Setelah gagal berjodoh dengan Ustaz Ilham, tanpa sengaja Zahra bertemu dengan pria yang bernama Rendra. Dia menolong Rendra saat dikejar seseorang, bahkan memberi tumpangan pada Rendra yang mengaku tak mempunyai tempat tinggal.
Rendra yang melihat ketulusan hati Zahra, merasa jatuh cinta. Meski dia selalu merasa kotor dan hina saat berada di dekat Zahra yang merupakan putri pertama pemilik dari pondok pesantren Al-Jannah. Karena sebenarnya Rendra adalah seorang mafia.
Apakah Zahra akan ikut terseret masuk ke dalam dunia Rendra yang gelap, atau justru Zahra lah penerang kehidupan Rendra?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30
"Itu kan rumah aku..." Zahra menatap layar besar itu. Seluruh penjuru rumahnya terlihat. Rumahnya sudah didekor dengan cantik. Banyak bunga-bunga di sisi jalan berkarpet merah menuju pelaminan. Tanpa sadar air mata Zahra menetes di pipinya. "Andai aku ada di sana."
Melihat Zahra yang mulai menangis, Rendra menyodorkan tisu.
Zahra mengambil tisu itu dan menyusut air matanya.
Kemudian Rendra semakin mendekatkan boneka teddy bear. "Butuh pelukan?"
Seketika Zahra tersenyum lalu memeluk teddy bear itu dengan erat.
"Siapa yang memasang cctv di sana?"
Rendra menyandarkan punggungnya di sofa. "Tukang dekor." jawabnya singkat.
Zahra mengernyitkan dahinya sambil melirik Rendra. "Pasti anak buah kamu kan?"
"You know that."
Senyum Zahra semakin mengembang saat melihat adik dan kedua orang tuanya duduk di dekat penghulu.
Ada Ustaz Ilham yang juga tengah duduk di samping Syifa.
Air mata Zahra kembali menetes saat mendengar Ustaz Ilham mengucap ijab qabul untuk Syifa.
Dia tersenyum getir. "Selamat menempuh hidup baru Syifa." Kemudian dia semakin memeluk boneka teddy bear itu dengan erat. Melihat semua prosesi itu, dia merasa seolah ikut hadir di dalam acara itu. Dia tidak menyangka, Rendra mempunyai ide membuat semua ini. Bahkan suara mereka pun bisa ditangkap kamera cctv itu. Benar-benar canggih.
"Udah berasa datang ke acaranya langsung kan?"
Zahra menganggukkan kepalanya. "Makasih ya. Berkat kamu aku juga ikut merasakan kebahagiaan mereka meski sebenarnya setengah hatiku masih sedih karena mungkin saat ini mereka semua tidak mengingatku."
Rendra hanya tersenyum menatap wajah Zahra yang berbinar dan sesekali tersenyum itu.
Andai saja aku yang ada di pelukan kamu.
"Dulu waktu aku kecil, aku pernah bermimpi ingin mengadakan sebuah pesta pernikahan yang sangat mewah, seharian bagaikan seorang putri raja." Zahra menghirup udara dalam lalu menghembuskannya. "Tapi sekarang semua itu tidak akan terjadi."
"Kenapa seperti itu?"
"Kamu tahu sendiri kan keadaan aku kayak gimana? Sehari saja rasanya sangat berat aku lalui. Masihkah ada hari esok untuk aku?" Zahra menundukkan pandangannya. Merenungi nasib hidupnya yang seperti ini.
"Ssttt, kamu gak boleh menyerah."
Zahra kembali menatap layar itu lagi saat terlihat wajah Syifa begitu jelas. "Syifa cantik sekali."
"Kamu juga cantik."
Zahra melirik Rendra yang masih saja menatapnya. "Jangan tatap aku seperti itu."
"Sambil makan biar gak gak gerogi kalau aku tatap." Rendra mengambil sepotong kue lalu menyuapi Zahra.
"Aku gak gerogi. Aku bisa makan sendiri."
Rendra tetap mendekatkan kue itu ke mulut Zahra. Akhirnya Zahra membuka mulutnya dan memakannya.
Kenapa detak jantung aku selalu cepat seperti ini setiap kali dekat dengan Rendra. Apa jantung aku juga bermasalah?
Rendra mengambil kue itu lagi tapi Zahra mencegahnya. "Aku udah kenyang."
"Sekali lagi."
Zahra akhirnya memakannya lagi.
"Aku tahu nafsu makan kamu berkurang drastis jadi aku akan melakukan banyak cara agar kamu mau makan."
Setelah Zahra selesai menelan makanan, Rendra mengambilkan minum untuknya. Bahkan saat minum pun, Rendra yang memegang gelas itu.
Jadi seperti ini rasanya diperhatikan seseorang.
Kemudian mereka sama-sama terdiam dan menikmati acara resepsi yang terekam lewat kamera cctv itu.
Zahra kembali tersenyum getir saat melihat mereka berfoto bersama.
Mereka bisa tersenyum tanpa aku. Kalau suatu saat nanti aku pergi, mereka tidak perlu lagi menangisi kepergianku. Syukurlah...
Setetes air mata kembali menetes tapi Zahra buru-buru menghapusnya.
"Zahra, menikah itu adalah sebuah ibadah kan?" tanya Rendra.
"Iya. Akhir-akhir ini kamu lebih religius ya."
Rendra terdiam beberapa saat. Dia menarik napas panjang lalu menghembuskannya lagi. Dia ingin mengatakan sesuatu pada Zahra.
"Zahra," Rendra berdiri dan berjalan memutar. Dia mengambil sebuah kotak bludru merah yang ada di sakunya. Dia berlutut di depan Zahra sambil membuka kotak cincin itu. "Zahra, maukah kamu menikah denganku?"
Zahra sangat terkejut dengan pertanyaan Rendra. Dia kini menatap sebuah cincin berlian yang cantik yang berada di dalam kotak itu. "Menikah?"
"Iya, mari kita beribadah bersama."
Zahra menatap ragu Rendra. "Rendra, kamu gak bercanda kan?"
Rendra menggelengkan kepalanya. "Aku serius. Jujur, awalnya aku memang gak bisa mengartikan perasaanku. Tapi semakin hari, aku semakin yakin bahwa aku jatuh cinta sama kamu. Aku tahu, hidup aku tidak sesempurna lelaki impian kamu. Mungkin aku juga belum bisa menjadi imam yang baik, tapi aku akan tetap berusaha untuk menjadi yang terbaik buat kamu."
Zahra bisa menangkap keseriusan di kedua netra Rendra. Dadanya semakin berdebar, tapi dia mengingat kondisinya saat ini. "Kamu tahu kan, aku lagi sakit dan gak tahu kapan sembuhnya. Aku gak mau menjadi beban buat kamu."
"Zahra, kamu bukan beban. Aku akan bantu kamu berjuang. Aku ingin selalu berada di dekat kamu, saat kamu membutuhkan seseorang. Aku ingin menjadi seseorang yang bisa kamu peluk, saat kamu membutuhkan sebuah pelukan."
Zahra kambali menatap ragu Rendra.
"Zahra, will you marry me?" tanya Rendra sekali lagi.
Zahra terdiam, dia tidak bisa menjawabnya sekarang. "Rendra aku..." Perkataan Zahra terhenti karena darah itu kembali mengalir dari hidungnya.
"Zahra..." Rendra menutup kembali kotak cincin itu dan segera mengambil tisu untuk mengusap hidung Zahra. "Zahra, kamu harus kuat."
"Rendra, apa kamu sudah memikirkannya sebelum kamu melamar aku barusan."
"Aku sudah memikirkannya matang-matang."
"Nanti jika kita menikah lalu aku pergi dari dunia ini apa kamu sudah siap? Status kamu dengan cepat akan berubah menjadi duda." kata Zahra dengan suara lemahnya.
Pertanyaan itu sangat menyentuh hati Rendra. Dia tekan ujung matanya agar air mata tidak mengalir. "Aku..." Rendra menghentikan perkataannya sesaat. "Aku sudah siap menerima semua itu. Tapi aku yakin, kamu pasti sembuh dan aku berharap kita bisa bersama sampai tua nanti."
Zahra menundukkan pandangannya. "Aku..." Dia menghentikan perkataannya karena kepalanya terasa sangat pusing. Dan lagi, Zahra tak sadarkan diri.
"Zahra..." Rendra segera meraih tubuh Zahra. Dia peluk tubuh itu dengan erat. Sedari tadi dia sudah menahan diri untuk tidak memeluk Zahra, tapi kali ini dia tidak bisa jika tidak memeluknya. Dia tahu, tidak seharusnya sentuhan fisik ini terjadi. "Zahra, aku mohon, kamu harus bisa bertahan, kamu harus bisa melawan penyakit ini."
"Rendra," kata Zahra dengan suara yang sangat lirih, dia menyandarkan kepalanya di dada Rendra.
"Kamu sudah sadar. Ayo, kembali ke kamar. Sebentar lagi Dokter Hendra akan ke sini."
Zahra menggeleng pelan. "Peluk aku sebentar saja. Aku tahu ini dosa tapi pelukan kamu terasa sangat nyaman. Untuk kali ini saja aku ingin merasakan pelukan ini."
Rendra semakin mengeratkan pelukannya.
"Rendra, aku ingin menjawab pertanyaan kamu tadi. Aku..."
.
💕💕💕
.
Bersambung...
.
Like dan komen ya...
jgn lama2
critanya bnyk bngt cobaan nya