NovelToon NovelToon
Kemarau Menggigil

Kemarau Menggigil

Status: tamat
Genre:Tamat / Cintapertama / Berbaikan / Mengubah Takdir / Bullying dan Balas Dendam / Slice of Life
Popularitas:15.8k
Nilai: 5
Nama Author: Chira Amaive

Ayah, aku butuh selimut untuk tubuhku yang penuh keringat. Kipas angin tua milik bunda hanya mengirimkan flu rindu. Sebab sisa kehangatan karena pelukan raga gemuknya masih terasa. Tak termakan waktu. Aku tak menyalahkan siapa pun. Termasuk kau yang tidak dapat menampakkan secuil kasih sayang untukku. Setidaknya, aku hanya ingin melepuhkan rasa sakit. Di bawah terik. Menjelma gurun tanpa rintik gerimis.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chira Amaive, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 30

Risauku berpacu pada bayang hari esok. Akankah lebih buruk lagi?

...****************...

"Gimana, sudah puas dengan jalan-jalan hari ini?" tanya Rasen. Kami duduk di bebatuan pinggir jalan kecil yang tidak banyak dilalui kendaraan. Sembari menatap langit sore yang jingga.

Lagi dan lagi. Lelaki ini mengobati luka hatiku. Setelah aku berhasil merusak barang pemberiannya. Kini aku sangat menyesal. Sifatku yang tidak sabaran serta pemarah ini benar-benar merugikan. Tapi, aku memang sangat hancur beberapa waktu belakangan ini.

"Belum." Aku menjawab.

"Bagaimana jika ayahmu mencarimu?" tanya Rasen.

"Aku tidak peduli. Dia tidak menyayangiku. Aku juga tidak menyayanginya," jawabku.

Rasen terdiam sejenak. Aku menunduk. Menahan ekspresiku yang begitu bahagia lagi. Aku takut. Takut tentang bagaimana suatu saat nanti. Di mana aku tumbuh dewasa. Juga pada hari di mana semua bisa berubah. Akankah Rasen juga? Atau ayah akan berubah menyayangiku suatu saat nanti. Di mana pasrahku memuncak dan sikapku lebih lembut. Inikah risau hari ini? Terhadap bayang esok hari yang terbayang menjadi buruk? Aku lelah menanggung cemas. Di bawah langit yang sama. Sama-sama menorehkan pedih dengan cara berbeda-beda. Bermacam-macam orang dikirimkan semesta untuk menyakitiku.

Aku meraih telapak tangan Rasen. Hangat. Seperti danau ketenangan. Di atas perahu malam hari. Di bawah rembulan purnama raksasa.

"Maaf, kamu sampai melukai diri sendiri. Maaf karena tidak pernah menghubungimu. Dain, bisakah kamu memaafkanku kali ini?" Rasen bertanya sembari menggenggam erat tanganku.

Wajah putihnya memantulkan jingga dari mentari sore. Tatapannya teduh. Seperti berada di bawah pohon rindang. Yang di sana buah-buahan ranum. Melepas dahaga tanpa setetes air.

"Selama liburan, aku selalu ke sawah dan bermain bersama Aezar. Kami sering mencari keong dan memasaknya di sana. Lalu memakannya bersama keluarganya beserta ayahku. Aku tidak tahan dengan rindu. Juga rasa sepi yang disebabkannya. Aezar telah menepis rasa sepi itu selama liburan kemarin. Apakah artinya aku bahagia bersamanya?" uraiku menceritakan alasanku yang tempo hari terlihat pulang bersama Aezar.

Rasen tersenyum kecut. Seperti terpaksa dengan senyuman itu.

"Ternyata, aku tidak sedewasa itu, Dain. Kamu tidak tahan dengan rindu. Aku pun tidak tahan dengan cemburu. Aku memilih untuk tidak mengejarmu karena tidak sanggup melihat lelaki lain duduk bersebelahan denganmu di dalam angkot itu. Ternyata, kamu meragukan perasaanmu sendiri terhadapku. Di saat aku benar-benar ingin terus bersamamu. Dain, apakah bersama kak Aezar itu menyenangkan?" Rasen berbalik melemparkan pertanyaan kepadaku.

"Kalimatmu seperti menyalahkanku. Padahal, aku juga sangat tersakiti selama belasan hari ini. Lalu kamu menjauh tanpa alasan. Lantas muncul dan menembak posisiku menjadi seseorang yang bersalah juga. Ah, kukira kamu akan mengerti sepenuhnya dengan perasaanku. Mood-ku rusak lagi karenamu!" tegasku terhadap Rasen.

Kemudian melepas paksa genggaman tangan Rasen dan hendak beranjak dari bebatuan itu. Langit semakin jingga. Kawanan burung camar elok menari di langit.

"Mau ke mana? Kamu mau memperbaiki mood yang rusak itu ke Aezar?" tanya Rasen tegas tanpa berdiri menyusulku.

Aku mengepalkan tangan. Geram sekali dengan Rasen. Kenapa dia malah melawan sekarang? Kenapa dia tidak sesabar biasanya? Mengapa ia justru menuntut, menambah rasa jengkel pada relungku.

"Kamu bahkan nggak pernah tahu apa yang selama ini aku hadapi!" tegasku.

"Aku tidak memaksa apa pun. Aku hanya ingin tahu, adakah perasaan terselubung kepada Aezar itu atau tidak. Hanya itu, Dain!" Kini Rasen berdiri. Namun tanpa melangkah.

Satu-dua motor tua melintas pada jalanan kecil yang berdebu ini. Membuatnya berterbangan menghasilkan buram pada arah Rasen yang berjarak sekitar sepuluh meter dariku.

Rasanya hatiku membawa sekali. Baru saja aku merasakan kehangatan pada gigil jiwaku.

Bukannya menjawab, aku malah berlari dan beberapa kali menengok belakang. Lelaki itu tidak mengejar. Kenapa? Kenapa dia tidak mengejarku? Kenapa dia tidak memarahiku saat bersama dengan Aezar?

Begitu rasa Rasen sudah terlihat jauh, barulah aku berhenti. Pandangannya mengarah padaku. Ia tetap di dekat bebatuan itu.

"JIKA BERSAMA AEZAR SAJA CUKUP, MAKA AKU TIDAK AKAN SAMPAI MELUKAI TANGANKU SENDIRI! CAMKAN ITU COWOK SIALAN!" ungkapku berteriak dan kemudian lanjut berlari tanpa peduli dengan reaksi Rasen.

...****************...

Entah mengapa, setelah beberapa malam terakhir selalu hujan. Kali ini hujan tak turun lagi untuk malam ini. Seperti hendak mendukung kunjunganku menuju tempat yang entah kapan terakhir kali aku kunjungi. Mungkin, sekitar lima tahun yang lalu. Sebab, aku tidak ingin menjumpai sesuatu yang menyebabkan pedih mendalam. Apalagi terhadap seseorang yang tidak akan pernah aku temui lagi.

Purnama menerangi. Juga ponsel Rasen yang sejak tadi setia melibatkan silau. Ia mengejar setelah aku menjawab pertanyaannya terkait Aezar. Tempat kami duduk tadi sore. Di bebatuan tepi jalanan cadas. Tak jauh dari sana, terdapat pemakaman umum. Di mana rumah ibu berada.

"Aku tidak suka pergi ke tempat yang mengandung banyak kenangan dan tidak dapat diulangi lagi. Lebih baik aku membuang semua kenangan itu." Aku berkata setelah beberapa menit senyap sembari memandang baru nisan.

"Lalu, kenapa sekarang kamu tiba-tiba mau ke sini?" tanya Rasen.

"Rambut ibu kemerahan, bergelombang, tebal, panjang dan terlihat indah saat angin membuatnya menari-nari. Aku ingin melihat ibu. Aku ingin melihat hantunya. Mungkin dengan datang ke sini malam hari, ia akan muncul. Rasen, aku sudah lupa bagaimana suara ibu. Sebab sudah sejak lama aku tidak mengunjungi rumahnya."

Rasen tersenyum. Dua remaja yang nekat mengunjungi pemakaman di malam hari. Awalnya, aku hendak pergi sendiri. Namun Rasen tentu tidak akan mengizinkan.

"Aku tidak mirip ibu. Tidak fisik, juga watak. Kami sangat berbeda. Oleh karenanya, aku tidak bisa melihat sosok ibu dalam diriku. Aku tidak bisa melihat sosok ibu ketika aku bercermin. Jadi, bagaimana jika aku melihat sosok ibu dalam wujud yang lain? Hantu misalnya. Rasen, apakah hantu itu ada? Tapi, ayah bilang orang yang sudah meninggal itu arwahnya ke langit. Jadi, bagaimana dengan hantu yang gentayangan? Apakah itu hantu yang bukan berasal dari arwah orang meninggal. Apakah jika ada sosok yang muncul dan mirip ibu artinya itu bukanlah ibu? Melainkan sosok peniru saja. Rasen, artinya aku tidak akan melihat ibu lagi."

Rasen masih terdiam. Terpaku mendengarkanku menoreh perih. Di antara bebatuan nisan yang banyak sekali. Mungkin para hantu sedang menonton kami. Entah bagaimana, aku sama sekali tidak takut. Mungkin karena ada Rasen di sampingku.

"Rasen, kenapa ibu pergi jika ayah tidak bisa memberikan apa pun untukku? Terakhir, ia memaksaku memakan telur satu kali masuk tanpa kukunyah dengan benar. Mulutku sakit, tapi hatiku lebih sakit. Dia bahkan seringkali mengatakan bahwa ia tidak menyayangiku. Itu sebabnya aku sangat bahagia bersamamu. Sangat takut kehilanganmu. Sebab kamu satu-satunya yang bilang sayang sama aku. Walaupun ayah selalu bilang bahwa aku tidak layak mendapatkan kasih sayang siapa pun."

Suara jangkrik terdengar nyaring. Menemani sendu. Aku sampai menangis sesegukan. Rasen membiarkanku seperti itu. Sial, ini begitu menyakitkan.

"Jika bukan arwah ibu, maka aku ingin melihat hantu yang memang penghuni sini. Lantas aku akan menanyakan kepada mereka, bagaimana kabar ibu di atas sana."

1
Selfi Azna
pada kemana yang lain
Selfi Azna
MasyaAllah
_capt.sonyn°°
kak ini beneran tamat ??? lanjut dong kakkkk novelnya bagus bangetttttt
Selfi Azna
mungkin bapaknya cerai sama ibunya,, truss jd pelampiasan
Chira Amaive: Bukan cerai, tp meninggal ibunya 😭
total 1 replies
melting_harmony
Luar biasa
Zackee syah
bagus banget kak novel nyaaa...
Chira Amaive: Thank youuuu
total 1 replies
Zackee syah
lanjut kak
🎀𝓘𝓬𝓱𝓲𝓷𝓸𝓼𝓮🎀
barter, aku like punya kamu, kamu like punya aku
Chira Amaive: okeyyyyy
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!