SEGERA TERBIT CETAK
"Renjana Senja Kala" adalah spin off dari "Beautifully Painful".
***
Tama dan Kinan memiki karier cemerlang, rising star di bidang masing-masing. Namun karakter juga sikap kaku Tama, luka batin masa kecil Kinan, serta kehadiran Pramudya, dokter spesialis jantung kharismatik menghancurkan segalanya. Tama dan Kinan sepakat untuk berpisah. Meninggalkan Reka, putra semata wayang mereka yang tumbuh dalam kebencian terhadap sosok seorang ayah.
Tapi terkadang, perpisahan justru jalan keluar terbaik. Ibarat mundur selangkah untuk melesat jauh ke depan.
Kinan mulai menyembuhkan luka bersama Pramudya. Tama berhasil menemukan cinta yang selama ini dicari dalam diri Pocut, wanita sederhana nyaris tanpa ambisi. Dan Reka mulai memahami bahwa semenyakitkan apapun kehidupan yang harus dijalani, selalu ada kebaikan serta harapan di sana.
Hasrat cinta yang kuat di akhir masa penantian.
Renjana Senja Kala.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephinasera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29. Take Me Home, I'm Fallin'
Take Me Home, I'm Fallin'
(Bawa aku pulang, aku jatuh cinta)
-diambil dari lirik lagu "To The Bone" yang dinyanyikan oleh Pamungkas-
***
Jakarta
Mamak
Ia sedang gelisah menunggu kepulangan anak menantu dan cucunya. Usai sebuah panggilan mengejutkan sore tadi. Yang masuk ke sambungan telepon seluler pemberian dari Agam untuknya.
Ya. Sejak memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Bandung, Agam secara khusus memberinya telepon seluler.
"Kakakmu sudah punya," tolaknya. Selain karena tak memiliki kepentingan dengan benda berbentuk kotak itu. Ia juga termasuk orang yang gagap teknologi. Tak pernah mengetahui bagaimana cara menggunakan benda canggih tersebut.
"Itu punya kakak," Agam tertawa. "Ini khusus dipegang Mamak. Jadi sewaktu-waktu ... aku bisa langsung menelepon tanpa harus menunggu kakak."
Ia masih menggeleng.
"Ayolah, Mak," Agam memaksa. "Ini Anja yang beli ... khusus untuk Mamak."
"Dia nggak mau aku lupa mengabari Mamak," lanjut Agam dengan setengah memohon. "Nanti biar masalah isi pulsa dan lain-lain, diurus sama Icad."
Akhirnya ia bersedia menerima telepon seluler pemberian dari Agam dan Anjani. Walau harus mempelajari cara pemakaiannya terlebih dahulu selama berhari-hari.
"Ini cara mengangkat telepon masuk bagaimana?" Dan ia masih saja merasa kesulitan, untuk menggeser gambar warna hijau sebagai tanda menerima panggilan masuk.
"Hijau-hijaunya digeser, Nek," Icad mengingatkan berulang kali. "Bukan ditekan."
"Kalau ditekan nanti teleponnya mati."
Ia terkekeh, "Oh, pantas ... setiap Yah bit menelepon tak pernah tersambung. Rupanya karena Nenek matikan teleponnya tanpa sengaja."
Setelah sekian lama, barulah ia terbiasa mengangkat panggilan masuk tanpa merasa kesulitan.
"Mak, hari ini aku pulang terlambat," begitu kata Pocut melalui sambungan telepon dengan suara tergesa.
"Icad terkena masalah. Aku ditelepon oleh wali kelasnya harus ke kantor polisi."
"Subhanallah ...." gumamnya tanpa bisa menyembunyikan rasa cemas.
Selama membesarkan dan mendampingi Agam, walau sering bermasalah di sekolah, tapi Agam tak pernah berurusan dengan pihak berwajib.
Jadi ketika cucunya justru yang harus dibawa ke kantor polisi, ia hanya bisa mendoakan kebaikan. Semoga kejadian yang menimpa Icad tak membawa masalah berkepanjangan.
Dan saat ini malam sudah menjelang larut, tapi belum juga terlihat tanda-tanda kepulangan Pocut dan Icad. Ia sedang menunggu sambil menyelesaikan rajutan baju hangat untuk Aran. Agar bisa dipakai bergantian saat menengok ayahnya di Bandung. Sementara Umay menonton televisi. Dan Sasa bermain di atas karpet.
Ketika terdengar suara langkah kaki memasuki teras. Disusul ucapan salam yang digumamkan oleh Icad.
"Alhamdulillah ...." Ia menyambut kepulangan cucu pertamanya dengan penuh kelegaan. Meski terkejut saat mendapati wajah Icad ternyata babak belur.
"Nek," Icad meletakkan keresek warna putih ke atas meja, lalu mencium tangannya. Tapi ia langsung meraih bahu cucunya itu.
"Kenapa, Neuk (nak) ... babak belur begini?"
"Kejebak tawuran," jawab Icad dengan kepala tertunduk.
"Astaghfirullahal'adzim ...." Ia mengembuskan napas panjang. "Sama teman-teman?"
Icad mengangguk, "Kioda sama Boni dibawa ke rumah sakit."
"Innalillahi ...." Ia kembali mengembuskan napas panjang. "Tapi mereka tak luka parah?"
Icad menggeleng, "Belum tahu kabarnya sampai sekarang."
Ia mengusap kepala Icad yang sudah semakin meninggi itu.
"Mama mana?" tanyanya dengan kening mengerut. Sebab Pocut tak kunjung muncul.
"Di belakang," jawab Icad sambil lalu.
Ia hampir bertanya kembali tentang keberadaan Pocut. Tapi urung. Sebab Sasa yang sedang asyik bermain boneka di atas karpet, tiba-tiba menghambur ke depan pintu sambil berseru riang, "MAMA PULANG!"
Membuatnya segera bangkit dari tempat duduk. Ikut beranjak ke depan pintu untuk menyambut kedatangan Pocut.
Tapi yang ada ia justru tertegun. Saat mendapati tubuh sempoyongan Pocut yang tak siap ditubruk Sasa, tertahan dan terlindungi oleh lengan seorang pria.
"Malam, Bu ...." Sapa pria itu sopan, dengan kepala sedikit mengangguk.
Namun bukannya menjawab sapaan, ia justru terheran-heran. Sebab lengan pria itu, tanpa canggung masih tetap melingkar sempurna di sepanjang bahu Pocut. Menjadi sebuah pemandangan yang cukup mengherankan.
Ia masih berdiri mematung dengan penuh tanda tanya. Ketika Pocut dengan wajah murung, berusaha membebaskan diri dari rangkulan pria itu.
Disusul sapaan riang Sasa, "EH! Ada Om juga ternyata?"
"Om ke sini mau nyari Sasa ya, Om?"
Begitu Sasa turun dari gendongan Pocut, menantu pertamanya itu langsung masuk ke dalam rumah dengan langkah tergesa. Meninggalkan pria yang kini tengah berjongkok dan berbicara dengan Sasa.
"Sasa belum tidur?"
"Kan nungguin Mama pulang," jawab Sasa sambil tersenyum malu.
"Udah malam begini ... memangnya Sasa belum ngantuk?"
Sasa menggeleng dengan penuh keyakinan.
"Sasa nggak bisa tidur, Om. Kalau nggak nyium ketek Mama ... hihihi ...." jawab Sasa dengan gaya kenesnya. Sambil tertawa-tawa dan menutup mulut dengan kedua tangan.
Sementara ia masih merasa kebingungan. Berdiri di depan pintu mengamati obrolan Sasa dan pria itu. Lalu menoleh ke dalam rumah. Mencari-cari sosok Pocut yang tak terlihat lagi.
"WAH! OM KESINI LAGI?"
Dan ia baru tersadar setelah mendengar seruan Umay. Yang dengan setengah berlari terlihat bersemangat menjumpai pria yang ada di depan teras.
"Halo, Bos. Apakabar?" sapa pria itu sambil saling menempelkan telapak tangan dengan Umay yang memasang wajah berbinar-binar.
Saat itu juga, ia bisa merasakan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang sempat dikhawatirkannya beberapa waktu lalu. Sekarang akhirnya menjadi kenyataan.
Entah apa yang akan terjadi di masa mendatang. Semoga saja tentang kebaikan dan kebahagiaan. Namun jikalau harus dihadapkan pada ujian, semoga mereka bisa melaluinya dengan baik. Dan semoga ia bisa mendampingi Pocut beserta ketiga cucunya dengan segenap hati.
Semoga.
Wallahu a'lam (hanya Allah yang lebih mengetahui).
***
Pocut
Ia sedang mencuci tangan di bak cuci piring. Ketika Mamak masuk ke dapur dan bertanya.
"Kalian sudah makan?"
Ia mengembuskan napas panjang dengan penat.
"Makanlah dulu. Masih ada lauk. Tinggal dipanaskan sebentar."
Mamak memang selalu menyambut dengan baik, siapapun orang yang bertamu ke rumah.
Meskipun itu adalah tuan tanah kakek belasan cucu, yang datang ingin melamarnya. Atau pria tak tahu bersyukur yang ingin menjadikannya istri ke sekian. Bahkan teman sekolah ketiga anaknya. Semua selalu disambut Mamak dengan baik. Selalu ditawari makan dan minum tanpa kecuali.
"Sekarang sudah malam, Mak," ia mencoba berdalih. Agar tak harus menyediakan makan, untuk pria yang kini sedang bercanda dengan Umay dan Sasa di ruang tamu.
"Tak enak dengan tetangga," sambungnya dengan wajah muram.
Tapi Mamak hanya tersenyum. Mamak juga sudah menyalakan kompor untuk menghangatkan gulai.
"Tawari saja dulu," jawab Mamak. "Kalau tak mau tak apa."
Ia kembali mengembuskan napas panjang.
"Bagaimanapun dia kakak ipar Agam," sambung Mamak yang semakin membuatnya penat.
Saat ia masih mematung di depan bak cuci piring, Icad muncul di pintu dapur dengan wajah mengantuk.
"Lapar, Ma. Mau makan."
Dengan berat hati, ia akhirnya pergi ke ruang tamu. Menemui pria yang sedang tertawa-tawa bersama Umay dan Sasa.
"Om, pistolnya asli ya, Om?" tanya Umay dengan wajah penuh rasa ingin tahu.
"Temen aku juga ada yang punya pistol lho, Om," tapi justru Sasa yang menjawab.
"Padahal cewek kayak Sasa, Om. Tapi sukanya main pistol-pistolan pinjam punya abangnya," lanjut Sasa dengan gaya serba tahu.
"Ih, Sasa! Diem dulu. Pertanyaan Abang belum dijawab sama Om!" gerutu Umay, yang merasa Sasa terlalu ikut campur.
"Padahal seruan main boneka ya, Om?" tapi Sasa tetap tak mau kalah. "Apalagi kalau main sama Tante Anja. Seruuu banget tahu."
"Sasa, ssssttttt!" Umay meletakkan telunjuk di depan mulut. Meminta Sasa agar diam.
Ketika ia masih terpana dengan keantusiasan Umay dan Sasa, tiba-tiba terdengar suara Mamak dari belakang punggungnya.
"Makan dulu, Neuk. Sudah makan belum?" tanya Mamak sambil mendudukkan diri di kursi ruang tamu.
"Sekalian Icad juga mau makan. Biar ramai-ramai," sambung Mamak membuatnya mendesah tak percaya.
Tama langsung melihat ke arahnya. Dan tanpa sadar ia menggelengkan kepala sebagai isyarat penolakan. Tapi Tama justru tersenyum simpul sambil berkata dengan penuh ketenangan.
"Boleh, Bu. Kebetulan saya belum makan malam."
Ia memandang Tama dengan ekspresi mengerut. Tapi Tama justru menatapnya seraya mengu lum senyum.
"Suka minum kopi?" tanya Mamak lagi membuatnya kembali mendesah tak percaya. "Ada kopi gayo oleh-oleh dari Yah bit Hamdan sepulang dari Lhokseumawe."
Ia memberi pandangan memperingatkan pada Tama. Berharap pria itu menolak tawaran Mamak dan segera pulang.
Tapi Tama yang juga terus menatapnya sembari mengu lum senyum justru menjawab dengan mantap, "Kopi minuman favorit saya, Bu. Terima kasih banyak untuk tawarannya."
Ia berkali-kali menggelengkan kepala saat menyendok gulai ke dalam mangkuk. Tak percaya jika ia kembali terjebak dalam situasi yang tak menyenangkan.
"Aku makan di sini aja ya, Ma," gumam Icad dengan wajah kesal. Yang sedang duduk menungguinya di dapur.
Sementara dari arah ruang tamu, suara celotehan riang Sasa dan Umay masih saling bersahutan. Disusul gelak tawa Mamak dan Tama. Membuatnya kembali mengembuskan napas panjang.
"Aku malas makan di depan," sambung Icad dengan wajah mengeras.
Tapi ia menggeleng, "Makan sama-sama di depan. Ikuti kata Nenek."
Dengan wajah cemberut Icad membantunya membawa piring dan sendok ke ruang tamu. Sementara ia membawa nampan berisi mangkuk gulai dan gelas air putih.
"Piring aku mana, Ma?" tanya Sasa ketika ia meletakkan mangkuk berisi gulai ke atas meja.
"Sasa mau makan juga?" tanyanya heran. Karena Sasa tak pernah makan lewat dari waktu Isya. Alasannya karena sudah mengantuk dan ingin cepat-cepat tidur.
Sasa mengangguk.
"Aku juga mau makan lagi, Ma!" Umay mengangkat tangan kanan tinggi-tinggi ke atas. Seperti siswa yang ingin menjawab pertanyaan dari bu guru.
"Umay mau makan juga?" ia kembali bertanya dengan keheranan. Sebab Umay paling sulit untuk diajak makan malam. Alasannya karena masih kenyang. Tapi sekarang?
Umay mengangguk tak kalah mantap seperti anggukan Sasa.
Membuatnya mengembuskan napas panjang sambil memandangi dua buah piring kosong yang telah tersimpan di atas meja. Satu untuk Tama, satu lagi untuk Icad.
"Sebentar, Mama ambil dulu," jawabnya sambil berbalik.
Tapi belum juga berhasil mencapai pintu dapur, suara bass yang khas berhasil membuatnya terlonjak.
"Permisi, Bu. Saya ikut ke belakang."
Detik itu juga ia ingin berlari sejauh mungkin. Lalu bersembunyi di tempat antah berantah yang tak tampak di peta. Agar tak seorangpun bisa menemukan keberadaan dirinya.
Tapi itu jelas hal yang mustahil.
Karena kenyataan harus tetap dihadapi.
***
Tama
Ia berjalan mengekori Pocut yang terlihat kesal ketika mendengar jawabannya tentang tawaran makan dan kopi. Memasuki dapur yang suasananya lebih gelap jika dibandingkan dengan ruang tamu. Penerangan di dapur bahkan terlalu temaram menurutnya.
Tapi ia tak mengatakan apapun. Langsung melangkah menuju kamar mandi.
Begitu keluar dari kamar mandi, matanya mendapati Pocut tengah menyeduh kopi dengan air yang baru saja mendidih. Lalu mengaduknya perlahan.
"Besok masih ngantor?" tanyanya basa-basi. Sambil menarik kursi tepat di samping Pocut berdiri. Lalu mendudukkan diri di sana.
Pocut mengangguk.
"Dijemput sama Pak Hadi?"
Pocut kembali mengangguk.
Ia sudah hampir bertanya lagi, tapi keburu Pocut berkata dengan suara pelan, "Jangan lama-lama di sini. Nanti Mamak dan anak-anak bisa salah paham."
Ia tersenyum. Sambil mengamati Pocut yang kini tengah menyimpan sendok kecil bekas mengaduk kopi.
"Bagaimana caranya biar mereka nggak salah paham?" satu pertanyaan yang cukup menggelitik terlontar dengan sendirinya.
Pocut menatapnya tak mengerti.
"Menurut kamu ... apa yang harus saya lakukan biar mereka nggak salah paham?"
Pocut sempat mengernyit sebelum berkata, "Cepat kembali ke ruang tamu. Jangan mengajak saya bicara berdua seperti ini."
"Oke," ia mengangguk setuju. "Sekarang saya ke ruang tamu. Kopi biar saya yang bawa."
Pocut terlihat menghela napas panjang, ketika tangannya terulur guna meraih kopi yang masih mengepulkan uap panas.
Pocut bahkan langsung membalikkan badan darinya dan beranjak ke ruang tamu. Setelah sebelumnya sempat meraih dua buah piring dan sendok dari atas meja.
"Apa sekarang kamu yang salah paham?" Pertanyaannya berhasil menghentikan langkah Pocut meski tak langsung menoleh ke arahnya.
"Apa setelah semua ucapan saya di kantor tadi ... justru membuat kamu menjadi salah paham dengan saya?"
Pocut berbalik dan menatapnya dengan wajah bingung.
"Apa saya harus menjelaskannya sekarang biar kamu nggak salah paham?"
Pocut menggeleng, "Nggak ada yang perlu dijelaskan."
Tapi ia mengangguk, "Ada yang perlu dijelaskan."
Pocut kembali menggeleng.
"Saya baru mengalami kegagalan," ujarnya cepat sebelum Pocut berbalik pergi.
Pocut menatapnya tak mengerti.
Dan ini membuatnya tertawa walau tanpa suara, "Sejujurnya saya sudah gagal dari dulu. Bahkan gagal sejak awal."
"Saya nggak berhak mendengar ini," Pocut menggelengkan kepala.
"Tapi saya ingin kamu mendengarnya."
Pocut kembali menggeleng, "Saya harus segera ke ruang tamu. Sasa dan Umay sedang menunggu piring."
"Pocut ...." Ah, ya. Mungkin ini kali pertama ia memanggil nama wanita cantik ini dengan begitu jelas. Terasa asing bagi lidahnya. Namun cukup melegakan perasaan.
"Saya tertarik dengan kamu."
Pocut menatapnya dengan mulut ternganga.
Membuatnya kembali tertawa meski tetap tanpa suara, "Ini di luar dugaan saya. Saya nggak pernah seperti ini sebelumnya."
"Saya juga nggak tahu apa yang sedang terjadi," ralatnya sambil tersenyum. "Tapi saya tahu ... harus segera mengatakannya langsung di depan kamu."
Pocut masih ternganga. Menatapnya tanpa ekspresi.
"Sebelumnya ... saya adalah orang yang kurang peka dan tak terlalu peduli," sambungnya sambil menunduk melihat cangkir kopi di kedua tangannya.
"Saya juga heran kenapa bisa ngomong seterus terang ini sama kamu," ia kembali memandang Pocut yang masih berdiri dengan wajah pias.
"Hubungan saya dengan anak laki-laki saya juga kurang baik. Kalau nggak mau dibilang buruk," lanjutnya seraya tersenyum getir demi mengingat Reka.
"Tapi anehnya ... saya bisa lancar berkomunikasi dengan anak-anak kamu."
Pocut terlihat mengembuskan napas panjang dengan berat.
"Saya bisa langsung menyukai Sasa ... Umay," ujarnya sembari menunjukkan tangan ke arah ruang tamu.
"Icad mungkin segera menyusul," kali ini ia tertawa. "Dia benar-benar mirip seperti Reka. Sama persis."
"Jadi dengan semua hal yang tak biasa ini ... saya bisa mengambil kesimpulan ...." Ia mencoba tersenyum.
"Kalau kita harus sering ketemu dan mengobrol."
Pocut mengernyit.
"Biar saya tahu ... jawaban dari hal tak biasa ini."
"Apakah memang sesuatu yang saya cari selama ini atau ... hanya ilusi sesaat."
Pocut menggelengkan kepala sambil menatapnya dengan mata yang menyiratkan keraguan.
"Jadi mungkin ... kamu bisa bantu saya dengan tidak menghindar?"
"Kita perjelas semuanya biar nggak ada salah paham lagi."
"Saya ...." Pocut masih menatapnya tak percaya. "Saya nggak tahu harus menjawab apa."
Ia tertawa. Kali ini sedikit bersuara.
"Kamu nggak harus menjawab apa-apa," ia masih tertawa. "Kamu cukup bantu saya dengan tidak menghindar."
"Setelah itu terserah kamu," sambungnya seraya menatap Pocut sungguh-sungguh.
"Hanya dengan tidak menghindar?" tanya Pocut masygul.
Ia mengangguk, "Hanya dengan tidak menghindar."
"Hanya itu?" tanya Pocut lagi.
"Tidak menghindar dan kita banyak mengobrol," ralatnya.
"Mengobrol tentang?"
"Tentang apa saja. Semua hal," jawabnya cepat. "Tentang semua yang bisa membantu saya untuk menemukan jawaban."
"Setelah itu saya janji ... nggak akan ganggu kamu lagi," ia mencoba meyakinkan. Meski jauh di dasar hati menolak mentah-mentah pernyataan tersebut.
Time will tell (waktu yang akan berbicara).
"Saya nggak pernah banyak bicara selain dengan suami saya," ucap Pocut dengan kepala tertunduk.
Ia mengangguk, "Saya bahkan nggak pernah banyak bicara dengan mantan istri saya."
Pocut mengernyit heran menatapnya.
"Lebih parah kan?" kali ini ia tertawa.
Tapi Pocut justru menggerutu, "Bagaimana mungkin nggak pernah bicara dengan istri sendiri ...."
Pelan namun masih bisa terdengar oleh telinganya.
"Ini benar-benar menjadi yang pertama buat saya," ujarnya berusaha meyakinkan. "Makanya saya penasaran kenapa bisa jadi begini."
"Jadi ... bisa bantu saya?"
Pocut menatapnya dengan ekspresi penuh keraguan.
Ia pun balas menatap Pocut sembari mengangguk berusaha untuk meyakinkan.
Saat itulah suara riang Sasa menghambur memasuki dapur, "Mama! Lama banget ditungguin."
"Sasa udah lapar nih," sungut Sasa sambil mengusap perut dengan gaya orang yang sedang kelaparan.
"Eh, malah ngobrol sama Om di sini?" Sasa memberinya pandangan menuduh namun jatuhnya malah lucu. Membuatnya tak mampu untuk menahan tawa.
"Om pinjam Mama dulu ya ...." ujarnya antara gurauan namun sebenarnya serius.
Ia sempat mendengar Pocut mendesah sembari memberinya tatapan tak setuju.
Tapi keburu Sasa menjawab dengan suara riang khas anak-anak, "Boleh. Om boleh kok pinjam Mama Sasa. Tapi jangan lupa dikembalikan ya, Om."
"Sasa nggak bisa tidur kalau nggak sama Mama soalnya."
Dan ini kembali membuatnya tergelak. Disertai kelegaan yang luar biasa. Seperti satu beban berat telah luruh dengan sendirinya.
Mereka bertiga kembali ke ruang tamu. Diiringi tatapan menyelidik ibu Cakra ke arahnya. Namun ia pura-pura tak menyadarinya.
Ia makan sembari mendengarkan celotehan Sasa dan Umay. Sambil sesekali melihat ke arah Icad yang selalu memasang muka masam. Juga Pocut yang tampak gugup dan salah tingkah tiap kali mata mereka tak sengaja bersua.
"Om pulang dulu ya," pamitnya usai menghabiskan sepiring gulai yang lezat dan secangkir kopi yang mantap.
"Terima kasih oleh-olehnya, Om," Sasa menjadi yang paling antusias menanggapi ucapannya.
"Hati-hati jaga diri," ujarnya ke arah Icad yang berdiri di belakang Pocut dengan kepala tertunduk.
"Kalau pesan buat aku apa, Om?" seru Umay tak mau ketinggalan.
Ia berpikir sebentar. Sebelum akhirnya berucap, "Nurut sama Mama, ya."
Umay mengangguk sambil tersenyum lebar, "Itu sih ... gampaaaang ...."
Lalu semua tertawa. Kecuali Icad dan Pocut tentu saja.
Kini ia telah berada di dalam mobil. Melajukan kemudi menjauh dari tempat yang membuat hatinya diliputi kehangatan. Memperhatikan jalanan di depan yang mulai lengang.
11:25 PM.
Begitu waktu yang terpampang di atas dashboard. Sudah cukup malam untuk perjalanan panjangnya hari ini.
Ia sempat menyalakan audio mobil agar suasana tak terlampau hening. Satu saluran radio kini tengah mengumandangkan sebuah lagu, yang membuatnya tersenyum-senyum sendiri.
"I want you to the bone
(Aku begitu menginginkanmu)
I want you to
(Aku menginginkanmu)
Take me home, I'm fallin'
(Bawa aku pulang, aku jatuh cinta)
Love me long, I'm rollin'
(Cintaiku lama, aku bahagia)
Losing control, body and soul
(hilang kendali, raga dan jiwa)
Mind too for sure, I'm already yours
(Pikiran pun pasti, aku sudah menjadi milikmu)"
(Pamungkas, To The Bone)
Ketika ponsel pribadinya bergetar tanda ada panggilan masuk.
Sambil terus bersenandung mengikuti lagu yang sedang diputar, tangannya berusaha meraih ponsel.
Anja Calling
Ia mengernyit sebentar, sebelum akhirnya berseru dengan riang, "Halo, bayi? Ada apa nih malam-malam nelepon?"
"Mas ...." tapi suara Anja di seberang sana terdengar seperti orang menangis.
"Yap?" ia mengecilkan volume audio dengan kening mengerut. "Ada apa?"
Tapi Anja tak menjawab. Justru menangis terisak-isak melalui sambungan telepon.
Oh, shit! makinya dalam hati.
Sesuatu pasti telah terjadi.
***
Yah bit bukan favorit Sasa lagi 🤭