Kisah perjuangan hidup gadis bernama Cahaya yang terpaksa menjalani segala kepahitan hidup seorang diri, setelah ayah dan kakak tercintanya meninggal. Dia juga ditinggalkan begitu saja oleh wanita yang sudah melahirkannya ke dunia ini.
Dia berjuang sendirian melawan rasa sakit, trauma, depresi dan luka yang diberikan oleh orang orang yang di anggapnya bisa menjaganya dan menyayanginya. Namun, apalah daya nasibnya begitu malang. Dia disiksa, dihina dan dibuang begitu saja seperti sampah tak berguna.
Bagaimana kisah selanjutnya?
Akankah Cahaya menemukan kebahagiaan pada akhirnya, ataukah dia akan terus menjalani kehidupannya yang penuh dengan kepahitan dan kesakitan...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RahmaYesi.614, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30 Masa lalu
Kai sudah berada di apartemen Elang. Mereka duduk mengobrol di ruang tengah.
"Lu kenal Doni kan?"
"Kenal lah, sepupunya Mentari. Kenapa?"
Kai pun menceritakan kejadian di mall tadi sore pada Elang yang membuatnya mendengarkan dengan serius cerita sahabatnya itu.
"Lu yakin Cahaya takut sama Doni?"
"Gue yakin seratus persen."
"Terus, lu udah nanya sama Cahaya?"
Kai menggeleng lesu. "Gue gak tau cara nanyanya gimana, bro. Melihat dia menderita gitu aja membuat gue sakit. Gue merasa gak berguna. Gue ingin melindungi dia, gue ingin dia bahagia, tapi gue gak tau apa apa tentang dia." ungkapnya kesal.
"Gimana kalau kita tanya cewek gue."
"Gue yakin Mentari gak tahu apa apa, bro. Kalau dia tahu sesuatu tentang Aya sama Doni, gak mungkin dia membiarkan Doni mengantar Aya pulang."
"Benar juga sih."
Elang ikut bingung sampai menggaruk bagian belakang kepalanya yang bahkan tidak gatal sama sekali.
"Saran gue sih, kalau lu benar benar serius sama Cahaya, lu harus melakukan penyelidikan latar belakang aja bro."
"Harus gue lakuin itu sama Cahaya? Gimana kalau ketahuan dan dia malah makin benci sama gue..."
"Ya jangan sampai ketahuan."
"Gak. Gue gak akan membohongi dia. Gue akan menunggu sampai dia mau cerita."
"Ya terserah lu dah. Mana baiknya aja. Gue cuma bisa dukung lu. Apapun keputusan lu, gue dipihak lu, bro." menepuk pundak Kai.
Sejak pertemuan dengan Doni di mall tadi sore, Aya hanya diam saja. Dia duduk di kursi meja jahitnya dengan tatapan dan pikiran yang kosong.
Dia bahkan belum berganti pakaian, belum mandi dan belum makan sejak siang tadi. Sekarang bahkan sudah hampir jam sembilan malam dan dia masih seperti tadi.
Tidak ada air mata, tidak ada kutukan, teriakan atau makian sama sekali. Bahkan hp nya sudah mendapat belasan kali panggilan dari Kai dan dia tetap tidak bergeming.
Namun, pada akhirnya lambat laun pikirannya mulai memutar kembali kejadian dimasa lalu. Kejadian yang membuatnya begitu ketakutan saat melihat Doni.
Doni itu abang tirinya yang melihat saat papanya melecehkan Aya dan memukuli Aya karena Aya menolak untuk dilecehkan. Doni yang saat itu sedang dalam masa masa dimana dia begitu mudah terbawa suasana pun memilih ikut bergabung dengan papanya.
Papa dan anak itu menyiksa Aya. Mereka seperti binatang buas yang kelaparan. Dan apa yang mereka lakukan itu tidak hanya sekali tapi berulang kali sampai Warti menyaksikan sendiri perbuatan suami dan anak tirinya itu pada Cahaya.
Namun, Warti malah membutakan matanya dan menulikan telinganya. Dia malah meminta sejumlah uang dari suaminya itu sebagai uang tutup mulut. Lalu, setelah perbuatan suaminya diketahui tetangga, Warti pun kabur sendirian dan meninggalkan Cahaya begitu saja.
Sungguh kejadian itu membuat Cahaya ingin bunuh diri. Tapi, bayangan dan ingatan tentang impian kakaknya, membuatnya memilih bertahan.
Kejadian itu terekam jelas dalam ingatan Cahaya dan menjadi luka yang sangat dalam dan bahkan mungkin tidak akan bisa disembuhkan.
"Akhrrrggg..." Teriaknya tertahan setelah mengingat kembali luka itu.
Dadanya terasa sangat sakit. Napasnya bahkan sesak, namun air mata tidak lagi tumpah dari pelupuk matanya.
"Ayah... Kak...!" Serunya terbata karena napasnya semakin sesak.
Matanya menatap sebilah silet tidak jauh dari jangkauannya. Tangannya bergerak meraih silet itu. Dia ingin mengakhiri semuanya saat ini juga.
Tok, tok!
"Cahaya!"
"Ay, buka pintunya..."
"Aya!"
"Cahaya..."
Kai menggedor pintu rumah Cahaya dan memanggilnya berkali kali. Dia baru saja tiba setelah pulang dari apartemen Elang. Kekhawatirannya karena Aya tidak menjawab panggilannya membuatnya datang.
"Ay, buka pintunya atau aku dobrak!" teriaknya dengan terus mengetuk.
Cahaya yang tadinya hampir mengiris pergelangan tangannya dengan silet pun tertahan. Dia menoleh ke arah pintu saat mendengar suara Kai memanggilnya.
"Haruskah aku percaya padanya kali ini?!"
"Bagaimana kalau pada akhirnya dia membuangku."
Air matanya akhirnya menetes. Aya membiarkan air mata itu menetes semakin deras, karena dengan begitu napasnya perlahan terasa lapang.
"Tuhan. Apakah kali ini aku harus mempercayai seseorang sekali lagi? Lalu bagaimana kalau ternyata dia sama saja seperti bajingan yang dulu..."
Aya ragu untuk menerima Kai, karena takut kejadian dulu terulang lagi.
Lalu perlahan suara gedoran itu menghilang. Aya juga tidak mendengar suara Kai berteriak memanggil namanya lagi.
"Aku akan menyusul kak Cinta dan Ayah sekarang juga." Aya kembali mengambil silet untuk melanjutkan aksinya.
Kai sendiri rupanya meminta kunci cadangan pada madam Yuni. Begitu mendapatkannya dia langsung membuka pintu itu dan mendapati Cahaya yang duduk dilantai memegang silet ditangannya.
"Aya!" Teriak Kai, berlari mengejar Cahaya.
Dia menghentikan Aya dengan merebut silet dari tangan Aya. Tanpa Kai sadari mata silet yang tajam itu mengiris telapak tangannya.
"Jangan lakukan hal bodoh ini Cahaya!" teriaknya marah.
"Apa kamu sebenci itu padaku sampai kamu ingin mengakhiri hidupmu?!"
"Baiklah. Aku tidak akan mengganggu kamu lagi. Aku akan pergi dari kehidupanmu. Tapi aku mohon jangan lakukan hal ini, Cahaya?!" Teriak Kai mengungkapkan rasa kesalnya karena merasa apapun yang dia lakukan tidak bisa membuat Cahaya menerima kehadirannya.
Air mata Kai tumpah, napasnya tidak teratur karena menahan segala gejolak perasaan dan emosi dalam dirinya.
Dan saat itu lah, kedua tangan Aya terangkat, menyentuh pipi Kai, menghapus air mata itu dengan lembut.
"Kenapa mas Kai menangis?"
Pertanyaan itu membuat Kai tidak bisa berkata kata lagi. Ditariknya tubuh itu masuk dalam pelukannya.
"Ay, jangan lakukan hal seperti ini." ucap Kai terisak. Dia masih menangis bahkan semakin keras, air matanya sampai membasahi pundak Cahaya.
Cahaya ikut menangis saat melihat tangan Kai berdarah karena silet yang tajam itu.
"Tangan mas Kai berdarah."
Aya khawatir dan mencoba menghentikan darah yang terus keluar dari telapak tangan Kai.
"Aku janji tidak akan melakukan apapun. Berhentilah menangis, tangan mas Kai berdarah." ucap Aya terbata bata.
Kai baru menyadari itu, tapi dia tidak peduli dan kembali memeluk pujaan hatinya itu seakan takut kehilangan.
Semangat kakak Author, ditunggu kelanjutannya 💪
Author berhasil membuatku menangis 👍
Semangat kakak Author 💪