Benarkah mereka saling tergila-tergila satu sama lain?
Safira Halim, gadis kaya raya yang selalu mendambakan kehidupan orang biasa. Ia sangat menggilai kekasihnya- Gavin. Pujaan hati semua orang. Dan ia selalu percaya pria itu juga sama sepertinya.
...
Cerita ini murni imajinasiku aja. Kalau ada kesamaan nama, tempat, atau cerita, aku minta maaf. Kalau isinya sangat tidak masuk akal, harap maklum. Nikmati aja ya temen-temen
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dochi_19, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah Maura
"Ra, kamu masih bekerja di tempat Nak Gavin?" Sore itu Ibunya bertanya ketika Maura sedang melipat pakaian di ruang tengah.
"Iya, bu. Tadinya Maura mau berhenti tapi mereka terus memaksa." Maura merujuk pada Reza, Aditya, dan Gavin.
"Sebenarnya gaji kamu besar dan terus terang saja itu membantu hutang kita, tapi Ibu khawatir dengan keselamatan kamu. Apalagi setelah kejadian Mila yang tiba-tiba kecelakaan."
Maura tersenyum, berusaha menenangkan perasaan Ibunya. "Ibu tenang saja, Maura akan mengusahakan agar hutang kita cepat lunas dan menjauh dari keluarga yang mencelakai kita."
"Maafkan Ibu, ya, kamu harus bekerja keras di dua tempat sekaligus. Andai penghasilan Ibu juga bisa sebesar kamu."
Maura segera mengusap pundak Ibunya, dirinya bersandar di sana. "Ibu gak salah, Ayah juga gak salah. Kita ini hanya sedang diuji, Bu. Kita harus kuat, aku yakin kehidupan kita akan lebih baik setelah ini berlalu."
"Kamu anak yang baik sejak kecil. Terima kasih sudah berjuang untuk keluarga kita. Ibu do'akan kamu mendapatkan jodoh yang bisa menolong kamu." Ibunya mengusap-usap tangan Maura penuh sayang. Maura menjawab, "makasih, Bu."
"Ya, dan jodohnya kak Maura itu kak Gavin." Tiba-tiba saja Mila datang dari arah dapur.
Maura melepaskan rangkulannya. Ibunya lantas menimpali. "Hush, kalau bicara itu dijaga. Mana mungkin Nak Gavin mau sama kakakmu?"
"Memangnya kakak kenapa? Dia baik, cantik, kurang apalagi coba?"
"Bukan diri kakakmu yang salah, tapi keluarga kita. Mana mau dia bersama dengan orang miskin seperti kita."
Mila tersenyum. "Bu, tidak ada yang tidak mungkin. Menurutku kak Gavin bukan orang yang memandang harta, buktinya dia datang ke rumah sakit waktu aku kecelakaan." Mila kemudian menatap sang kakak. "Kak Gavin selama ini selalu baik 'kan sama kakak? Dia selalu perhatian 'kan sama kakak?"
"I-iya, tapi—"
"Tuh 'kan, apalagi namanya kalau bukan suka? Aku yakin, sebenarnya kak Gavin menaruh rasa sama kak Maura, dia pasti bingung gimana cara ngomongnya."
Ibunya hanya tertawa kecil menanggapi celotehan Mila. "Kamu itu menghayal terlalu tinggi."
Mila cemberut. "Kenapa Ibu gak percaya sama aku?"
"Kalau memang perkataan kamu itu benar, kenapa sampai sekarang Maura belum berpacaran?"
"Ya, mungkin kakaknya yang terus menghindar. Harusnya kakak juga kasih kode dan melakukan pendekatan."
Maura menggeleng. "Mila, aku gak bisa ngelakuin itu."
"Tuh, kakak gak mau usaha makanya lama jadian. Pokoknya aku bakal dukung kakak sama kak Gavin, biar keluarga kita terbebas secepatnya."
Maura menipiskan bibirnya. Mila terus saja berceloteh pada Ibunya. Adiknya itu terlihat bahagia sejak bertemu Gavin, seolah mendapatkan pencerahan di jalan yang gelap dan buntu. Tidak mungkin ia merusak harapan itu dengan mengatakan kalau Gavin sudah bertunangan. Mila pasti akan sama patah harapan seperti dirinya. Sedangkan ia masih harus berjuang agar keluarga tidak kehilangan harapan. Apapun harus ia lakukan kali ini.
.
.
Safira termenung di sofa kamarnya, memandangi malam yang sebenarnya tidak ia pedulikan. Pikirannya mengulang pada hari pertunangan, saat Raisa membawa Maura. Sejak kapan mereka saling kenal? Padahal Safira sudah merasa menang. Ia mendapatkan Gavin dan keluarga Halim tidak ada yang tahu tentang permasalahan hubungannya, tapi rupanya ia salah besar. Raisa mengetahuinya, apakah keluarga yang lain pun tahu? Apa yang harus ia lakukan sekarang? Apa Ayahnya sudah tahu kalau Raisa mengancamnya? Ya, kedatangan Maura ke pesta jelas merupakan ancaman dari Raisa untuknya.
"Safira!" Safira tersentak merasakan guncangan di bahunya. Ia menoleh dan mendapati Gavin di sana.
"Kamu baik-baik saja?" Gavin menelisiknya.
"Ya." Safira berdiri lantas menerjang Gavin dalam pelukan. Sudah berapa lama ia menunggu Gavin yang berada di ruangan Ayahnya?
"Kamu pasti lagi mikirin sesuatu, mau cerita?" Gavin mengusap punggung Safira.
"Aku penasaran dengan rencana kak Raisa. Apa dia dan Maura sedang merencanakan sesuatu?"
"Kalau Raisa aku gak tahu, tapi kalau Maura tidak mungkin. Dia tidak punya kuasa untuk itu, sayang. Yang ada dia hanya dimanfaatkan untuk menggertak kamu."
Seperti biasa Gavin selalu membela Maura, membuat Safira makin resah. "Tapi anehnya kak Raisa akan pergi Oxford besok. Kalau dia punya rencana untukku, kenapa dia pergi?"
Gavin melepaskan Safira lantas menarik dagunya agar mata mereka saling bertatapan. "Berhenti berpikiran buruk, sekarang kita sudah bertunangan. Kamu hanya perlu duduk manis dan bahagia."
Safira tersenyum. "Apa kamu juga bahagia?"
"Tentu saja." Gavin mengecup bibir Safira sekilas.
"Malam ini tidur di sini 'kan?"
Gavin mengusap dagunya, memasang wajah seolah memikirkan sesuatu. "Hmm, nginep gak, ya?"
Safira tertawa. "Apa aku harus menawarkan sesuatu supaya Tuan satu ini mau menginap?"
"Kira-kira apa yang akan ditawarkan Nona ini?"
"Hmm, nasi goreng? Aku belajar beberapa kali sama bi Surti."
Gavin tersenyum lebar. "Kita coba dulu nasi gorengnya, kalau enak berarti bi Surti hebat banget bisa ngajarin kamu."
Safira pun tertawa. "Malah bi Surti yang disebut hebat."
...
"Kenapa belum tidur juga, hm?" Gavin mengusap rambut Safira dengan lembut. Mereka berbaring bersama di kasur.
Safira mendongak. "Biar kamu makin lama di sini."
"Nanti juga ada waktunya, sayang."
Safira membenamkan wajahnya dalam pelukan Gavin. Membiarkan alam bawah sadar merenggut kesadarannya.
.
.
Gavin sedang menunggu mobilnya di lobby hotel Winter, setelah makan malam bersama Papanya dan Ayah Safira. Sebenarnya ia sangat lelah, pikirannya yang paling parah. Karna kegiatannya selama seminggu ini penuh dengan pertemuan dalih kepentingan perusahaan.
"Ini! Aku sudah bayar untuk bulan ini. Lain kali kalian gak usah datang ke tempat kerjaku." Suara seorang perempuan terdengar tidak jauh dari tempatnya berdiri sekarang.
"Apaan ini? Masih kurang!" Suara nyaring seorang pria terdengar setelahnya.
Gavin mendekati mereka begitu tahu siapa orang yang terlibat keributan itu. "Ada apa ini?"
Seorang pria sangar tersenyum lebar melihat Gavin. "Nah, ini dia sarang duitnya. Mana duit lo yang dollar itu? Bantu cewek lo ini bayar hutangnya."
"Tadi saya lihat dia sudah kasih kamu uang."
"Mana cukup, goblok. Hutang dia itu gede, uang yang dia kasih cuma bayar bunga doang." Tiga pria sangar itu berhati-hati karna security yang terus memperhatikan mereka tidak jauh dari sana.
Gavin mengeluarkan dompetnya tapi ditahan oleh Maura. "Jangan! Aku gak mau berhutang lebih dari ini."
"Halah! Kebiasaan banget lo gak mau terima bantuan. Sini cepetan mana duitnya!" Pria itu mendesak Gavin, merampas dompetnya dan mengeluarkan semua isinya. "Bulan depan gue datang lagi. Awas lo!" Pria itu pun pergi.
Maura langsung menangis di tempatnya. Gavin pun bingung. "Kenapa kamu nangis? Apa mereka melukai kamu?"
Maura menggeleng. "Aku nangis karna malu sama kamu. Sudah banyak yang kamu lakukan untuk aku."
Mobil Gavin sudah ada, lantas ia mengajak Maura berbicara di mobil. Setelahnya mobil pun melaju meninggalkan hotel itu.
"Maura, aku menolong kamu atas dasar keinginanku sendiri."
Maura berhenti menangis. "Maaf, kita bertemu dalam situasi seperti itu lagi."
"Kamu gak salah. Mungkin memang aku orang yang ditakdirkan untuk menolong kamu."
"Jangan mengatakan hal yang bisa membuat orang salah paham."
Gavin tergagap, ia lupa. "M-maaf aku—"
Maura menggeleng. "Gak usah minta maaf. Aku ngerti kamu memang orang yang baik."
"Apa jadi orang baik itu buruk?"
"Tidak." Maura menjawab cepat.
"Tapi kamu terlihat murung karna aku orang yang baik."
Maura menghela napas. "Jadi orang baik itu kadang bagus, kadang juga tidak."
"Benarkah?"
"Ya, bagusnya karna orang sepertiku bisa tertolong. Buruknya, kamu bisa dimanfaatkan orang lain. Seperti oleh Safira."
"Maura kamu salah paham. Safira—"
"Ya, tidak usah menjelaskan. Aku tahu."
Gavin tiba-tiba teringat sesuatu. "Maura, apa kamu akrab dengan Raisa?"
"Oh, perempuan dari keluarga Halim itu?" Maura kembali melanjutkan. "Kami kebetulan bertemu dan dia menawariku datang ke pesta kamu. Kesempatan itu jangan dilewatkan 'kan? Apalagi aku tidak punya undangan."
Gavin merasa malu. "Maaf aku tidak memberi undangan."
"Aku tahu Gavin. Tunangan kamu itu posesif."
"Kamu yakin hubungan kalian hanya itu?"
"Tentu saja. Kebetulan itu seperti kita yang bertemu hari ini. Apa kamu mengharapkan hal lain?"
Gavin percaya pada Maura jadi ia tidak mengatakan apapun lagi.
"Aku gak tahu gimana cara balas budi sama kamu, Gavin."
"Aku gak minta balasan dari kamu."
"Mungkin hanya tubuhku yang bisa diberikan." Maura menatap ke arah Gavin.
Gavin melirik Maura dengan senyuman. "Kamu yakin mau menyerahkan tubuh kamu itu?"
.
.
TBC