masih mengendalikan tubuh Grace, tiba-tiba bersuara, "Kak, sudahlah," ucapnya menenangkan Genta. "Baik, saya akan terima hukuman ini Pak," lanjutnya, suaranya terdengar dingin dan tenang.
Pak Hendra mengangguk, lega karena konflik akhirnya mereda. "Karena masalah sudah selesai, kalian bisa keluar," ucapnya.
Melihat semuanya sudah selesai, Rene menarik tangan Genta keluar dari kantor kepala sekolah. Abran dan Sahila, dengan wajah penuh amarah dan mendengus kesal, menyusul mereka.
...----------------...
"Grace, apa rencanamu?" tanya Genta, suaranya terdengar datar, hampir tanpa emosi. Mereka berdua sudah sampai di mansion mereka, sebuah bangunan megah yang kini terasa dingin dan hampa.
"Maksudmu?" Grace menjawab dengan nada datar, matanya menatap kosong ke depan.
"Jangan buat aku seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa, Cella," desak Genta, suaranya masih datar, namun terasa dingin. "Jadi, apa yang kau inginkan? Apa yang kau ketahui?"
"Kalau aku bilang ingin balas dendam, bagaimana?" jawab Grace, suaranya terdengar dingin dan penuh amarah.
"Kenapa?" tanya Genta, suaranya masih datar, namun terasa sedikit terkejut. "Grace, apa yang terjadi padamu?"
"Genta, Genta, jangan kira aku tidak tahu apa yang kamu rencanakan dan sembunyikan dariku," bisik Rene, suaranya terdengar dingin dan mengancam.
"Apa maksudmu?" Genta mengerutkan kening, matanya menyipit tajam, namun suaranya tetap datar.
"Maksudku, aku tahu rencanamu dan pelaku di balik kecelakaanmu itu," bisik Rene lagi, menatap tajam ke arah Genta.
"Jadi kau tahu rencanaku, lalu apa rencana kau?" tanya Genta, suaranya masih datar, namun terasa sedikit tegang.
"Tidak ada, yang terjadi murni hanya kecelakaan saja," jawab Rene acuh, seraya memperhatikan jemari cantiknya.
"Lalu, apa yang kau ketahui tentang yang ku sembunyikan?" tanya Genta, matanya menyipit curiga.
"Aku tahu ayah Abran bukan ayah kandung kita dan Laura anak haram ayah dengan selingkuhannya," jawab Rene dengan tenang.
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Genta, suaranya sedikit bergetar, namun ia berusaha menahan emosi yang mulai memuncak.
"Kak, kau tidak perlu tahu dari mana aku mengetahuinya. Yang pasti, aku tahu semua yang kau sembunyikan dariku dan rencanamu. Aku hanya berpesan, hati-hati dengan rencanamu dan pikirkan dengan baik-baik," kata Rene, suaranya terdengar penuh arti.
Melihat Genta terdiam, wajahnya mulai menunjukkan tanda-tanda kemarahan yang tertahan, Rene bangkit dari tempat duduknya. "Aku ke kamarku dulu, mau tidur. Bye," ucapnya, meninggalkan Genta yang masih tercengang, wajahnya mulai menunjukkan tanda-tanda kemarahan yang tertahan.
Sesampainya di kamar, Rene segera menghempaskan tubuhnya ke kasur yang empuk berbalut kain sutra berwarna lembut. Cahaya remang-remang dari lampu tidur menerangi ruangan, menciptakan suasana sunyi dan sedikit melankolis. Aroma lavender dari pengharum ruangan menyeruak lembut, mencoba menenangkan suasana yang tegang. Grace, yang sedari tadi memperhatikan semuanya, berbicara dalam hati, "Rene, apa yang kau rencanakan?"
"Tidak ada," jawab Rene, suaranya terdengar dingin dan acuh, matanya menatap ke langit-langit kamar yang dihiasi lukisan bertema klasik.
"Rene, jangan kira aku diam tidak tahu apa-apa," kata Grace, suaranya terdengar tegas. "Rene, seperti yang kau tahu, aku sudah membaca semua isi buku novel itu dan aku tahu kau ingin balas dendam dengan kehidupanmu sebelumnya, kan?"
"Benar, aku ingin balas dendam," aku Rene, suaranya menunjukkan tekad yang kuat, matanya berbinar-binar dengan api kemarahan.
"Hah, kalau gitu sih terserah kamu, asal tidak mengulang cerita itu kembali," kata Grace, suaranya terdengar sedikit khawatir, matanya menatap Rene dengan tatapan yang penuh kecemasan.
"Kau tidak mencegahku?" tanya Rene, menatap Grace dengan tatapan tajam, suaranya terdengar mengancam.
"Untuk apa? Lagi pula, asalnya kan tubuh ini milikmu," jawab Grace, suaranya terdengar sedikit lelah, matanya menatap ke lantai yang dihiasi karpet bulu berwarna keemasan. "Tapi kau perlu ingat, meski aku setuju, kau perlu mengatakan semuanya sebelum melakukan sesuatu. Jangan seperti kemarin."
"Hmm," gumam Rene, menanggapi Grace dengan nada yang tidak menentu, matanya menatap ke cermin besar yang menempel di dinding kamar.
"Hah, Rene, aku tahu keinginanmu itu, tapi kita harus berpikir ulang dan ribuan kali," kata Grace, suaranya terdengar tegas, matanya menatap Rene dengan tatapan yang penuh keputusan. "Kita juga harus mencegah semua kejadian yang ada di novel. Gue gak mau hal itu terjadi dan kita juga harus diskusikan rencana dengan matang-matang dan juga Genta, lo tahu kan itu?"
"Iya, gue tahu," jawab Rene, suaranya terdengar sedikit lebih lunak, matanya menatap ke arah Grace dengan tatapan yang penuh kepasrahan.
"Hmm, kalau gitu kembali biar gue yang kendalikan tubuh itu," kata Grace, suaranya terdengar tegas, matanya menatap Rene dengan tatapan yang penuh keputusan.
"Iya iya," jawab Rene, suaranya terdengar pasrah, matanya menatap ke arah Grace dengan tatapan yang penuh kepasrahan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...