NovelToon NovelToon
Bukan Istri Bayangan

Bukan Istri Bayangan

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / CEO / Cinta setelah menikah / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Dokter
Popularitas:554.9k
Nilai: 5
Nama Author: Desy Puspita

Bertahun-tahun memendam cinta pada Bagaskara, Aliyah rela menolak puluhan lamaran pria yang meminangnya.

Tak disangka, tepat di hari ulang tahunnya, Aliyah mendapati lamaran dari Bagaskara lewat perantara adiknya, Rajendra.

Tanpa pikir panjang Aliyah iya-iya saja dan mengira bahwa lamaran itu memang benar datang dari Bagaskara.

Sedikitpun Aliyah tidak menduga, bahwa ternyata lamaran itu bukan kehendak Bagaskara, melainkan inisiatif adiknya semata.

Mengetahui hal itu, alih-alih sadar diri atau merasa dirinya akan menjadi bayang-bayang dari mantan calon istri Bagaskara sebelumnya, Aliyah justru bertekad untuk membuat Bagaskara benar-benar jatuh cinta padanya dengan segala cara, tidak peduli meski dipandang hina ataupun sedikit gila.

.

.

"Nggak perlu langsung cinta, Kak Bagas ... sayang aja dulu nggak apa-apa." - Aliyah Maheera.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 16 - Teman tapi Mesra?

“Kenapa diem doang? Nggak naf-su makan deket aku?” tanya Aliya lagi, mencoba menutupi senyumnya.

Helaan napas keluar dari dada Bagaskara, dalam, panjang, tanda ia sedang menahan sesuatu. Namun, mulutnya tetap terkunci rapat.

Aliya makin penasaran. “Ih, bilang yang jelas dong, apa?”

“Nasinya.” Suara Bagaskara terdengar pelan, hampir seperti bisikan yang tertahan.

Aliya mengedip, pura-pura bingung. “Kenapa?”

Diam lagi, Bagaskara menatapnya dengan gengsi luar biasa, jelas-jelas tidak mau mengakui secara terang-terangan.

Aliya akhirnya membuka senyum tipis. “Mau diambilin?”

“Hem, kejauhan,” jawabnya pelan, menunduk sedikit, seakan kalimat itu keluar dengan berat hati.

Aliya yang paham benar maksud suaminya, memilih untuk sedikit nakal kali ini. Bukannya mengambilkan nasi seperti biasanya, ia malah mengangkat tempat nasi itu lalu mendekatkannya ke arah Bagaskara.

“Kenapa? Bener ’kan? Ini udah aku deketin, biar Kakak gampang ngambilnya.”

Alis Bagaskara langsung bertaut. “Bukan begini juga maksudnya.”

Sudah sejelas itu kode yang Bagaskara sampaikan, dan Aliya masih pura-pura tak mengerti, wajahnya dibuat santai. “Terus gimana? Tadi bilang kejauhan, yaudah aku deketin.”

Nada santainya justru membuat Bagaskara makin geram. Rahangnya mengeras, jemarinya mengetuk meja pelan, pertanda kesal tapi masih menahan diri.

Mendapati Aliya tak kunjung bergerak untuk mengambilkan nasi, Bagaskara akhirnya menyerah pada gengsinya sendiri.

Dengan wajah datar, ia menarik piring kosong dan meraih sendok nasi. Gerakannya tidak terburu-buru, namun jelas terlihat ada nada kesal yang ia sembunyikan di balik ketenangan itu.

Satu sendok, dua sendok, lalu berhenti. Nasi yang ia ambil tidak banyak, bahkan terkesan asal.

Aliya yang memperhatikan tingkahnya hanya bisa menahan senyum geli. “Kok dikit? Diet, ya?” tanyanya, mencoba mencairkan suasana dengan nada basa-basi.

Bagaskara tidak langsung menoleh. Wajahnya tetap datar, matanya menunduk, seolah kalimat itu hanyalah angin lalu.

Dan, dia memilih diam, mengambil beberapa potong ayam dan kuah opor, lalu mulai makan tanpa menanggapi istrinya sama sekali.

Aliya bukannya tersinggung, justru menikmati suasana itu dengan caranya sendiri.

Suaminya memang keras kepala, dingin, dan gengsian, tapi tetap saja, opor buatan Bagas benar-benar membuatnya jatuh cinta, setidaknya pada masakannya.

Suapan pertama membuatnya terdiam sesaat, lidahnya dimanjakan oleh rasa gurih santan bercampur rempah yang pas.

Aliya hampir lupa bahwa beberapa jam sebelumnya ia nyaris menangis dalam diam di halaman belakang.

Kini, yang ia rasakan hanya satu, bahagia. Bahagia bisa makan enak hasil tangan pria yang sejak dulu diam-diam menjadi sosok yang ia kagumi. Kapan lagi? batinnya sambil melirik sekilas Bagaskara yang tengah serius mengunyah.

Sampai akhirnya sebuah kejadian memecah keseriusan itu.

“Arrrrgg!!” Aliya tiba-tiba bersendawa. Tidak sengaja, jelas di luar kendalinya. Kedua tangannya refleks menutup mulut, matanya melebar panik. “Ups ... sorry,” ujarnya cepat, pipinya langsung merona.

Aliya melirik ke arah Bagaskara dengan wajah malu setengah mati. Namun pria itu hanya menatapnya datar.

Tatapannya sulit ditebak, seperti biasa, tidak ada ekspresi marah, tidak pula geli, hanya sebuah tatapan kosong yang membuat Aliya makin salah tingkah.

Baru sadar, Aliya mendapati piring Bagaskara sudah bersih. Suaminya hanya makan sedikit sejak tadi, bahkan tidak menyentuh makanan sebanyak dirinya. Hal itu membuat hatinya kembali tercekat.

Sebelum Aliya sempat berkata apa-apa lagi, Bagaskara tiba-tiba beranjak berdiri. Pria itu meraih piring kotor milik Aliya dengan gerakan tegas.

“Eh? Kakak mau apa? Biar aku saja ... Kakak tunggu di situ,” ujar Aliya cepat, tangannya terulur menahan pergelangan tangan suaminya.

Bagaskara menoleh, menatap ke arah jemari istrinya yang masih berbalut perban kecil akibat luka bakar kecil dan goresan saat di dapur sore tadi. Tatapannya merendah, dalam, seperti sedang menimbang sesuatu.

“Malam ini biar aku, esok lusa kita hire pembantu saja,” katanya singkat.

“Ih, nggak perlu! Aku bisa lakuin semuanya. Nggak usah hire pembantu segala, Kak,” protes Aliya spontan.

Nada suaranya meninggi sedikit, bukan marah, melainkan cemas. Dalam hati, ia tahu, jika ada orang lain di rumah ini, kesempatan untuk berinteraksi dan membangun ikatan dengan Bagaskara akan semakin berkurang. Ia tidak mau jarak mereka semakin lebar hanya karena ada ‘orang ketiga’ yang mengurus rumah.

“Perlu,” tegas Bagaskara tanpa ragu. “Aku tidak selalu punya waktu untuk masak ... dan bersih-bersih bukan tugasmu.”

Aliya menggertakkan giginya, menahan diri agar tidak meledak. “Iya kan masak bisa aku.”

“Iya, bisa,” jawab Bagaskara datar. Sebuah jeda singkat, sebelum bibirnya kembali bergerak. “Bisa kebakaran, ’kan maksudnya?”

.

.

Kalimat itu seperti anak panah. Aliya terdiam, wajahnya merona, antara malu sekaligus kesal. Ia ingin membantah, tapi lidahnya kelu. Pada akhirnya, ia hanya membiarkan Bagaskara dengan keras kepalanya sendiri.

Dengan pasrah, Aliya memilih membersihkan sebagian meja makan dan meninggalkan piring lain untuk Bagaskara. Tidak ingin memperpanjang perdebatan, ia bergegas menuju kamar.

Malam sudah semakin larut. Aliya membuka pintu kamar, lalu menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang.

Tidak ada niat untuk menonton televisi, apalagi kartun favoritnya yang sudah lama selesai tayang di jam segini. Sebagai gantinya, ia meraih ponsel dan membuka aplikasi perpesanan.

“Baiklah ... mari kita lihat, apa yang terjadi hutan rimba ini,” gumamnya. Jemarinya segera mengetuk ikon grup bersama para sahabatnya.

|| Aloo Aliyaaaaaa, gimana Kak Bagas? Udah baikan?

Aliya terkekeh kecil membaca pesan pertama dari Anjani, sahabat paling centil yang selalu heboh. Ia menjawab dengan mengirim stiker andalannya sebelum mulai mengetik.

|| Udah. Lukanya udah pada kering ... jalan juga udah bisa normal, bahkan bisa masak opor buat kami makan malam.

Tak butuh waktu lama, balasan masuk.

|| Wah demi? Berarti udah bisa gitu-gituan dong?

Mata Aliya membulat. “Ih, apasih ngaco?” Ia buru-buru mengetik balasan, sementara wajahnya memerah.

Padahal baru beberapa menit bergabung, obrolan mereka sudah melebar ke arah yang membuat Aliya salah tingkah.

Meski bukan tipe anak yang polos, tapi tetap saja, status barunya sebagai seorang istri membuat semua pembicaraan seperti ini terasa lebih nyata.

|| Jadi belom nih?

|| Jelas aja belom, Anjani, kalau pun udah, berarti maksain. Paling juga Aliya di atas.

“Ih, apaseeeh?!” seru Aliya refleks, tidak sadar bahwa kalimat yang seharusnya ia ketik malah lolos begitu saja dari bibirnya.

Tubuhnya menegang saat menyadari ada suara langkah kaki mendekat. Ia menoleh cepat.

Bagaskara sudah berada di kamar. Berdiri tegak di dekat pintu dengan tatapan tajam menusuk, seakan sejak tadi ia menyaksikan Aliya yang asyik sendiri dengan gawainya.

Rahang pria itu mengeras. Matanya menyipit, penuh amarah yang ditahan. Dalam hati, ia bergumam dalam hati. “Cih, ngakunya cuma teman ... teman apa yang begitu? Teman tapi mesra kah?”

.

.

- To Be Continued -

1
erma
maksudnya ngelawak....tp kurang lucu, jadi aneh. ... dokter yg sdh usia cukup tp pemikiran dan gayanya kok spt anak remaja...gak nyambung
Layla 🌹
gantian bibir bagas yg merona🤣🤣🤣
Fitriatul Ilmi
bagas : tua tua gini juga bisa buat km terpesona. apalagi klo msh muda 😂
Fitriatul Ilmi
komprin terus jend; biar si babang satu ini luluh sama biniknya/Facepalm/
Fitriatul Ilmi
aduh adek meleleh bang/Kiss/
Herlita Liem
lanjut Thor makin seru ceritanya....😍😍
Hafifah Hafifah
kelakuannya kayak bocah ya gas 🤭🤭
Hafifah Hafifah
menghayati banget ya Al
Hafifah Hafifah
ngarep ya bang dikejar ama istrinya
Teh Yen
Aliya oh Aliya ada aj pembahasannya hihii Bagas bener" cocok sama Aliya yg atu diem yg atu cerewetnya level dewa 😅😅😅
@E𝆯⃟🚀BuNdAιиɑ͜͡✦⍣⃝కꫝ🎸🇵🇸
aliya benar. 😁😁😁😁😁
jangan sampai ada lelaki lain yang menyayangi aliya melebihi kamu, bagas
վօօղíҽ̀z࿐༅ɯιƚԋ ʅσʋҽ࿐༅
Dasar piring, berisik aja elu 😆😆..
Kagak tauu ape, duo makhluk itu lagi kasmaran 😆..
Elu jadi saksi bisuuuu, gitu aja kagak paham, ngiri yaaa 😆...
վօօղíҽ̀z࿐༅ɯιƚԋ ʅσʋҽ࿐༅
Itu kan menurutmu Al, dahal kuping Bagas bisa menangkap suara infrasonik 🙊😅...
So selirih apapun suaramu selama tidak memakai bahasa kalbu Bagas bakalan dengar 😅..
Lain kali hati-hati ngomongnya apalagi kalau mau bully Bagas 😆✌...
🌸WD🌸
hati hati..keselek
🌸WD🌸
pisau: maaf nggak bisa bantu steaknya udah habis..mau mencari kegitan motong udah nggak ada yg dipotong..
🌸WD🌸
Aliya candaanmu selalu membuat dag dig dug derr..🤣🤣
~Ni Inda~
Habis ni sendok lg yg ngedumel 🤣🤣
Desmeri epy Epy
lanjut Thor
~Ni Inda~
Nah loohhh..kena kamu Gas 🤣🤣
Hasanah Purwokerto
Biarin aja pir..pir...kamu ga usah ikutan kumat yaaa🤭🤭🤭
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!