Banyak faktor yang membuat pasangan mencari kesenangan dengan mendua. Malini Lestari, wanita itu menjadi korban yang diduakan. Karena perselingkuhan itu, kepercayaan yang selama ini ditanamkan untuk sang suami, Hudda Prasetya, pudar seketika, meskipun sebelumnya tahu suaminya itu memiliki sifat yang baik, bertanggung jawab, dan menjadi satu-satunya pria yang paling diagungkan kesetiaannya.
Bukan karena cinta, Hudda berselingkuh karena terikat oleh sebuah insiden kecelakaan beberapa bulan lalu yang membuatnya terjalin hubungan bersama Yuna, sang istri temannya karena terpaksa. Interaksi itu membuatnya ingin coba-coba menjalin hubungan.
Bagaimana Malini menyikapi masalah perselingkuhan mereka?
***
Baca juga novel kedua saya yang berjudul Noda Dibalik Rupa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Windersone, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pembicaraan Di Toilet
🌿🌿🌿
Suara musik santai terdengar di lobi kantor yang luas yang sudah disulap menjadi ruangan pesta. Setelah pekerjaan selesai siang tadi, para karyawan membantu pihak dekorasi untuk menyelesaikan penataan ruangan di ruangan berukuran luas itu. Terdapat banyak makanan dan minuman yang di ada di atas meja di sudut ruangan ruangan dengan beberapa tataan bangku dan meja seperti kembangan bunga teratai di beberapa titik untuk diduduki para tamu.
Salah satu dari mereka yang ada di sana terdapat Malini. Wanita dalam balutan gaun panjang warna biru dengan rambut bergelombang yang digerai itu berdiri di samping meja kue-kue, sedang menikmatinya bersama Anisa.
"Sejauh yang aku lihat, Ibuk orang pertama yang cantik di pesta ini. Buk Yuna tidak akan bisa menandingi Ibuk," puji Anisa.
"Jangan berlebihan. Semua wanita itu cantik, kamu juga. Kamu tahu, aku bukan orang yang menilai seseorang itu cantik dari penampilan ataupun paras mereka, tapi sikap mereka," jelas Manili dan sejenak diam. "Oh iya, kamu melihat belut sawah itu? Aku tidak melihatnya dari tadi," lanjut Malini dengan bertanya sambil melayangkan mata ke beberapa sudut ruangan.
"Tidak. Pak Hudda mana? Aku juga tidak melihatnya sejak tadi. Jangan-jangan mereka ...." Anisa menggantungkan perkataannya.
"Biarkan saja. Kalau begitu, kamu lanjut saja. Aku ingin ke toilet dulu," kata Malini dan berjalan menuju toilet yang ada di belakang dengan perasaan yang terusik oleh asumsi Anisa.
Setelah sampai di toilet, ia melihat Yuna berdiri di depan cermin, sedang memoles bibir menggunakan lipstik merah. Malini memperhatikan Yuna yang memakai gaun merah maron dengan rambut disanggul rapi. Bibir Malini tersenyum kecil dengan salah satu sudut bibir naik sadar akan penampilan itu dipersembahkan untuk suaminya.
"Mas Hudda pasti akan kagum dan tidak bisa berpaling dariku," kata Yuna dengan perasaan senang dan belum sadar dengan wujud Malini yang berdiri di sampingnya, di pintu toilet.
Malini sengaja berdehem untuk menghancurkan suasana hati bahagia Yuna. Wanita itu sontak kaget dan langsung menoleh ke samping dengan senyuman perlahan memudar. Malini berjalan masuk dengan langkah pelan sampai akhirnya berdiri di hadapan Yuna yang berpura-pura baik dengan menunjukkan senyuman ringan dan sambutan baik dalam ketenangan.
"Buk," sapa Yuna.
"Cantik. Sayang sekali, murah. Kalau kamu ingin dipandang baik oleh seorang pria, buang kebiasaanmu itu. Oh iya, katanya kamu hamil tiga bulan." Malini mengelus lembut perut Yuna dengan mata tertuju ke perut itu. "Benarkah?" tanya Malini sambil mengangkat wajah dan menatap Yuna dengan sorot mata tajam dan lanjut tersenyum miris.
"Iya. Ini anakku bersama Mas Hudda. Tenang saja, kehadirannya tidak akan mengganggu hubungan kalian. Buk, saya tidak masalah menjadi yang kedua. Saya hanya berharap kita bisa berinteraksi dengan baik," kata Yuna, berbicara dengan santai. "Setelah itu, aku akan menyingkirkanmu dan tinggal aku yang ada dalam hidup Mas Yuda," kata Yuna, lanjut berbicara dalam hati.
"Jangan menjual nama suamiku untuk anakmu. Kasihan anak ini tidak tahu identitas ayahnya. Hadi dan nenekmu akan sedih kalau tahu kamu begini."
Malini merespon perkataan Yuna dengan tingkah santai yang sama. Padahal, di kegeraman menggebu-gebu di lubuk hati paling dalam dan rasanya gangan ingin mencakar wajah wanita yang berdiri di depannya itu.
Sejenak Yuna tertegun dengan perasaan kaget yang disembunyikan. Seorang Malini yang selama ini dikira polos malah mengetahui beberapa bagian hidupnya.
"Saranku, sebelum kamu mempermalukan diri sendiri, lebih baik mundur. Mas Hudda bersamamu hanya karena melepaskan rasa bosan sesaat, ibarat warung yang dijadikan tempat berteduh saat hujan. Pada akhirnya, dia akan kembali ke rumah setelah hujan itu tidak ada," kata Malini, berbicara empat mata.
Yuna hanya diam dan masih memasang raut wajah santai seolah tidak tersakiti mendengar perkataan Malini. Namun, padanya kenyataan, tangannya menggenggam erat lipstik di samping tubuh sisi kanan sampai patah karena menahan emosional yang akan tumpah mendengar semua yang didengarnya.
Malini pergi setelah menyalurkan emosi dengan kata-kata kepada wanita itu, tidak hanya dengan menangis saja.
Kepergiannya meninggalkan kerusuhan di toilet, Yuna menendang tong sampah di sudut ruangan itu dan melemparkan lipstik yang sudah patah itu ke lantai. Emosinya tidak bisa tertahankan lagi.
Dua orang wanita yang merupakan tamu undangan di pesta itu memasuki toilet. Ekspresi mereka yang semula biasa saja, berubah menjadi bingung melihat kondisi lantai yabg beserakan dengan tisu. Mereka juga memperhatikan Yuna yang berdiri dalam kegeraman dengan posisi membelakangi keberadaan mereka.
"Kenapa, Mbak?" tanya salah satu dari mereka.
Raut wajah marah yang terpasang perlahan memudar dan ia membalikan tubuh sambil tersenyum.
"Tikus, Mbak. Ya ampun, bikin kaget saja. Hati-hati, tikus di sini besar-besar," kata Yuna, berbohong.
Yuna mengambil tas di samping wastafel dan berjalan keluar dari tempat itu.
"Perusahaan sebesar dan sebersih ini emang ada tikusnya?" Wanita itu bertanya kepada temannya.
"Entahlah," balas tamannya itu.
Berlanjut, masing-masing mereka memasuki salah satu dari keempat bilik yang ada di ruangan itu.
***
Malini berjalan menuju ruangan Hudda. Tangan dan kakinya ragu lanjut beraksi untuk membuka pintu dan memasuki ruangan itu. Namun, keraguannya berakhir dan mengambil tindakan untuk tetap masuk dengan ekspresi dingin yang ditunjukkan. Setelah masuk, ia melihat Hudda sibuk merapikan dasi. Pria itu kesulitan memakinya agar tampak rapi. Selama ini Malini lah yang selalu ahli menyimpul dasinya dengan rapi.
"Sayang," sapa Hudda dan berhenti memainkan tangan menyimpul dasi.
"Tamu undangan sudah banyak berdatangan. Segera ke bawah, jangan buat orang-orang menunggu," kata Malini dan memutar badan, berniat keluar dari ruangan itu.
Namun, Hudda berseru menghentikannya. Pria itu meminta untuk memasangkan dasi yang sejak tadi menarik rasa kesal karena tidak nyaman melihat kusutnya simpulan dasi yang dibuatnya sendiri. Malini kembali memutar badan menghadap ke arahnya dan berjalan mendekat dengan Hudda memperhatikan penampilannya.
Malini tidak banyak bicara, ia memasangkan dasi itu dalam bisunya bibir dan hanya menunjukkan ekspresi dingin. Ketika tangannya bermain menyimpul dasi itu, mata Hudda tidak henti menatap wajahnya dan menjalar hingga tubuhnya yang terpasang gaun biru hadiah darinya tadi siang.
"Lain kali belajar untuk melakukannya. Jika aku tidak ada, kamu akan kesulitan," kata Malini dan melanjutkan perjalanan meninggalkan tempat itu.
Suasana hati tenang yang tercipta seketika hancur. Hudda mengambil ponsel di atas meja dan bergegas keluar mengikuti kepergian sang istri.
"Tunggu!" Hudda ingin mereka berjalan berdampingan bersama sebagai pasangan di hadapan semua orang.
Malini tetap berjalan sampai akhirnya berada di depan lift. Setelah pintu lift terbuka, seorang Yuna berdiri di dalam lift itu dengan tangan kanan memegang dompet gaya. Yuna tersenyum kepadanya dan Hudda, wanita itu masih bersikap seolah semuanya baik-baik saja.
Yuna keluar dari lift dan berdiri di hadapan mereka. Hudda sudah berdiri di samping Malini saat wanita itu mendekati istrinya.
"Mas, kita ke bawah. Semua orang sudah menunggu. Pak Damar juga mencari mu sejak tadi," kata Yuna, berbicara lembut.
"Iya. Ayo," ajak Hudda kepada Malini sambil menggandeng tangan istrinya itu masuk ke dalam lift.
Sikap Hudda membuat Yuna kesal. Ia memilih diam dan tidak satu lift dengan mereka saat melihat kedekatan mereka. Malini tersenyum dengan salah satu sudut bibir naik ke atas, ia sengaja menarik kekesalan Yuna.
"Kamu pikir aku wanita lemah? Aku tidak akan mundur dan aku tidak akan maju untuk saat ini. Kita lihat bagaimana kalian juga tersakiti," kata Malini dalam hati dengan mata sesekali melirik Hudda yang tersenyum padanya dengan tatapan dingin yang masih diumbar olehnya.