Nadira Ghautiah hanyalah seorang gadis berhijab yang kesehariannya bekerja sebagai akuntan. Ia tak menyangka hidupnya akan berubah 180 derajat saat bertemu seorang pria yang dikejar-kejar pembunuh.
Situasi itu membawanya pada posisi rumit nan mencekam. Kejadian demi kejadian yang berbahaya terus mengikutinya. Demi keselamatan hidupnya, ia terjebak dalam pernikahan paksa dengan Arsenio Harrington, Sang Pewaris tunggal kerajaan bisnis Harrington.
Mampukah Nadira menerima kenyataan pernikahan yang jauh dari bayangannya dan menerima fakta bahwa suaminya adalah seorang pewaris yang dingin dengan masa lalu kelam.
Bagaimana kisah selanjutnya? Nantikan hanya di novel Cinta Sejati Sang Pewaris.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hernn Khrnsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CSSP Ep. 30
Nadira tengah merapikan mejanya, bersiap untuk pulang kerja, rekan kerjanya sudah pulang sejak 1 jam yang lalu, ia terpaksa lembur karena harus membuat laporan proyeknya. Saat ia hendak keluar ruangan, tiba-tiba listrik padam, membuatnya sedikit gelagapan. Tangannya meraba-raba ke depan, berusaha meraih saklar lampu, namun nihil, ia justru jatuh tersungkur.
Nadira merintih kesakitan sambil memeriksa keadaan di sekitarnya. Hitam. Gelap. Sepi. Kantor sepertinya sudah benar-benar kosong.
"Beneran gak ada orang?" cicitnya mulai sedikit takut. Denting jarum jam terdengar jelas. Nadira kian takut saat langkah derap kaki mendekat. "Siapa di sana?!" teriaknya kencang. Jantungnya berdegup kencang.
"Nadira?" sebuah suara mengagetkannya. Ia mengenali suara itu. "Pak Arsen?" panggilnya. Kedua tangannya meraba-raba udara yang kosong. "Pak Arsen? Pak Arsen di sana, kan?" panggilnya lagi. Namun tak ada jawaban, suasana kembali sunyi. Membuat Nadira kian takut.
"Tolong ..., " ujar Nadira lemah pada akhirnya, ketakutan menggerogoti hatinya. Kakinya juga terasa ngilu, air matanya mulai deras turun ke pipi. Ia benar-benar takut sekarang. Ia ingin berdiri, berlari atau apapun agar ia bisa keluar dari kegelapan ini, namun kakinya terasa sakit saat digerakkan.
Nadira semakin terisak dalam, kilatan-kilatan menyeramkan itu menyergapnya, dadanya mulai terasa sesak. Ia memukul-mukul dadanya pelan. "Gak, jangan, jangan!" jeritnya kian putus asa.
"Nadira!" sebuah suara mengejutkannya di saat-saat terakhir, Arsen tampak berlari bersamaan dengan lampu yang kembali menyala. "Nadira, Nadira, lihat saya!" sentak Arsen sambil meraih wajah Nadira yang pias.
Seketika, Arsen berubah panik. Wajah Nadira begitu dingin, begitu pula tangannya. Kakinya tampak memerah, seperti terbentur sesuatu. Pikiran-pikiran buruk mulai menyentak Arsen.
Keringat Nadira bercucuran, dadanya masih tersengal sesak. "Pak Arsen, saya ... saya ... " ujar Nadira susah payah.
"Jangan katakan apapun, kita ke rumah sakit sekarang!" kata Arsen cepat lalu membopong Nadira. Sayup-sayup Nadira mendengar detak jantung Arsen yang bagai irama di telinganya. Setelah itu, lenyap, Nadira tak bisa mendengar apapun lagi. Semuanya menggelap seperti tadi.
***
"Galen! Cepat ke rumah sakit!" perintahnya sambil berteriak membuat Galen sedikit terkejut. Namun berikutnya, Galen langsung memajukan mobilnya dengan cepat. Ia menyadari bahwa ini keadaan darurat. Nadira terkulai dalam pangkuan Arsen.
Sesampainya di rumah sakit, Nadira langsung mendapat pertolongan pertama. Dari penangangan darurat hingga saat Nadira dipindahkan ke ruang rawat inap VIP, Arsenio tetap di sana menungguinya, tak beranjak sedikit pun hingga Subuh menjelang pagi. Ia terus memaksa matanya untuk tetap terbuka demi Nadira.
Kantuk berkali-kali menyergapnya tapi ia enggan meninggalkan Nadira sendiri. Galen berulang kali menawarkan diri untuk bergantian menjaga, tapi ditolaknya keras. Dalam sunyi itu, tiba-tiba dering ponselnya nyaring berbunyi, mengalihkan perhatiannya dari Nadira yang tertidur.
"Halo, Kakek. Iya dia sudah baik-baik saja, hanya belum sadar. Iya, iya, aku akan menungguinya dengan baik, jangan khawatir. Ya, istirahatlah dengan baik, nanti Arsen kabari kalau dia sudah sadar." Arsen mematikan ponselnya.
Lagi, dia memandangi Nadira yang terkulai lemah di ranjang rumah sakit itu, tubuhnya terpasang infus dan ventilator. Perlahan ia meraih jemari Hamna yang terasa dingin.
"Maaf, tadinya saya ingin memberimu kejutan. Saya tidak mengira akan jadi seperti ini," katanya merasa bersalah. Ia tak tahu jika Nadira mengidap nyctophobia. Jika Arsen mengetahuinya ia tak akan pernah melakukan itu. Melakukan kejutan seperti yang disarankan Kakeknya.
"Kamu pasti sangat ketakutan, kan? Berapa kali kamu merasakan kecemasan seperti itu, Nad? Kenapa tidak mengatakannya kepada saya?" Arsen kembali mengingat kejadian demi kejadian yang lalu.
Jemari Nadira tampak bergerak, Arsen langsung terbangun dari duduknya. Memeriksa keadaan Nadira seksama. Saat tanda-tanda yang disebutkan dokter muncul, ia langsung menekan bel dengan keras di samping nakas.
Tak lama, dokter dengan beberapa perawat datang. Ia memeriksa kembali kondisi Nadira. "Nyonya sudah sadar, Tuan, hanya saja kondisinya masih lemah. Biarkan beliau beristirahat dulu," jelas dokter perempuan itu tersenyum.
Arsen mengangguk, ia bisa merasa lega sekarang. "Syukurlah," lirihnya pelan lalu kembali bersandar di sofa ruang rawat tersebut. Kepalanya terasa berdenyut.
Setelah meninggalkan dua perawat di ruangan Nadira, dokter itu pamit undur diri. "Tuan, istirahatlah di kamar, biar saya yang menjaga Nyonya," kata Galen merasa kasihan pada Bosnya itu. Semalaman suntuk terjaga demi menunggui Nadira.
Arsen akhirnya mengangguk, menyetujui usul Galen untuk beristirahat lebih dulu. Ia berjalan ke sebuah ruangan, tempat khusus bagi keluarga pasien untuk beristirahat.
Pukul 8 Pagi. Nadira mengerjapkan matanya perlahan, samar-samar ia mendengar suara yang memanggilnya. Warna putih yang dominan dan bau disinfektan adalah hal pertama yang disadarinya. "Nadira, Lo udah bangun? Gimana perasaan Lo?" tanya Luna segera menghampiri Nadira.
"Gue di rumah sakit?" Nadira tampak bingung, ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Benar, rumah sakit.
"Iya. Lo jangan banyak gerak dulu, oke? Tadi suster bilang sama Gue, kalau Lo bangun harus makan dulu. Sekarang Lo makan dulu, ya, ini ada bubur."
Nadira hanya mengangguk lemah, meski pikirannya tengah berkecamuk. Siapa yang membawanya ke rumah sakit? Seingatnya semalam ia ada di kantor. Dan kenapa Luna ada di sini?
"Kok Gue bisa ada di sini, Lun?" tanya Nadira setelah menghabiskan sarapannya pagi itu.
"Ya mana Gue tahu? Gue juga dikabarin sama Pak Galen katanya Lo di rumah sakit. Terus dia minta Gue buat jagain Lo di sini," jelasnya sambil memberikan beberapa butir obat pada Nadira.
Nadira menerimanya dan langsung meminumnya cepat. "Pak Galen?" ulangnya seolah tak percaya. Sepertinya semalam ia sayup mendengar suara Pak Arsen bukan Galen.
Luna mengibaskan tangannya di hadapan Nadira membuat gadis itu terperangah. "Harusnya Gue gak sih yang nanya kenapa Lo bisa ada di rumah sakit? Kenapa Lo? Lembur lagi?" tanya Luna beruntun.
Nadira kembali berbaring, kepalanya kembali pusing mendengar pertanyaan Luna.
"Aish, penyakit lama Lo kambuh lagi, ya?" selidik Luna. Nadira tampak mengangguk.
"Kayaknya sih iya. Semalam tuh pas Gue mau pulang, mendadak listrik mati, Lun. Semuanya gelap banget,-" Nadira tak melanjutkan ucapannya. Rasanya begitu menakutkan saat kembali memikirkannya.
"Udah, udah, gak usah diulang. Lain kali Lo harusnya hati-hati. Harus berapa kali Gue ingetin, sih? Walaupun kerjaan Lo numpuk, Lo jangan maksain diri gitu, Nad. Pekerjaan memang penting, tapi kesehatan Lo jauh lebih penting. Lo udah tahu takut gelap, tapi masih keukeuh kerja sampai larut," Luna berceloteh panjang lebar.
Nadira terdiam mendengarkan. Ia tahu Luna pasti mengkhawatirkannya. "Kayaknya Lo harus ikut psikoterapi lagi, deh, Nad," usul Luna.
Nadira masih terdiam. "Udah, deh, jangan bahas itu dulu. Gue sama yang lain punya sesuatu buat Lo." Luna tersenyum hangat.
"Apa?" Nadira mulai penasaran. Ia mengeluarkan sebuah kotak besar yang sebelumnya ia simpan di sofa. Nadira menatap kotak besar itu dengan bingung.
Luna membuka kotaknya. Sebuah kue ulang tahun. "Gue tahu momentnya gak tepat, tadinya Gue sama yang lain mau kasih kejutan buat Lo di kantor, tapi ternyata ... Eh, Lo make a wish dulu, deh, Nad. Habis itu potong kuenya." Luna meletakkan kue itu di atas table.
Nadira menutup matanya dan menengadahkan tangannya untuk berdoa. Lalu memotong kuenya pelan. "Makasih banyak, Luna. Lo kok ingat aja, sih?" Nadira terkekeh. Setiap tahun Luna pasti begini memberinya kejutan tak terduga.
"Bukan cuma Gue aja kok yang ingat. Yang lain juga ingat, tadi mereka ke sini tapi Lo masih tidur," ujar Luna sambil menunjuk ke arah samping. Di sebuah meja terdapat beberapa kado yang sudah disusun.
Nadira tertawa ringan. Tak menyangka rekan-rekannya bisa seloyal itu. "Kalian ... Seniat itu?" Luna mengangguk semangat.
"Tadinya kita mau siram Lo pakai tepung," Luna tertawa keras. Tawanya yang keras itu sampai membuat Arsen terkejut dan langsung keluar kamarnya.
"Ada apa? Kenapa?" tanya Arsen sedikit panik. Kehadirannya cukup mengagetkan dua gadis di sana.
salam kenal untuk author nya