Kinanti Amelia, remaja pintar yang terpaksa harus pindah sekolah karena mengikuti ayahnya.
Ia masuk ke sekolah terbaik dengan tingkat kenakalan remaja yang cukup tinggi.
Di sekolah barunya ia berusaha menghindari segala macam urusan dengan anak-anak nakal agar bisa lulus dan mendapatkan beasiswa. Namun takdir mempertemukan Kinanti dengan Bad Boy sekolah bernama Kalantara Aksa Yudhstira.
Berbekal rahasia Kinanti, Kalantara memaksa Kinanti untuk membantunya belajar agar tidak dipindahkan keluar negeri oleh orang tuanya.
Akankah Kala berhasil memaksa Kinan untuk membantunya?
Rahasia apa yang digunakan Kala agar Kinan mengikuti keinginanya?
ig: Naya_handa , fb: naya handa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naya_handa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Soft boy become bad boy
Di rooftop saat ini Kinanti berada. Ia sedang termenung sendirian mengingat ucapan Frea beberapa saat lalu. Hatinya masih merasakan perih saat gadis kaya raya itu menghina kedua orang tuanya dengan begitu jelas.
Ucapan tidak diajari sopan santun oleh orang tua dan suka mengambil milik orang lain, sungguh sangat menyakitkan untuk di dengar. Yang lebih menyakitkan adalah, ia tidak bisa menimpali apa-apa, selain mengepalkan tangannya dengan kesal dan menahan tangis dalam dada.
Apa kondisinya yang sederhana adalah kesalahan orang tuanya? Tidak bukan?
Lukman bahkan sudah bekerja keras membesarkan Kinanti seorang diri tanpa pernah membuat Kinanti merasakan kekurangan kasih sayang sedikitpun. Laki-laki itu juga menghabiskan waktunya diluaran demi mencari nafkah yang halal untuk menghidupinya dan menyekolahkannya di tempat yang bagus.
Orang tuanya tidak diam saja. Mereka bekerja sangat keras hingga melupakan keinginannya sendiri. Tapi mengapa Frea begitu lancang mengatakan orang tuanya mengajari Kinanti hal yang rendahan? Tidak kah ia tahu kalau itu sangat menyakitkan?
Kinanti menangis tersedu-sedu di tempatnya. Air matanya berderai, tidak bisa ia tahan hingga bahunya bergerak naik turun karena tangisnya yang pecah. Bukan kondisinya yang sederhana yang ia tangisi melainkan perjuangan orang tuanya yang tidak dihargai.
Di belakang sana, ada Kala yang berdiri mematung setelah mengejar Kinanti. Entah apa yang dialami gadis itu hingga Kinanti terlihat begitu sedih dan menangis tersedu-sedu. Padahal ia tahu benar kalau gadis yang saat ini membelakanginya adalah gadis yang kuat.
Kala memutuskan untuk mendekat. Ia memberanikan diri untuk duduk di samping Kinanti tanpa berkata apapun. Ia memberikan selembar tisue untuk Kinanti menyeka air matanya.
“Makasih,” Kinanti mengambil tisue dari tangan Kala lantas memalingkan wajahnya untuk mengusap air mata itu. Ia juga membuang air hidung di tisue itu dengan suara yang cukup keras.
“Sroookk!!”
Kala bergidik geli sambil menahan senyumnya.
“Sorry,” ucap Kinanti seraya menoleh Kala. Ia memperlihatkan matanya yang masih basa dan hidungnya yang merah.
“Kenapa minta maaf? Kalau sedih, ya nangis aja. Gak ada yang larang kok.” Kala dengan gaya menghiburnya yang kaku.
“Hwaaaaa!!!! Aku keseeelll!!!” seperti di perintah, tiba-tiba saja Kinanti menangis dan berteriak.
“Eehhh, gak teriak gini juga.” Kala kaget dan panik di waktu yang bersamaan. Ia ingin menenangkan Kinanti tapi malah membuat tangis Kinanti semakin pecah.
“Huhuhu ... jangan di suruh berhenti nangis. Aku masih kesel,” ucap Kinanti sambil tersedu-sedu.
Tisue yang diberikan Kala sudah basah semua dan beberapa menempel di wajahnya.
“I-Iyaaa... kalau sedih ya nangis aja. Tapi gak usah teriak. Nanti orang-orang denger dan dikirannya aku ngapain kamu lagi,” bujuk Kala dengan wajahnya yang bingung dan serba salah.
“Ya udah sana kalau gak mau disalahin. Lagian aku mau sendiri!” seru Kinanti seraya mendorong Kala hingga remaja itu terjatuh dari bangku yang ia duduki.
“Akh!” Kala mengaduh kesakitan, ia memegangi pinggangnya yang ngilu.
“Sekarang aku malah nyelakain kamu. Makanya kamu jangan deket-deket.” Kinanti berbicara dengan terbata-bata, mungkin karena tangisnya yang belum selesai.
Kala segera bangkit seolah tidak merasakan sakit apa-apa.
“Gak sakit kok, tadi kaget aja,” hibur Kala dengan senyumannya yang kaku. Sebenarnya pinggang dan bokongnya masih nyeri karena terjatuh di atas permukaan yang tidak rata tapi ia tidak mau membuat Kinanti semakin sedih.
“Kalau masih mau nangis ya nangis aja, marah juga boleh. Tapi kalau kamu teriak-teriak nanti tenggorokan kamu sakit,” bujuk Kala sambil menepuk-nepuk bahu Kinanti.
Kinanti tidak menimpali, ia masih dengan tangisnya yang sedih lantas memiringkan kepalanya di bahu Kala. Ia butuh sandaran.
Kala sampai kaget dan berhenti menepuk bahu Kinanti. Jantungnya seperti tersengat aliran listrik yang tiba-tiba saat merasakan kepala Kinanti yang bersandar di bahunya. Juga rambutnya yang sedikit menyentuh wajahnya dan tercium wangi.
Tetapi, kemudian ia tersenyum. Ia membiarkan jantungnya tetap berdebar kencang dan meneruskan menepuk bahu Kinanti dengan kaku.
“Kenapa ada orang yang bisa berkata jahat sama orang lain sih, Kal?” tanya Kinanti saat tangisnya mulai berhenti. Ia mengusap air matanya dengan kasar.
“Ya karena mereka gak bisa bersikap baik.” Kala menjawab apa adanya.
Terdengar hembusan nafas kasar dari mulut Kinanti, jawaban Kala sangat tidak membantu.
“Tapi, kalau kamu gak suka sama perkataan atau perbuatan mereka, kenapa sesekali gak kamu bales aja, biar dia tau rasa?” saran Kala.
Ia sedikit mengintip wajah Kinanti yang terlihat sendu. Tiba-tiba gadis itu menegakkan kembali kepalanya, tidak bersandar pada Kala. Kala segera menegakkan tubuhnya, memandang ke depan sana pura-pura tidak memperhatikan Kinanti.
“Kalau aku balas, apa bedanya aku sama mereka?” Kinanti bertanya pada Kala tanpa menoleh remaja gundah itu.
“Bedanya?” Kala balik bertanya. Otaknya tiba-tiba blank.
“Iya. kamu kan bilang kalau aku gak suka sama perkataan dan perbuatan mereka, aku bales aja. Terus bedanya aku sama mereka apa? Bukankah aku sama dia jadi sama-sama jahat?” baru sekarang Kinanti menoleh dan menatap wajah Kala yang gugup.
“Em, ya balesnya dengan cara yang berbeda.”
“Misalnya?” pertanyaan Kinanti semakin menyudutkan.
“Ya, minimalnya lakukan hal yang bikin mereka gak bisa bersikap kasar lagi sama kamu.” Kala menoleh Kinanti, bertatapan dengan Kinanti yang masih menatapnya bingung.
Cepat-cepat Kala memalingkan lagi wajahnya. Wajahnya malah terasa hangat saat melihat mata Kinanti yang menatapnya dalam. Kenapa sebenarnya?
“Mau aku ajarin bela diri gak?” tawar Kala tiba-tiba.
“Buat apa?”
“Ya, supaya kamu tau cara menghindar. Itu kan bisa kamu lakuin kalau kamu mau membalas mereka tapi kamu juga gak mau mereka bersikap seenaknya sama kamu.”
Kinanti tidak lantas menjawab. Ia malah memandangi wajah Kala yang bersemu kemerahan. Kala yang sadar sedang dipandangi, mengusap pipinya yang mulai di tumbuhi rambut halus di sekitar rahangnya.
“Apa alasan kamu brutalpun karena itu?” Kinanti balik bertanya, Kala terpaksa menoleh.
“Riko bilang, terkadang bad boy itu berawal dari soft boy yang pernah dilukai. Apa itu bener?” ia mempertegas pertanyaannya dengan mengulang kalimat Riko beberapa waktu lalu.
Alih-alih menjawab, Kala lebih memilih beranjak dari samping Kinanti. Ia memandang langit Jakarta yang mulai teduh menjelang sore.
“Kalau gak ada orang yang bisa ngelindungin kita, masa kita biarin orang lain nginjek-nginjek kita? Apa hak mereka merendahkan kita?” timpal Kala dengan penuh keyakinan.
Kinanti tersenyum kecil, jawaban Kala cukup mengejutkan. Ia pun beranjak dari tempatnya dan berdiri di samping Kala. Terdengar helaan nafas lega setelah ia bisa mengungkapkan perasaannya. Mungkin Kala benar, ia bisa membalas sikap buruk orang lain tapi tidak harus selalu dengan keburukan juga. Yang jelas, tidak ada yang berhak untuk merendahkannya apalagi kedua orang tuanya.
“Belajar yuk!” Kinanti menepuk lengan Kala kemudian berlalu.
“Hah?” Kala malah melongo, belajar lagi? Ia masih ingin berbincang dengan Kinanti. Bagaimana ini?
****