Pernikahan seharusnya menjadi momen yang paling membahagiakan dan ditunggu oleh pasangan yang saling mencintai. Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi Noami dan Gilang.
Pasalnya, pernikahan mereka terjadi secara mendadak dan tak mengenakkan akibat kesalahpahaman warga yang mendapati mereka berada di dalam rumah kontrakan Naomi dalam kondisi yang cukup intim.
Warga yang mengira kalau Naomi dan Gilang sudah melakukan tindakan tercela yang mencoreng nama baik desa mereka, memaksa mereka menikah saat itu juga. Tidak punya pilihan, Gilang dan Naomi terpaksa menuruti keinginan warga demi menyelamatkan naman baik mereka sebagai pendatang di sana.
“Meski kita sudah menikah, tapi kamu tidak boleh menuntut hak apapun kepadaku!” Kata Gilang setelah tak lama mereka menjadi pasangan suami istri.
Begitu banyak kesepakatan menyakitkan yang dibuat oleh Gilang ditambah sikap Gilang yang sering mengacuhkannya setelah mereka menikah, membuat Naomi merasa pernikahan yang dijalaninya hanya membuatnya terluka.
Apakah Naomi mampu bertahan dengan pernikahan yang hanya membuat luka untuk dirinya meski sebenarnya tanpa diketahui oleh Gilang jika Naomi sudah mencintai Gilang sejak lama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SHy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PML 3 - Gilang Yang Menyebalkan
Keesokan harinya, Naomi nampak keluar dari dalam kamar bersiap untuk berangkat bekerja. Seperti biasanya, Naomi tidak sarapan lebih dulu sebelum berangkat bekerja. Dia lebih suka membawa bekal sarapan paginya ke puskesmas dan memakannya setelah tiba di sana.
Saat baru keluar dari dalam rumah dan hendak mengunci pintu. Naomi mendengarkan suara keributan dari kontrakan sebelah. Rupanya keributan itu berasal dari pergerakan Gilang yang sedang mengeluarkan motor dari dalam rumah.
Naomi mengalihkan pandangan dari wajah Gilang yang kini sedang menatap ke arahnya setelah mengeluarkan motor dari dalam rumahnya. Tanpa suara, Naomi beranjak pergi meninggalkan rumah menuju puskesmas dengan berjalan kaki.
“Tumben gak ada tukang ojek yang mangkal pagi ini.” Gumam Naomi saat ia tiba di pangkalan ojek. Biasanya, Naomi menggunakan ojek untuk mengantarkannya lebih cepat tiba di puskesmas.
“Kalau begini aku gak punya pilihan selain berjalan kaki!” Mau tak mau Naomi kembali melanjutkan perjalanan menuju puskesmas dengan berjalan kaki.
Saat sedang berjalan menyusuri jalanan desa yang cukup mendaki, motor Gilang nampak melintas melewati Naomi. Meski Gilang melihat ke arah Naomi yang sedang berjalan kaki. Namun, tak membuat Gilang menghentikan laju motornya untuk memberikan tumpangan pada Naomi.
“Dia tidak pernah berubah. Selalu acuh kepadaku.” Gumam Naomi. Untuk kali ini Naomi berusaha tak menggunakan perasaan menanggapi sikap Gilang. Toh mereka memang tidak sedekat itu. Naomi juga tahu kalau Gilang tidak suka berdekatan dengan dirinya.
Hampir sepuluh menit berjalan, Naomi melintasi proyek pembangunan klinik milik Gilang. Dilihatnya Gilang sedang memasang helm pengaman sembari berbicara dengan mandor di lokasi proyek tersebut. Sejenak, Naomi terdiam di posisinya menatap wajah Gilang yang nampak serius saat berbicara dengan mandor proyek.
“Dia tidak pernah berubah. Selalu fokus saat bekerja.” Tanpa Naomi sadari, dia kembali mengingat masa lalu di saat dirinya masih suka memperhatikan Gilang hingga akhirnya menghilang dari hidup Gilang.
Menyadari kebodohannya, Naomi kembali melanjutkan langkah menuju puskesmas. Beberapa pemuda desa yang melewati dirinya terdengar memberikan tawaran untuk Naomi. Namun, Naomi menolak halus tawaran mereka.
“Dasar wanita tak tahu malu. Cuma sebagai pendatang di desa ini, tapi udah berani merebut pria yang aku sukai aja!” Gerutu Sindy saat melihat Naomi melintas di depan rumahnya.
Sejak Naomi mengabdi di desanya, Sindy merasa sangat tersaingi oleh Sindy. Bukan hanya dari segi wajah, tapi juga dari kedekatan dengan Raka. Selama ini Sindy selalu berusaha mendekati Raka. Namun, Raka seperti enggan untuk dekat dengannya. Tapi saat bersama Naomi, justru Raka yang mendekatinya.
Setelah lelah berjalan, akhirnya tiba juga Naomi di puskesmas. Meski merasa lelah, tak membuat Naomi mengeluh. Sudah menjadi resikonya bekerja di pedesaan yang minim transportasi seperti ini. Jadi Naomi berusaha untuk memakluminya.
Seperti biasanya, Naomi menikmati sarapan paginya lebih dulu sebelum memulai harinya. Dia memakan sebuah apel merah dan meminum susu untuk mengisi perutnya yang kosong.
“Kamu udah lihat belum Mas Gilang pemilik proyek pembangunan klinik yang kemarin datang ke sini?” Di saat tengah fokus bekerja, samar-sama Naomi mendengar pembicaraan para tenaga kesehatan yang sedang membicarakan sosok Gilang. Dari yang Naomi simpulkan, merek begitu mengagumi sosok Gilang dan berencana untuk mendekatinya.
“Tidak dimana-mana, selalu ada saja wanita yang menyukai Gilang.” Naomi menghembuskan napas bebas di udara. Rasanya sudah menjadi hal yang wajar jika Gilang digilai banyak wanita mengingat wajah dan postur tubuh Gilang sangat sempurna jika dilihat dari sisi manapun.
**
Waktu istirahat siang tiba, Naomi dan beberapa rekan kerjanya diajak oleh Pak Ramzi untuk makan siang bersama dengan Gilang di sebuah rumah makan. Ajaka dari Pak Ramzi tentu saja langsung diterima dengan senang hati oleh rekan kerja Naomi. Tapi tidak dengan Naomi sendiri. Dia rasanya malas untuk menerima ajakan tersebut. Apa lagi ada Gilang nantinya.
“Hai, Mas Gilang!” Beberapa rekan kerja Naomi langsung mendekati Gilang setelah berada di rumah makan untuk menyapa dan menyaliminya.
Naomi tidak melakukan hal yang sama dengan mereka. Dia memilih diam di tempat seolah enggan untuk menyapa Gilang.
“Dokter Naomi, apa anda gak mau menyapa Mas Gilang?” Tanya rekan kerja wanita Naomi.
Naomi tersenyum kaku dan mengangguk. Meski enggan, dia terpaksa menyalimi tangan Gilang. Lagi, jantungnya dibuat berdebar-debar saat melihat kedua bola mata Gilang. Apa lagi saat ini Gilang tengah menatap wajahnya dengan intens.
“Oh ya, Dokter Naomi dan Pak Gilang ini kan sama-sama berasal dari ibu kota. Apa sebelumnya kalian tidak saling mengenal?” Tanya Pak Ramzi.
Naomi tercenung. Bingung untuk menjawab pertanyaan Pak Ramzi. Sementara Gilang, pria itu menggeleng merespon perkataan Pak Ramzi.
“Kami tidak saling kenal sebelumnya.” Kata Gilang.
Wajah Pak Ramzi tersenyum. “Wajar saja kalau kalian gak saling kenal. Kan ibu kota itu luas. Gak kayak di desa ini.” Balas Pak Ramzi.
Gilang mengangguk membenarkannya. Sementara Naomi masih diam dan berbicara di dalam hati.
“Apa dia begitu membenciku sampai tidak ingin jujur kalau kami saling mengenal?”
Selama berada di rumah makan bersama Gilang dan yang lainnya, Naomi lebih banyak diam. Dia hanya sesekali merespon pertanyaan dari Pak Ramzi dan beberapa rekan kerjanya. Sementara pada Gilang, Naomi enggan berbicara dengannya. Memandangnya pun tidak.
Satu minggu berlalu, Naomi merasa perasaannya tidak bisa tenang karena Gilang masih setia berada di desa. Entah kenapa pria itu tak kunjung kembali ke kota padahal Debby bilang kalau urusan Gilang di desa hanya beberapa hari saja.
“Pergilah… pergilah kamu dari sini…” gumam Naomi dalam hati setelah lagi-lagi dia bertemu dengan Gilang di depan rumah. Andai saja dia menjabat sebagai kepala desa, Naomi pasti sudah berani mengusir Gilang pergi dari sana.
Sedikit banyaknya, Naomi heran dengan pria itu. Bagaimana tidak, tinggal di desa bukanlah hal yang menyenangkan bagi Gilang yang sudah terbiasa hidup serba berkecukupan sejak kecil. Begitu banyak fasilitas yang tidak bisa ia dapatkan dan makanan di sana juga pasti tidak sesuai dengan selera Gilang. Namun, pria itu masih saja betah berada di sana. Seolah dia sangat nyaman dan tidak memikirkan tanggung jawabnya sebagai pemimpin perusahaan.
Meski posisi tempat tinggal mereka sangat dekat bahkan hanya menghitung langkah, tak membuat Naomi dan Dean saling dekat atau sekedar berbincang satu sama lain. Keduanya tetap bersikap acuh ketika bertemu, bahkan tidak pernah bertegur sapa.
Contohnya saja seperti saat ini, Gilang yang tengah duduk bersantai di teras rumah dan melihat Naomi terpeleset di teras rumahnya memilih diam saja duduk dengan nyaman di teras rumahnya seolah tidak ada kejadian apa-apa yang terlihat olehnya.
“Duh, bokongku sakit banget!” Keluh Naomi sembari berusaha berdiri tegak dari posisi duduk. Melihat Gilang sama sekali tidak peduli dengan dirinya, membuat Naomi tiba-tiba menjadi kesal.
“Apa dia gak punya perasaan sedikit saja untuk membantuku? Padahal dia pasti melihatku habis terpeleset!” Gerutu Naomi pelan sambil menatap sebal wajah Gilang yang nampak fokus menatap layar ponselnya.
***
Teman-teman, sekali lagi jangan lupa klik tombol like dan tinggalkan komentar sebelum meninggalkan halaman buku ini ya. Agar shy masih tetap semangat nulis di sini🤍
Rate bintang 5nya juga jangan lupa. Terima kasih yang masih tetap setia membaca karya shy🤗
Gilang marah tidak ya Naomi pulang ke rumah mamanya untuk menemui kak Nadira tidak mengajaknya