Dirga sangat mencintai Maya. Ia tidak ingin bercerai meski Maya menginginkannya. Ia selalu memaklumi Maya yang bertingkah seenaknya sejak Dirga kehilangan pekerjaan dan membuat keluarga mereka terpuruk.
Tapi suara desahan Maya di ponsel saat ia menghubunginya merubah segalanya.
Apa mereka akan tetap bercerai atau -lagi lagi- Dirga memaafkan Maya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Herliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
"Nara koma. Doain Dia, Bro." kata - kata Tikno terngiang di telinga Dirga saat melepasnya di Bandara.
"Nara kenapa? Kok bisa koma?"
"Dia punya penyakit jantung bawaan." Dirga merasa hatinya melorot turun ke lambungnya. Sedih, sesak dan perasaan hampa yang menggila.
Tikno dan istrinya adalah salah dua dari orang - orang yang mengantar Dirga dan Safira ke Bandara.
"Nara ditemukan tidak sadar oleh si Bibik tidak lama setelah ia tinggalkan bersama suaminya." terang Tikno.
"Suaminya nggak ada penjelasannya? Dia kan ada di sana?" tanya Dirga heran.
"Suaminya sudah kembali ke kamarnya dan si Bibik masih ada di dapur, jadi mereka nggak tau persis saat Nara pingsan."
Dirga termangu.
"Suaminya kembali ke kamarnya?" ia malah mengulang kalimat Tikno.
Tikno mengangguk dan mengungkap sebuah rahasia yang diceritakan si Bibik.
"Nara dan suaminya tidur terpisah."
9 jam perjalanan menuju Jeddah dan 4 jam berikutnya menuju Madinah, Dirga merasakan sedih yang berkepanjangan. Saat pengecekan imigrasi di Jeddah pun ia hampir ditolak oleh petugas imigrasi di sana karena ia terlihat gugup dan kehilangan memori di otaknya. Ia jadi layaknya penumpang ilegal.
"Kamu kenapa, Ga?" Safira menyikutnya.
"Fokus, dong. Jangan nge - blank begitu." katanya lagi. Ia tidak mengerti apa yang ada dalam pikiran adiknya ini.
"Itu Nabawi." Dirga langsung melesat ke sana saat muthowwif memberitahu mereka di dalam hotel.
Belum juga ada pembagian kamar saat Dirga langsung melesat ke sana. Untunglah ada Safira. Semua masalah dapat teratasi.
Dirga bersujud dan menangis. Meminta kesembuhan untuk Nara.
"Kalau Dia jodohku, Ya Allah. Tolong dekatkan Kami." Di akhir Doa, Dirga mengucapkan itu. Matanya berembun.
Doa - doa yang ia panjatkan tidak luput menyertakan nama Nara.
Begitu juga saat di Mekah.
"Do'a di depan Multazam adalah doa yang mustajab." begitu kata sang muthowwif dan Dirga berusaha tepat berada di depannya.
Dirga dan Safira saling menjaga. Mereka bergandengan tangan saat Sa'i karena muthowwif melarang mereka bergandengan saat thawaf. Genggaman erat Safira memberinya kekuatan.
Yang ditinggalkan di rumah merasa rindu dan kehilangan. Terutama Rania dan Raka.
"Papa kapan pulangnya, Eyang?" tanya Raka.
"Sebentar lagi, Sayang." jawab Juwita lembut.
"Dari kemarin bilangnya sebentar lagi. Sebentar lagi. Sebentarnya kok lama, Eyang?" Raka cemberut.
"Ya, Rakanya jangan nungguin terus, dong? Sekolah aja seperti biasa, belajar seperti biasa, main seperti biasa.."
"Ngambek seperti biasa.." timpal Rania.
"Raka nggak pernah ngambek." bibir Raka semakin maju.
"Yang bener? Lah, itu apa namanya?" Rania menunjuk bibir Raka seraya tertawa. Raka ikut tertawa menyadari bibirnya yang seperti Donal Bebek.
"Nggak usah ditungguin nanti tau - tau Papa udah ada di sini lagi." hibur Juwita.
Rania menggandeng tangan adiknya.
"Yuk, main."
"Tumben Kakak mau main sore - sore?Biasanya mau belajar masaaak terus!"
"Kan Kamunya gembul. Kakak harus pintar masak kalau pulang ke rumah." Rania menutup mulutnya. Ia kelepasan bicara.
"Kita mau pulang ke rumah, Kak? Beneran? Mama udah nggak marah - marah lagi?" tuh, kan. Rania menatap Juwita. Meminta bantuan untuk menjelaskan.
"Masih lama. Tunggu aja Papa Kalian pulang." ujar Juwita.
"Tuh. Malah suruh nunggu lagi, kan?" bibir Raka mengerucut lucu. Juwita dan Rania kontan tergelak.
"Kak Keanu dan Kak Keisha kapan ke sininya lagi, Oma?" kini Rania yang bertanya.
"Nanti, kalau Kita mau jemput Papa Kalian dan Mama mereka pulang." jawab Juwita.
"Kapan?" tanya Raka.
"Tuh, kapan lagi." Juwita pura - pura cemberut.
"Mau main nggak, nih? Jangan sampai Kakak berubah pikiran, ya?" Rania juga pura - pura mengancam.
****************
Maya sudah pindah ke rumah kontrakannya saat ia mendengar Dirga pergi umroh dan meninggalkan anak - anaknya tanpa menitipkan padanya sama sekali.
"Kebangetan banget, Dirga itu! Dia nggak bisa begitu aja bersikap seperti itu! Mereka itu tetap anak - anakku!" dumelnya.
Dia bergegas ke sekolah anak - anak saat jam pulang sekolah tiba. Tapi ia sungguh terkejut melihat Juwita ada di sana.
"Maya, apa kabar?" tanya Juwita halus.
"Apaan ini, Bu! Sejak kapan Ibu jemput anak - anak? Kenapa? Mereka 'kan sudah besar!" Maya langsung 'menyerang' ibu mertuanya. Mantan ibu mertua, tepatnya.
"Ibu nggak pernah kok, jemput anak - anak. Ibu jemput kalau Ibu ada kepentingan sama mereka." Juwita berusaha menahan dirinya. Ia tidak ingin ada pertengkaran di antara mereka.
"Bohong! Ibu memang sengaja jemput mereka, 'kan? Takut Aku bawa mereka, 'kan?" tuding Maya langsung.
Juwita berdiri menghampiri Maya.
"May, bisa kecilkan suaramu? Ini sekolahan, May." suara rendah Juwita tidak membuat Maya senang.
"Kenapa? Ibu takut?!" teriakannya yang lantang mengundang perhatian ibu - ibu yang juga ingin menjemput anak mereka.
Wajah Juwita memerah. Ia menekan rasa marahnya jauh ke dasar hatinya.
"Ibu memang takut, May. Takut mental anak - anak terganggu." makin rendah suara Juwita, makin tinggi tingkat kemarahan Maya.
"Maksud Ibu apa?! Saya mengganggu mental anak - anak? Begitu?!"
Terdengar bisik - bisik di sekitar mereka.
"Iih, itu sama mertuanya, lho. Berani banget, ya?"
"Bukan mertua, sih. Mantan mertua."
"Tetep aja nggak boleh gitu, dong?"
"Biarin aja. Mertuanya mau nguasain anak - anaknya, ya jelas marahlah."
"Bukannya Ibunya yang lepas tangan, ya?"
Telinga Juwita dan Maya sama - sama memerah. Bisikan mereka seperti suara dengungan nyamuk yang sangat mengganggu.
"Dengar, May. Kita cuma jadi tontonan di sini." Juwita masih berusaha bersabar.
Teett teett!
Bel sekolah berbunyi. Sekejap anak - anak berhamburan keluar dari kelasnya masing - masing.
"Mama!" Maya menoleh. Ia langsung mengembangkan tangannya. Raka bukannya berlari menghambur ke pelukannya, ia justru berjalan seperti menyeret langkahnya.
Raka berjalan mendekat pada Juwita yang langsung memeluknya.
"Mana Kakakmu?" tanya Juwita.
Maya seperti kehilangan akalnya. Ia langsung merenggut Raka dari pelukan Juwita.
"Aaaa!" Raka menjerit dan meronta. Maya merasa hatinya robek jadi 2.
"Raka! Tadi Kamu panggil Mama, kan? Bener ini Mama, Sayang.." Maya menangis. Melihat itu Raka ikut menangis. Rontaannya terhenti.
"Raka ikut Mama pulang, ya?" Maya mengusap airmatanya. Menatap anaknya penuh permohonan.
Raka terlihat bingung. Pulang? Tapi Eyang memintanya menunggu Papanya.
Dari kelasnya yang cukup jauh dari tempat mereka berkumpul, Rania berlari dan memeluk Maya.
"Mama!" Maya seperti mendapatkan kekuatan. Dibalasnya pelukan Rania dengan kuat dan menghujani wajah Rania dengan ciuman.
"Nia ikut Mama pulang, ya?" ucap Maya lagi.
"Kemana, Ma?" tanya Rania.
Maya tertegun. Mereka memang belum mengetahui tempat tinggalnya yang baru.
"Ke rumah Mama. Rumah Kita." Rumah kontrakan yang langsung dibayar oleh Gerry. Rumah kontrakan yang lumayan besar dan nyaman.
Rania menggeleng. Ia menatap Maya lekat - lekat.
"Rania mau sama Papa." ucapnya polos namun tegas.
"Nia?" hati Maya luruh, jatuh seperti daun - daun kering.
**********************